Selama ini terdapat anggapan yang keliru bagi penulis, tentang ambisi yang menggebu agar artikel penulis dapat ditayang di halaman prestis koran nasional ataupun lokal yang beken. Disamping mendapat honor yang layak, tentu saja kekaguman dari kolega dan relasi tertumpah pada diri penulis. Sebuah populaitaspun akan tertoreh tanpa menelaah lebih lanjut misi yang terselip mampu memberikan pencerahan atau pembelajaran kepada publik. Sebab tujuan akhir dari seorang penulis, apapun popularitas dan gaya penulisannya, adalah mampu menggali informasi yang cermat, akurat, obyektif yang kemudian disodorkan kepada publik sebagai suatu kepedulian terhadap sesama.
Kepedulian bagi sesama nampaknya hanya menjadi wacana saja untuk masyarakat kita, apalagi disaat banyak oknum pejabat yang lebih peduli pada Gayus life style, ketimbang menjual ide gagasannya, uluran tangan, realisasi komunitas orang tua asuh semata demi pengentasan keterpurukan multidimensional rakyat kecil.
Sebuah idealisme tentunya patut dimiliki oleh semua insan yang hidup di Bumi Pertiwi, dalam konteksitas masyarakat Indonesia yang sedang mengidap “Penyakit Kronis Sosiologis”, menurut potensi kita masing-masing. Guna mengurai benang kusut kompleksitas social conflict yang mendera kita, tentunya kita mendambakan relawan relawan yang saling membahu mengedepankan keeping spirit untuk pengentasan keterpurukan sosial, politik, moralitas atau bahkan kerusakan lingkungan hidup karena sebuah ego. Sebuah kepuasan batinpun mampu didapatkan tanpa memperhitungkan comersial profit.
Sebuah prestasi menakjubkan terukirkan dari figur mantan Presiden Amerika William J. Clinton yang patut kita teladani. Dengan sebuah yayasan The William J. Clinton Foundation, tokoh ini memfokuskan sebuah kepedulian pada hal hal yang menjadi keprihatinan dunia sekaligus memberikan solusinya terhadap perubahan iklim global, HIV/AIDS di Negara berkembang, kepedulian terhadap anak dan pengentasan ekonomi di Afrika dan Amerila Latin.
Karena sebuah idealisme yang kokoh, Yayasan Clinton mampu berkembang pesat membuahkan anak organisasinya hingga 501 organisasi dengan jumlah staf 1.100 personil dari seluruh dunia. Tahun demi tahun yayasan ini berkembang hingga kini memiliki perwakilan di 40 negara. Tercatat sudah bahwa sebanyak ratusan juta penduduk dunia yang berhasil mendapat berkah dari yayasan ini. Kendala yang umum dijumpai sebuah yayasan adalah pendanaanya, namun keunggulan Yayasan Clinton ketimbang lainnya adalah ketidaktergantungan pendanaannya terhadap organisasi lain, tetapi pendanaanya berasal dari operasional organisasi yang bernaung di bawahnya.
Tentunya menjadi pemikiran kita bersama seandainya ada “Clinton made in Indonesia” yang mendarmabaktikan ketangguhan managerialnya guna pensejahteraan masyarakat kita yang pra sejahtera, rendah taraf pendidikanya, rendah minat bacanya dan minim daya dukungnya, sebagai refleksi dari kehidupan social Rakyat Indonesia yang morat marit, maka tentu saja masalahnya akan lain lagi. Namun pada kenyataannya sense of belong sejumlah Clinton kita terhadap si kecil telah lenyap di bawa pertikaian politik, pertikaian kepentingan dan justru lebih memilih menzolimi uang Negara, yang sebenarnya merupakan hak dari si kecil.
Wacana di atas memang bukan isapan jempol saja, terbukti dari laporan BPK yang mengindikasikan adanya 46 kasus dengan uang yang ditilep sejumlah Rp 730,45 miliar oleh oknum pada semester II Th 2009. Jumlah tersebut membengkak lagi hingga akhir semester II tahun yang sama sejumlah Rp 2, 3 trilun uang Negara yang ditilep. Rupanya kiprah sejumlah oknum anak bangsa dalam memainkan lakon Gayusmania telah mencapai putaran milyar dan triluanan. Sedangkan di daerah terpencil masih banyak ditemukan guru TK dan MI yang mendapat gaji Rp 150 ribu.
Tentu saja Negara kita telah kaya dengan berbagai aturan main yang teregulasi untuk pembrantasan pendoliman uang Negara, tapi pada kenyataanya justru berkorelasi terbalik. Untuk itu perlu kita kampanyekan gerakan kepedulan social yang tidak asal asalan, yang melibatkan relawan dan figure idealis, untuk memetakan skala prioritas tentang pengangkatan keterpurukan dari berbagai segi. Sehingga perlu pula kita mencanangkan “Hari Kepedulian Sosial” sebagai tonggak, agar setiap individu masyarakat Indonesia selalu siap mengulurkan dan membuka tangan menjadi bentuk kepedulian bersama.
Rabu, 15 September 2010
Kamis, 09 September 2010
KETUPAT CINTA
Ada keraguan di kalbu yang menyelip jauh di kalbu Sebastian, untuk menyambangi Carolin yang hampir 5 tahun tenggelam dalam peraduan egonya. Antara dia dan gadis lesung pipit ini memang selalu dibatasi “langit bersusun tujuh”,karena masing terpagut dengan hasrat yang bertanam di halaman hati masing-masing. Sebastian bagaikan karang terjal, selalu menjinjing ego yang kuat. Kala dia sudah berniat mengapai apapun , semuanya adalah harus menjadi miliknya. Meski hingga sampai kini diapun merasa hanya hidup bagaikan daun hijau yang berteman angina kembara.
Sedangkan Caroline anak mama, putra seorang developer di kota Semarang, hanya bayangan semu selama dekat di hati Sebastian sejak mereka duduk di kelas XI sebuah SMU. Caroline laksana Madam Julia Peron dari Argentina, yang hidup merengkuh emas dan berlian si singasananya da kehidupan sekelilingnya. Meski jauh dalam hatiya dia merasa kagum dengan cowok eksentrik namun cerdas yang senang berphose apa adanya. Dasar Sebastian adalah cowok ganteng dengan rambut ikal, maka apapun perangainya selalu saja menrik simpatik Carolin.
Kemanapun kaki sang Romie ini melangkah, Juli pasti membayanginya. Mereka berdua bagaikan angina laut yang liar dan ombak laut yang bergelora. Namun ombak yang bergelora tersebut tidak pernah mampu menyatukan tangan dengan angina yang memusarinya.
Gema takbir hari kemenangan mulai menggema dari cakrawala semua arah, senja kali ini menjadi senja yang paling benderang di muka bumi. Seribu malaikat telah menggelarkan sayapnya, menaburkan maghfiroh untuk insan yang mengusung keteduhan hati, termasuk Sebastian, yang sudah lima tahun setelah berpisah dengan Caroline bagaikan perahu yang koyak layarnya, sehingga untuk menepikan sauhnya di pelabuhan hatinya, diapun tidak memiliki keberanian. Kerap kali memang Carolinn melintas di hatinya, namun seketika itu juga bayangan itu menghilang tersapu angin badai yang ganas.
Untuk menyelipkan hidup yang dia inginkan hanya ada di guratan wajah bulan, yang dia perhatikan kala sendiri duduk di beranda rumah kontrakan di pinggir kota. Mungkinkah Caeolin ada di wajah bulan, yang bertaut dengan kuning sinarnya yang selalu saja merajut warna warna pelangi di cakrawala senja hidupnya,desah hati seperti itu selalu saja hadir di bilah hidupnya.
Namun manusia tetap saja manusia, yang semua nasib kodrat dan suratan takdir manusia berada di tanganNYA, gema takbir, tahlil dan tahmid telah meresap jauh ke jantung hatinya. Telaga sejuta warna dalam hatinya, menepis menjadi warna putih bersih yang mampu mencelupkan semuanya asanya untuk menemui Carolin, yang sekarang berada di istana kehidupanya.
Rumah itu masih seperti dulu, berasiktur “jawa kuno” dengan dinding dan genteng yang kokoh. Namun warna tembok dan keramik lantainya telah berganti dengan warna putih polos. Bukankah papi Carolin sangat menyukai variasi warna yang mencolok, mengapa sekarang warna warna itu telah hilang. Ataukah mungkin ini selera Carolin, yang dia tahu persis adalah cewek yang tidak suka variasi warna yang mencolok. Degup jantungnya segera memburu anganya,maka kini di hatinya muncul. Jari telunjuknya tanpa keraguan kini memencet tombol bel yang ada di samping pintu gerbang yang juga telah berganti dengan warna hitam legam.
“Maaf Om, Carolin ada?”
“Anda siapa?” jawab pria setengah baya yang ada di depan pintu gerbang.
Belum pernah Sebastian merasakan badai yang dasyat yang menerpa halaman hatinya. Kemana Carolin, kemana papi dan mamanya yang dulu sangat akrab dan simpatik sama dia.
“Saya teman SMU Carolin, Om !. Apa Carolin sudah pindah Om ?”
“Oh, silakan masuk Mas, Om ceritakan di dalam saja “
Satu demi satu kata yag keluar mulut laki-laki itu di dengarkan oleh Sebastian,yang kiniterbang tak menyentuh bumi lagi, melayang entah kemana.
“Itulah Mas, sejak Pak Benhard meninggal karena kanker ganas, Karolin dan maminya sekarang pindah entah kemana. Semua hartanya telah habis terjual untuk obat dan biaya hidup keluarga itu yang terlanjur mewah. Aku beri alamat terakhir Karolin. Sekarang tinggal di Padang”. Kertas kumal berisi alamat Carolin kini disimpan di domper dekilnya Sebastian. Kedua tanganya kini bergetar, Carolin mengapa kau tidak memberi kabar untukku. Akupun siap mengatarmu dalam merajut hidup yang tiada menentu.
Beruntung Sebastian masih kebagian tiket pesawat yang langsung terbang dari Semarang ke Padang.Tanpa menemui kesulitan Sebastian kini berada di ujung gang yang dituju. Kota Padang masih menyisakan nafas peayaan Hari Kemenanga. Sebuah rumah sederhana kini berada di depannya, halamanya tiada seberapa luasnya dan di pojok depan halaman itu telah berdiri warung panganan yang banyak dikunjungi pembeli.
Darah yang mengalir di nadi Sebastian kini terasa berhenti, kerongkonganya kini tesumbat bara api yang panas hingga menyesakan dadanya. Diamati cewek yang berada di dalam warung panganan itu, ternyata dia Caroline, ya Carolin, aku tidak pangling.
“Mari Mas, silakan duduk, silakan merasakan cendol dan panganan lainnya, oh,kau..kau..benarkah kamu Ian. Mengapa kau disini. Mari masuk ke dalam Yan !”
Tubuh yang menyisakan ketidakpercayaan itu kini direbahkan pada kursi penjalan tua yang lusuh dan masih ditebari debu, pertanda tidak pernah dirawat pemilikya dengan baik.
“Yan, kamu dari mana saja, mengapa kamu sekarang di Padang, dari mana kamu tahu alamatku, Yan, dari Pak Stewart ?. Dan kini kau tahu semuanya tentang aku ?”.
“Aku kemarin memang ke Gajah Mungkur dan ketemu Pak Stewart,lantas dia memberiku alamat ini?”
“Sekarang inilah aku, ini aku Carolin maka wajar saja kamu nggak pernah mau calling aku, setelah aku jatuh”
“Buktinya sekarang aku ke sini”
“Lantas apa maumu, kamu mau berteriak sekeras kerasnya pada semua orang, kalau Carolin sekarang jatuh miskin ?”
“Ah,simpan saja perasaanmu itu Carolin. Aku memang lama nggak ngasih kabar, maafkan aku Carolin. Inika suasana yang baik untuk saling memaafkan”
“Lantas kemana saja kamu selama ini ?”
“Aku hidup tiada menentu selama lima tahun, aku kerja dari studio ke studio lainnya. Pengalaman yang aku miliki hanya bagian produksi di studio radio atau design grafis. Penghasilanku tiada menentu, padahal aku harus hidup mandiri”
“Keadaanmu tidak jauh berbeda dari aku, Yan. Aku hanya seorang pedagang cendol”
“Sudahlah. Carolin. Semuanya pasti akan berakhir. Mengapakamu tinggal di sini?”
“Ini rumah milik Om Hendra, aku dan mama serta Devi hanya bisa menempati sesukaku. Sementara mama mbantu catering di perusahaan Om Hendra. Aku dan Devi bergantian di warung itu, Yan”
“Bagiku kehidupan seperti itu sudah akrab sejak aku di SMA. Bapaku hanya pegawai kecil kecilan,sedangkan ibuku pedagang di pasar Karang Jati. Maka waktu SMA dulu aku selalu menjauh darimu”
“Sudahlah, tolonglah Yan, aku minta kau lupakan masa masa itu”
“Namun aku kini sudah ada di depanmu. Kau masih Carolin yang dulu kan?”
Karolin hanya menghiasi wajahnya dengan senyuman kecilnya. Senyuman yang membuat Sebastian hendak merengkuh dunia dan isinya. Senyuman itulah yang lima tahun selalu menjaga pintu hatinya. Sekarang diapuntak mau lagi kehilangan wangi bunga di taman hatinya.
“Karolin, pulanglah ke Semarang lagi. Aku sekarang udah punya studio grafis sendiri, dan designku telah banyak dicari biro iklan da lain sebagainya. Aku butuh bantuanmu dan juga dirimu. Kita akhiri saja semuanya, Kita berpisah dulu tiada satu patah katapun kita sepakati, demikian juga hari ini, sebuah pertemuan lagi tiada banyak kata yang dapat aku tuturkan”
Bintik air mata kini muali merebak di benung mata Karolin, menambah pesona wajahnya yang ayu. Sebastianpun tehu persisi bahwa rembulan kini telah memenuhi ruang dadanya pada hari kemenangan ini.
Sedangkan Caroline anak mama, putra seorang developer di kota Semarang, hanya bayangan semu selama dekat di hati Sebastian sejak mereka duduk di kelas XI sebuah SMU. Caroline laksana Madam Julia Peron dari Argentina, yang hidup merengkuh emas dan berlian si singasananya da kehidupan sekelilingnya. Meski jauh dalam hatiya dia merasa kagum dengan cowok eksentrik namun cerdas yang senang berphose apa adanya. Dasar Sebastian adalah cowok ganteng dengan rambut ikal, maka apapun perangainya selalu saja menrik simpatik Carolin.
Kemanapun kaki sang Romie ini melangkah, Juli pasti membayanginya. Mereka berdua bagaikan angina laut yang liar dan ombak laut yang bergelora. Namun ombak yang bergelora tersebut tidak pernah mampu menyatukan tangan dengan angina yang memusarinya.
Gema takbir hari kemenangan mulai menggema dari cakrawala semua arah, senja kali ini menjadi senja yang paling benderang di muka bumi. Seribu malaikat telah menggelarkan sayapnya, menaburkan maghfiroh untuk insan yang mengusung keteduhan hati, termasuk Sebastian, yang sudah lima tahun setelah berpisah dengan Caroline bagaikan perahu yang koyak layarnya, sehingga untuk menepikan sauhnya di pelabuhan hatinya, diapun tidak memiliki keberanian. Kerap kali memang Carolinn melintas di hatinya, namun seketika itu juga bayangan itu menghilang tersapu angin badai yang ganas.
Untuk menyelipkan hidup yang dia inginkan hanya ada di guratan wajah bulan, yang dia perhatikan kala sendiri duduk di beranda rumah kontrakan di pinggir kota. Mungkinkah Caeolin ada di wajah bulan, yang bertaut dengan kuning sinarnya yang selalu saja merajut warna warna pelangi di cakrawala senja hidupnya,desah hati seperti itu selalu saja hadir di bilah hidupnya.
Namun manusia tetap saja manusia, yang semua nasib kodrat dan suratan takdir manusia berada di tanganNYA, gema takbir, tahlil dan tahmid telah meresap jauh ke jantung hatinya. Telaga sejuta warna dalam hatinya, menepis menjadi warna putih bersih yang mampu mencelupkan semuanya asanya untuk menemui Carolin, yang sekarang berada di istana kehidupanya.
Rumah itu masih seperti dulu, berasiktur “jawa kuno” dengan dinding dan genteng yang kokoh. Namun warna tembok dan keramik lantainya telah berganti dengan warna putih polos. Bukankah papi Carolin sangat menyukai variasi warna yang mencolok, mengapa sekarang warna warna itu telah hilang. Ataukah mungkin ini selera Carolin, yang dia tahu persis adalah cewek yang tidak suka variasi warna yang mencolok. Degup jantungnya segera memburu anganya,maka kini di hatinya muncul. Jari telunjuknya tanpa keraguan kini memencet tombol bel yang ada di samping pintu gerbang yang juga telah berganti dengan warna hitam legam.
“Maaf Om, Carolin ada?”
“Anda siapa?” jawab pria setengah baya yang ada di depan pintu gerbang.
Belum pernah Sebastian merasakan badai yang dasyat yang menerpa halaman hatinya. Kemana Carolin, kemana papi dan mamanya yang dulu sangat akrab dan simpatik sama dia.
“Saya teman SMU Carolin, Om !. Apa Carolin sudah pindah Om ?”
“Oh, silakan masuk Mas, Om ceritakan di dalam saja “
Satu demi satu kata yag keluar mulut laki-laki itu di dengarkan oleh Sebastian,yang kiniterbang tak menyentuh bumi lagi, melayang entah kemana.
“Itulah Mas, sejak Pak Benhard meninggal karena kanker ganas, Karolin dan maminya sekarang pindah entah kemana. Semua hartanya telah habis terjual untuk obat dan biaya hidup keluarga itu yang terlanjur mewah. Aku beri alamat terakhir Karolin. Sekarang tinggal di Padang”. Kertas kumal berisi alamat Carolin kini disimpan di domper dekilnya Sebastian. Kedua tanganya kini bergetar, Carolin mengapa kau tidak memberi kabar untukku. Akupun siap mengatarmu dalam merajut hidup yang tiada menentu.
Beruntung Sebastian masih kebagian tiket pesawat yang langsung terbang dari Semarang ke Padang.Tanpa menemui kesulitan Sebastian kini berada di ujung gang yang dituju. Kota Padang masih menyisakan nafas peayaan Hari Kemenanga. Sebuah rumah sederhana kini berada di depannya, halamanya tiada seberapa luasnya dan di pojok depan halaman itu telah berdiri warung panganan yang banyak dikunjungi pembeli.
Darah yang mengalir di nadi Sebastian kini terasa berhenti, kerongkonganya kini tesumbat bara api yang panas hingga menyesakan dadanya. Diamati cewek yang berada di dalam warung panganan itu, ternyata dia Caroline, ya Carolin, aku tidak pangling.
“Mari Mas, silakan duduk, silakan merasakan cendol dan panganan lainnya, oh,kau..kau..benarkah kamu Ian. Mengapa kau disini. Mari masuk ke dalam Yan !”
Tubuh yang menyisakan ketidakpercayaan itu kini direbahkan pada kursi penjalan tua yang lusuh dan masih ditebari debu, pertanda tidak pernah dirawat pemilikya dengan baik.
“Yan, kamu dari mana saja, mengapa kamu sekarang di Padang, dari mana kamu tahu alamatku, Yan, dari Pak Stewart ?. Dan kini kau tahu semuanya tentang aku ?”.
“Aku kemarin memang ke Gajah Mungkur dan ketemu Pak Stewart,lantas dia memberiku alamat ini?”
“Sekarang inilah aku, ini aku Carolin maka wajar saja kamu nggak pernah mau calling aku, setelah aku jatuh”
“Buktinya sekarang aku ke sini”
“Lantas apa maumu, kamu mau berteriak sekeras kerasnya pada semua orang, kalau Carolin sekarang jatuh miskin ?”
“Ah,simpan saja perasaanmu itu Carolin. Aku memang lama nggak ngasih kabar, maafkan aku Carolin. Inika suasana yang baik untuk saling memaafkan”
“Lantas kemana saja kamu selama ini ?”
“Aku hidup tiada menentu selama lima tahun, aku kerja dari studio ke studio lainnya. Pengalaman yang aku miliki hanya bagian produksi di studio radio atau design grafis. Penghasilanku tiada menentu, padahal aku harus hidup mandiri”
“Keadaanmu tidak jauh berbeda dari aku, Yan. Aku hanya seorang pedagang cendol”
“Sudahlah. Carolin. Semuanya pasti akan berakhir. Mengapakamu tinggal di sini?”
“Ini rumah milik Om Hendra, aku dan mama serta Devi hanya bisa menempati sesukaku. Sementara mama mbantu catering di perusahaan Om Hendra. Aku dan Devi bergantian di warung itu, Yan”
“Bagiku kehidupan seperti itu sudah akrab sejak aku di SMA. Bapaku hanya pegawai kecil kecilan,sedangkan ibuku pedagang di pasar Karang Jati. Maka waktu SMA dulu aku selalu menjauh darimu”
“Sudahlah, tolonglah Yan, aku minta kau lupakan masa masa itu”
“Namun aku kini sudah ada di depanmu. Kau masih Carolin yang dulu kan?”
Karolin hanya menghiasi wajahnya dengan senyuman kecilnya. Senyuman yang membuat Sebastian hendak merengkuh dunia dan isinya. Senyuman itulah yang lima tahun selalu menjaga pintu hatinya. Sekarang diapuntak mau lagi kehilangan wangi bunga di taman hatinya.
“Karolin, pulanglah ke Semarang lagi. Aku sekarang udah punya studio grafis sendiri, dan designku telah banyak dicari biro iklan da lain sebagainya. Aku butuh bantuanmu dan juga dirimu. Kita akhiri saja semuanya, Kita berpisah dulu tiada satu patah katapun kita sepakati, demikian juga hari ini, sebuah pertemuan lagi tiada banyak kata yang dapat aku tuturkan”
Bintik air mata kini muali merebak di benung mata Karolin, menambah pesona wajahnya yang ayu. Sebastianpun tehu persisi bahwa rembulan kini telah memenuhi ruang dadanya pada hari kemenangan ini.
Selasa, 07 September 2010
Sajak Di Hari Kemenangan
Diam Dalam Diri
Seuntai warna pelangi dalam menunjam
Batas alam bertepian pantai
Berpilar sejuta angin puting beliung
Namun kali ini aku diam
Biar aku hanyutkan dalah “sunga Gangga” sekalipun
Aku kokoh bagai mount everest
Seketika itu
Daun jiwaku beterbangan mengukir canda
Bersama burung kutilang
Yang mengais bumi
Akupun diam
Karena sudah tak mampu lagi
Untuk berontak melawan
redupnya senja di ufuk barat
manakali akulah pencuri
yang membawa liar hati ini
Semarang, 8 Seprember 2010
Dalam Penantian
Satu bulan dalam dahaga
Satu bulan dalam tatapan kosong
Meski vas bunga dalam kantong baju
Meski kibas warna bulu burung merak
Menghantamku hingga bilik jantungku
Menorehkan sedikit kegetiran
Masih belum tahukah ?
Bila esok pagi
Bintang gemintang tiada berkawan awan
Mari kita kayuh biduk
Menuju cakrawala bening
Semarang.8 September 2010
Cahaya
Kini pintu hati
Telah terjaga cahaya
Yang aku pungut
Dari lazuardi di titik tak bertepi
Lalu aku berikan
Bingkai tentang “prosa selorohku”
Akupun hanya terbaring
Bila cahaya menjadi atap
Semarang, 8 September 2010
Langkah Kakiku
Aku teruskan saja
Bila damai hati bersamaku
Lantas sejuta sayap menghadang
Menghardik dengan lengan yang kokoh
Menelikung anganku yang panjang
Aku tak mau menepi
Meskipun ombak garang membawa sekeranjang
sauh ….
Aku untai nafasku dalam damai
Semarang, 8 September 2010
Terbang
Bila kabut tersingkap……
Himalaya menjulang dalam sepi
Tepian senjaku bertaut di puncaknya
Bila terbang…
Anginpun menepi
Dan mata terpejam dari lusuhnya dunia
Semarang, 8 September 2010
Seuntai warna pelangi dalam menunjam
Batas alam bertepian pantai
Berpilar sejuta angin puting beliung
Namun kali ini aku diam
Biar aku hanyutkan dalah “sunga Gangga” sekalipun
Aku kokoh bagai mount everest
Seketika itu
Daun jiwaku beterbangan mengukir canda
Bersama burung kutilang
Yang mengais bumi
Akupun diam
Karena sudah tak mampu lagi
Untuk berontak melawan
redupnya senja di ufuk barat
manakali akulah pencuri
yang membawa liar hati ini
Semarang, 8 Seprember 2010
Dalam Penantian
Satu bulan dalam dahaga
Satu bulan dalam tatapan kosong
Meski vas bunga dalam kantong baju
Meski kibas warna bulu burung merak
Menghantamku hingga bilik jantungku
Menorehkan sedikit kegetiran
Masih belum tahukah ?
Bila esok pagi
Bintang gemintang tiada berkawan awan
Mari kita kayuh biduk
Menuju cakrawala bening
Semarang.8 September 2010
Cahaya
Kini pintu hati
Telah terjaga cahaya
Yang aku pungut
Dari lazuardi di titik tak bertepi
Lalu aku berikan
Bingkai tentang “prosa selorohku”
Akupun hanya terbaring
Bila cahaya menjadi atap
Semarang, 8 September 2010
Langkah Kakiku
Aku teruskan saja
Bila damai hati bersamaku
Lantas sejuta sayap menghadang
Menghardik dengan lengan yang kokoh
Menelikung anganku yang panjang
Aku tak mau menepi
Meskipun ombak garang membawa sekeranjang
sauh ….
Aku untai nafasku dalam damai
Semarang, 8 September 2010
Terbang
Bila kabut tersingkap……
Himalaya menjulang dalam sepi
Tepian senjaku bertaut di puncaknya
Bila terbang…
Anginpun menepi
Dan mata terpejam dari lusuhnya dunia
Semarang, 8 September 2010
Langganan:
Postingan (Atom)