Jumat, 17 September 2010

Menjaring Lazuardi ASMAMU

Langit telah membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit yang biru-terharu.

Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit

“Akulah sinar putih dari beranda langit”

“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.

“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”

“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”

“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...

Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.

Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”

“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.

“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.

Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.
bambang sukmadji

Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.

“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.

“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”

“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”

“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”

“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “

“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”

Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.

Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.

Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.

ISTANA DI BALIK CAKRAWALA

Di balik cakrawala langitpun kini berwarna jingga, setelah sekian lama “menikam senyumnya” hingga berwarna merah merona. Di balik cakrawala itu pula, terdapat membisu puncak yang lebih kokoh dari Puncak Sagarmatha namun tetap saja cakrawala itu saat ini berkulum senyum, menyimpan gambaran penuh kasih.Didalamnya bersemayam Istana tempat manusia melepas lilitan tali bersimpul gerigi, yang tiada mau lepas dari kulit yang telah terkoyak. Sesekali angin dingin cakrawala itu, berteriak menyampaikan protes, mengapa kecantikan Mauna Loa dan Chimborazo tidak pernah terlintas lagi, mengambil syahwat-syahwat yang akan menggoda manusia, yang menjinjingnya menuju cakrawaka itu.

Namun rupanya kesyahduan manusia dalam merajut angin penuh wangi bunga dalam ikatan kembang setaman di cakrawala itu, telah melupakan nafsu syahwat itu, Lagian di tengah cakrawala itu, ketika terdengar takbir, tahlil dan takmid , manusia kembali tersungkur menata nafasnya kembali, ketika tersengal di adonan duniawi yang telah berbau busuk. Bukankah di Palung Mariana, tempat yang eksotis berisi telaga Kautsar yang akan membumikan segala nafsu.

Bukalah ikatan Batari Durga di pelabuhan Gondo Mayit,lalu campakan hingga engkau manusia mampu mengepalkan tanganmu dan tak akan lagi mempan terhadap rayuan Batari Dorga ketika kau masih berada di bawah cakrawala, ketika lembayung senja memerahkan rona kalbumu, ketika sekuntum bunga mawar sudah tidak membawa kesegaran lagi, Ketika langit tersungkur mendengar suara Adzan, engkaupun malah menanarkan matamu,melilitkan deru dan debu di bilik jantungmu.Apakah sudah gelap matamu,padahal ruhmu yang tidak seberapa kokoh telah berada di genggamNYA. Inilah cakrawala nun jauh disana yang berisi sebuah istana untuk kau semayami.

Semilir angin Sagarmantha telah menukik tajam namun tetap sepoi membangkitkan kerinduan manusia untuk memetiknya dan menyimpan dalam dadanya masing-masing, bagi yang telah gerah jiwanya. Bila angin ini berhasil dililitkan dalam kehidupan yang penuh bara, hasud, iri dan dengki. Maka tiada mungkin lagi manusia menengadahkan wajah untuk meminta hujan esok pagi.yang memberi kesejukan hidup, bukankah dada ini sekarang telah berisi kuntum senyum keteduhan yang ada di Cakrawala.

Bukankah pula telah satu bulan penuh manusia “tawadhu berpasrah”, telah menerpa dirinya sendiri agar kokoh menghadapi tajamnya badai. Akupun masih limbung terbenam dalah tajamnya badai itu. Aku telah menyingsingkan lengan baju, menyingsingkan cita dan hasrat dan menajamkan tatapan mata selama satu bulan menguntai dahaga, lapar, dan mendidihnya ubun ubun kepala dalam menerima sodoran hidup. Lantas biar saja aku lewati satu bulan untuk mereguk Al Kautsar di

Dengan tergopoph-gopoh, lantaran tinggal setapak langkah kaki menuju Istana di balik Cakrawala, aku menggapai dengan genggaman tangan yang selalu bergetar selama 10 malam terakhir. Aku reguk setetes demi setetes air Telaga Kautsar,. aku turuti sungai-sungai Gletser dari Puncak Chomolangma, . yang bertepikan tumpukan salju yang mampu memantulkan sinar sang mentari, hingga berwarna putih tanpa

2
sedikitpun kekusaman. .Lantas dahaga ini mulai menyurut, ditengarai langkah semakin menyerupai “sapu angin”.

Selamat Datang pada wujudku semula, yang tidak lagi renta seperti Janggan Semarasanta atau bahkan seperti Pandita Sokalima, atau bahkan muda belia seperti Wisanggeni, yang ada adalah aku bersama bayang berbaju putih dengan mengenakan sayap putih hendak terbang meniti ke empat arah kebenaran. “0h,,inikah arah itu, aku hanya mengerti lewat nyanyi burung,namun ke empat arah itu kini sudah di dekatku”, bisik kalbuku, yang telah lama merindu kebenaran.

Akupun tidak mengira sebelumnya, bila sebilah episode pernah aku torehkan, kini menjelma menjadi wujud yang ada dihadapanku. .Sambil berteriak dan menggertak, yang suaranya memenuhi empat arah langit, dan dari tangan kirinya menjinjing “kantong hitam”, untuk tubuhku yang tertebas pedangnya yang tajam dan terhunus di tangan kanannya.

“Aku adalah bayangan semu dan hitam, tempat kau pernah menorehkan sesuatu yang spectakuler. Tetapi engkau sama sekali tiada menyadari”

“Perjalanan yang aku kayuh dengan biduk tiada pernah membentur karang yang tegar, ombak ganas dan badai yang menelan biduku”

“Itulah maka kau disebut manusia, ketika senja jatuh di pelataran Pantai Parangtritis, ketika kau bagalkan Romie dan Juli, ketika Julimu tersenyum ceria dan kaupun sempat mereguk “anggur merah” bercawan emas.dan kau melihat langit runtuh. Teteapi kau hanya diam terpaku. Kini dimana cawan emas itu ?”

“Aku buang jauh-jauh, dalam samudra hitam pekat. .Akupun tiada pernah berhasrat mencarinya, karena samudra itu sangatlah dalam.Aku bukan Werkudoro ketika mendapatkan Sang Dewa Ruci. Aku tidak tahu, harus bicara apa lagi

“Kamu memang manusia yang hanya bernafas, tiada pernah menelisik kata hati, bertulang kecil dan berdada rapuh, serta berdandan angin -badai di alam fana ini, tetap dadamu kau busungkan setinggi gunung anakan. Maka jangan lari, akan aku pagut dengan pedang ini tepat di atas ubun-ubun kepalamu”

“Ampun wajah seribu langit, berilah aku sekali lagi agar mampu menapaki lantai Istana Di Balik Cakrawala itu, anginya sudah aku rasakan dari sini. Pintu-pintunya sudah melambaikan tangan-tangannya lantaran rindu bertemuku. Aku tidak mencari apa-apa lagi, di saat hari telah senja, di saat sinar telah temaram, di saat baju yang basah tiada mengering lagi. Pasti aku akan menemukan cawan emas itu. Akan aku
simpan baik-baik, aku cuci pagi dan sore, serta akan aku peluk dalam setiap tidurku, Agar aku pula dapat memasuki Istana itu”

“Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang dapat menentukan dirimu sendiri untuk mengembara dalam tiap sudut istana itu. Maka pulanglah engkau, senja terakhir di bilangan 30 hari telah cukup, lantas kau dapat tebari lagi hari hari esokmu dengan mutiara kemuliaanmu, agar engkau bisa bersemayam pada “tempat yang jauh lagi dari istana itu”
3
“Dimana lagi akan aku temukan tempat itu”

“Saat sebuah Catatan Harian dari langit mengirim kamu seprang utusan dan membawamu, berkeliling taman penuh warna bunga menembus angkasa dan melaju terus di tiap penjuru langit. Angin berdesir kuat diikuti butir pasair yuang menghalangi batas pandangku, langit kembali berwarna biru. Basah wajahku bersatu dengan “ornament-ornamen tentang hidup”. Gema Takbir, Tahlil dan Takbir memenuhi tiap kamar dan relung istana itu.

Akuipun menjadi terperangah, lantas aku sunting angin kembara untuk mengantarkan aku pada cawan emas tempat”anggur merah” yang telah disediakan untukku, kini cawan itu tergolek lemas, tiada lagi kekuatan untuk menegakan tulang belulangnya. Lantas aku sodorkan bunga mawar merah membara, agar dia mampu untuk menatap hari esoknya lagi.

“Trimalah ini, meski aku terlambat” seruku sambil tatapan mataku tak pernah aku lepaskan.

“Engkaulah durjana itu, .manusia yang tiada punya halaman hati untuk sekedar bertanam kebun buah. Untuk memandangi hijauan daun, untuk menitipkan sebilah kesejukan..?”

“Maka aku berikun seikat mawar merag ini”

“Untuk apa ?”

“Untuk aku terbangkan tubuhmu yang tergolek, agar bersemi lagi.agar semaumu bersemayam di kamar-kamar di Istana itu, lantas aku berikan bantal bersusun tujuh, dengan kebun bunga berada di sisi kanan kiri halaman istana itu”. Kini semua menjadi lengang setelah ornament diding itu dosemaraki dengan “anggur mera” yang berkubang di cawan emas.Bersama dengan Gema Takbir yang lebih nyaring lagi.

Rabu, 15 September 2010

BILIK CINTA Di BATAS KOTA

Mestinya aku biarkan saja semua yang menimpaku berlalu begitu saja, tanpa singgah barang sedikitpun di sudut hati. Sehingga jadilah aku manusia yang terbang bebas kesana kemari, sebebas angin kemarau menerjang siapa saja yang dihadapannya. Bahkan tak akan kulepaskan sayap ini hingga kudapatkan penggantimu. Tanpa adanya sedikitpun bayang Angelina yang selalu saja mencuri hatiku. Apalagi kini sebuah penantian memagutku tak berdaya.
Aku sendiri tak menyadari, bila Angelina selalu saja bersembunyi di balik kekagumanku. Hingga sebuah kenyataan yang ada didepanku terasa sungguh sulit kuterima. Masih saja ada tatapan harap yang selalu membentur semunya batas pandang. Angelinapun pergi entah kemana. Lantas apa yang dia miliki dalam hatinya, apakah hanya bunga sedap malam, ataukah aku yang dungu , yang hanya mampu terbujur di keputusasaan.
Tahun pertama sebuah perpisahan terasa belum seberapa lama, sebuah kado ultah Angelina yang ke 23 pun sempat aku beli dan kuterbangkan hingga ke Ujung Pandang menyusuri kenangan bersama dia, kala dia mengajaku berliburan di rumah Tante Rosa. Kembali aku merasakan kedua kakipun terasa telah terjerambab ke dasar bumi, kala Tante Rosa mengabari bahwa Angelina telah pindah ke Sidney , merengkuh bahagia bersama pria bule.
Tapi memang dialah Angelina, yang memang pantas menerima kebahagiaan seperti itu.Menapaki maghligai bahagia dengan pria yang mampu membahagiakan dia segalanya. Semoga saja Angelina mampu memiliki dunia ini dengan segala kekurangannya. Atau kekurangan apapun yang dia terima, mampu disikapi dengan kelapangan hatinya yang seluas dunia.
Moga saja Tom suaminya mau menerima Angelina apa adanya, menerima sesuatu yang dimiliki Angelina dengan segala kekurangannya, dibalik kecantikanya. Karena hanya aku saja yang selama ini mampu menerima kekurangan Angelina, karena sebuah janji sempat aku torehkan didepanya dengan saksi air matanya yang membasahi bahuku. Kala dia menerima hasil diagnose dokter yang menemukan adanya kanker ganas yang bersemayam di organ dalamnya.
“Marcell, aku harus mengucapkan selamat tinggal untukmu”. Kalimat darinya masih saja menghuni telingaku, meski telah satu tahun lamanya.
“Tenanglah dulu, Lia !. Jangan berkata kaya gitu”
“Aku harus ngomong gimana, bacalah hasil lab PA ini. Oh Tuhan kenapa begini !”
Sebuah pelukan lebih hangat dan rapat membuat akupun tidak ingin kehilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.
‘Oh Marcell, bagaimana ini ?”
“Kamu harus bersabar Lia, tentu saja yang mampu menyembuhkan adalah ketegaran kamu sendiri “. Dadaku terasa sesak saat Angelina menumpahkan kesedihan dan kegetiran hatinya dengan memeluku erat. Sementara seluruh tubuhnya tergoncang, lantaran Angelina belum mampu menerima kenyataan ini. Sekarang telah lima tahun berselang, aku telah berusaha menambatkan bahtera hidupku dengan gadis pilihanku yang mampu menyirnakan bayang kehadiran Angelina, namun selalu kandas dan berakhir dengan perpisahan. Selalu saja kekelaman aku dapatkan sama seperti yangh ditorehkan Angelina.
Memang tak semestinya aku terus ditelikung bayang Angelina, aku laki laki yang sudah sepantasnya menggenggam dunia dengan ketegaran hati dan kekokohan langkah. Hari demi hari baying Angelinapun tertinggal jauh, Sebuah langkah percaya diri dan gentle kembali aku dapatkan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
Hingga datanglah Rully, yang membuatku kembali lagi terbangun setelah lima tahun mengalami mimpi buruk terpasung Angelina. Sebuah rumah mungil di pinggir Kota Semarang telah menjadi saksi bahwa bahtera yang aku miliki telah menambatkan diri di tepi pelabuhan hati Rulli. Berbagai suka dan dukapun menjadi saling berbagi. Layaknya saling bergantinya temaram senja dan fajar di ufuk timur. Meski kebahagiaan Rully dan aku belum lengkap tanpa kehadiran seorang putrapun.
Rullylah yang paling merasakan kekurangan ini. Begitu besar kerinduan dirinya akan kehadiran seorang putra. Bahkan kerinduan ini semakin lama semakin menggrogoti hatinya. Hingga pada akhirnya diapun meminta sebuah perpisahan. Mungkin saja Tuhan berkenan menciptakan hambanya yang memang sanggup menerima cobaan yang tiada kunjung reda. Disaat sisa umurku yang menipis sebuah perpisahanpun masih saja melekat dalam hidupku. Namun sebuah kodratlah yang menginginkan perpisahan ini, karena merawat benih dalam kandungan, melahirkan dan mengasuh anak hingga dewasa adalah dambaan tiap wanita. Akupun melepas kepergian Rully dengan sebuah keinginan agar hatiku mampu setegar karang dilautan.
Rumah mungil di batas kota itupun kini lengang, berisi sebuah episode tentang sketsa hidup seorang manusia, yang berdinding putih kelabu, beratap asa yang tiada bertepi dan berlantai sebuah kekokohan yang terukir selangkah demi selangkah. Namun biarlah rumah mungil di batas kota ini nantinya aku harapkan masih bisa menjadi saksi perpisahan diriku dengan dunia yang penuh kepalsuan. Entah sam[pai kapan waktunya