Sajadah yang aku hamparkan ikut serta dalam pergulatan yang ada di dalam lazuardi batinku, dan terus saja menepiskan sekumpulan “halus sutra” yang sekarang hinggap di tengah hati. Padahal tangan ini sudah sekuat daya upayaku untuk menggapai angin malam,yang akan kuuntai di dada ini, agar mampu menerbangkan aku di balik keremangan Bulan Suci Romadhon Apakah sajadah yang ada di depanku ini terus saja akan melipat tempat sujudku.
Entah roda jaman apa yang menggilasku, sementara “seteguk demi seteguk” kegilaan telah aku selipkan pada semua yang aku punya. Hingga menusuk pembuluh darahku dalam otak yang tidak seberapa kokohnya. Hingga lunglai tulang ini, nanar pandang mataku meski seluruh otot bahu telah mengencang dan melegam, keangkuhanpun sempat menyelinap masuk dalam batin,hingga mampu membuat sejuta malaikat terpelanting kembali ke langit di tengah rengkuhan “Tangan Tuhan”.
Dan sekarang, sebuah gambaran abstrak yang menggigil lantaran amarahnya yang ememuncak telah menghadangku, di tengah pintu yang akan kuliwati untuk menyongsong Adzan dif ajar Bulan Romadhon.
“Apakah engkau sudah mampu berkemas guna menempuh perjalananmu, hai manusia lancang” jawab suara itu di balik pintu.
“Aku enggan menjawabmu, lantaran warna biru hanya akan aku hiaskan pada langit ketika tiada lagi badai yang memusariku”
“Ha..ha..ha,bukankah badai pernah kau curi dan dipasangkan di tengah mahkotamu, sehingga engkaupun tak mampu menoleh lagi. Sudahkah puas engkau mainkan sandiwara warna-warni di lazuardimu.Bukankah sajadah itu telah melipatkan dan hendak menukik dan mengganjal hatimu”
“Akupun belum sepenuhnya bermandikan air suci, agar sajadah ini menjadi diriku sendiri dan menjadi teman di tengah malam kala aku dipagut suatu kesunyian”.
Suara itupun telah lenyap. Karena kehalusan sutra di hatiku telah melilit lehernya. Tubuhnya kini menggigil dalam keputusasaan. Seribu sayap malaikatpun mampu menghalangi pandangan mataku, agar tidak lagi diculik oleh suara-suara sepanjang malam. Bumipun kini telah menelanya dan terus membenamkan menuju perutnya
Malam bertambah pekat, namun kegelapanya menjadi semakin memudar, kala dia menyiapkan diri menerima “malam seribu bulan”. Apalagi kesyahduan di sepertiga malam kini dirasakan oleh semua daun hijau yang tadi sempat menolak berceria di sentuh angin kembara. Biarlah malam ini menjadi miliku, agar leher ini tidak lagi menolehkan leherku pada masa silam.
Maka ketika bumi kuharapkan agar berputar berlawanan arah. Matahari kujadikan pertanda kala aku harus meradang dan menerjang debu jalan hingga berterbangan karena takut dengan kehadiranku. Segelas “khamer kehidupan” telah membutakan aku dalam arah mata angin yang tak pernah pasti. Maka kehidupan yang lancang terus saja menutupi”bait-bait suci” yang seharusnya menghiasi mahkota hidup.
“Hai,,jalan menuju keagungan, dimanakah aku akan temukan engkau, bila dengus nafasku sudah tidak mampu lagi mengenalku. Bila apa yang diperintahkan di Atas sana juga belum smpat aku benahi, aku cuci, aku seterika hingga pantas kala aku kenakan pada senja berhias pelabgi warna-warni”
“Berteriaklah engkau sekuat hati hai manusia, lantaran setiap debu yang ada di jalan ini adalah Tunduk dan Tawadhu kepada Sang Pencipta” Seru sebuah ujung jalan yang berliku dan membuat hati ini penasaran untuk men
“Lantas di mana akan aku temukan itu”
“Peganglah urat nadimu dan tundukanlah anganmu yang liar, yang biasa kau kenakan kala kau menggapai nafas, sehingga kaupun akan mendapatkan seteguk air tawar agar lebih mengerti lagi makna setiap makna di tengah sejuta makna “di tengah belantara ketidaktahuan”, kalau kau gelisah DIA yang akan membasahimu, kala kau terpanggang di tengah padang hidup yang gersang, DIA akan memberimu secawan obat mujarab hingga engkau tenang, bila enghkau tak tahu arah DIA pun akan menuntunmu dengan penuh ramah, bila engkau gundah, DIA pun akan memberikan apa saja lantaran DIA Maha Pemurah”
“Namun kedua kakiku ini sudah terlanjur terjerambab dalam kubangan “fatamorgana hidup di jaman ini”, rengkuhanya begitu kuatnya. Hingga dada ini terasa panas, tiada satupun air yang mampu membasuhnya, Tiada satu gunungpun yang mampu mengalirkan mata air pembnasuh itu”
“Engkau memang keras kepala hai manusia, dan tuli telingamu, mata hanya untuk memandang gebyar lampu taman warna-warni, ketahuilah hai “pembawa bencana”, semua yang menghalangimu mampu kau tundukan, bila suara degup jantungmu sendiri telah mampu kau dengarkan, bila darah yang mengalir di setiap nadimu telah kau jaga. Maka pergilah kamu jauh-jauh, tundukan “belantara ketidaktahuan” dengan bilah sutra yang kini ada di sudut hatimu. Niscaya malamupun menjadi milik seribu bulan”.
Kali ini biar aku pegang sisi yang paling tajam dari pedang waktu, agar tidak menebasku dan memisahkan diriku dengan ujung jalan yang tak berdebu itu. Biarlah aku jaga pedang itu hingga suara Adzan di fajar Bulan Romadhon mampu aku dengarkan dengan jernih.
Jumat, 17 September 2010
Menjaring Lazuardi ASMAMU
Langit telah membuka jendelanya, sehingga turunlah beribu berkas sinar kesyahduan diantara yang terindah selama 30 hari. Tanpa ada keraguan lagi, sinar-sinar itupun meliuk bagai kepala naga yang hendak mencari mangsanya. Walau mereka hanya berniat membawa sekeping berita kemenangan untuk diberikan kepada manusia yang berjejer dan berhias dengan kesungguhan, di balik Mahameru dengan menggambar warna langit yang biru-terharu.
Diantara gerimis wewangian bunga itu, sebentar-sebentar terdengarlah, lengkingan sejuta jubah hitam yang membelit bahu manusia, untuk meradang membiramakan nada-nada yang telah disunting dari balik kaki langit
“Akulah sinar putih dari beranda langit”
“Enyahlah,engkau sinar-penjaja ketidak- tahuan. Biarkan malam ini aku sepelaminan dengan manusia untuk mencicipi manisnya madu. Lantaran banyak manusia yang dahaga”. .Protes durjana bermuka hitam kelam. Nampak dari kedua matanya, tersorot bola api, yang mampu menembus kedalaman sebuah samudra.
“Biarlah sesukamu engkau membentang sayap, biarlah sesukamu menebar angin kembara. Sehingga mampu meniupkan manusia dalam penjelajahan tiada akhir. Aku tak berminat sedikitpun berseloroh denganmu ”
“Lantas mampukah engkau menerbangkan manusia dengan sejuta sayapmu, menuju pelabuhan yang berhias kenikmatan dan kesyahduan.dimana manusia mampu menyandarkan angan, merebahkan badanya sambil menikmati tembang Asmarandhana, layaknya mempelai menikmati malam pertama penuh sendau-gurau”
“Enyahlah kau dari dekatku, kembalilah ke asalmu bersama bangunan istanamu, yang lama kau tinggalkan. Tiada sedikitpun kau punya hak untuk melarangku. Aku hanya mau menyunting kekasihku yang bersemayam di tiap akhir malam untuk membasahi lidahnya, mereka yang dari kedua tanganya mampu memancarkan air gunung, mereka yang setiap malam menggambarkan kanvas dengan garis penuh warna, enyahlah kau jauh-jauh !!!”...
Berdesirlah angin malam yang kuat saat itu, angin yang mengikat takbir, tahlil dan takhmid dalam satu ikatan. Lantas ujung-ujung ikatan segera saja memelantingkan “dahaga di ujung jiwa”, bagi tiap manusia yang tiada pernah lagi hirau akan episode ego,maka biar saja baju-baju mereka berenda sulaman dengan benag surga.
Sesampainya mereka di hadapan wajah wajah yang tunduk di tengah gema takbir, sinar sinar putih itupun merebahkan diri di lantai bumi.Seketika itu bumipun bergetar, dan segera bumipun dengan dandanan yang telah pongah egera mengikuti sinar putih tersebut dalam mendekam makna.
2
“Hai bumi mengapa engkau kini berdandam penuh kepongaha, warna bajumu telah luntur, sementara wajahmu kini di berhias belatung belatung kebusukan yang menjijikan. Tiada kau lupa bahwa engka dikandung alam semesta selama enam peraduan, dan engkau tempat manusia bergelantung menghirup segar nafasmu. Dari tubuhmu itulah manusia menggenapkan manka hidup, maka janganlah kamu lupakan malam ini. Malam yang berisi kesegaran untuki jiwamu yang renta”
“Benar sekali apa yang kau katakan, maka biarkan saja aku melengking menerbangkan syahwat durjanaku agar manusia terpelanting dari tepiku, dan berkelana entah ke mana. Akupun muak dengan tabiatnya yang angkuh”.
“Sejak kapan kamu bisa bersikap keblinger seperti itu. Engkau adalah biduk nabi Nuh, ketika biduknya yang dulu kandas di puncak Himalaya. Memang engkau telah membawa beban muatan yang terpilih, dan lagi mereka memiliki raut wajah yang beraneka-ragam. Hingga nanti saat kabut batas tersingkap, engkaupun akan melihat mereka dalam lakon hidupnya masing-masing”.
Sejenak keduanya terpagut dalam kesyahduan malam takbir penuh kunang-kunang, malam itu bertepi setiap kalbu yang telanjang dengan hanya hiasan Tawadhu, malam yang menderangi jalan temaram karena RidhoNYA.
bambang sukmadji |
Sesekali terdapat juga manusia yang berkulit muka tebal, dengan pandangan mata lurus ke depan dan terkadang tengadah untuk menepis pasrah dan menyelipkan angkuh, wajah yang selalu menjinjing senyum kedurjanaan. Mereka menyimpan nafsu keduniawian dalam perutnya yang membusung, dada mereka kinipun disodorkan pada roda jaman gengan membusung, tanpa mengindahkan kehalusan untuk orang lain.
“Hai..manusia mengapa engkau demikian”, Tanya sebiuah wujud dari sudut hati mereka, saat mereka melepas lelah dari letih yang mencekam.
“Lantas aku harus berbuat apa lagi..?”
“Apa kamu tidak pernah menggunakan hatimu untuk menggambarkan akan semua yang melingkungimu dan ada apa di balik itu ?”
“Perjalanan ini sungguh meletihkan.Mana sempat aku berikan sebagian dari tubuhku, untuk mengintip sesuatu dari balik ini semua. Bukankah aku sudah memiliki jalanku sendiri untuk mencapai tujuan. Tujuanku tiada lain hanya mengakhiri keletihan ini”
“Justru saat itulah yang menjadi bagian yang sangat essensi tentang keletihanmu itu”.
“Aku mau diberi apa lagi ?”
“Nanti kamu bisa mendapatkan seteguk air penghaopus dahaga”
“Dari mana asalnya air itu ?”
“Dari yang Mencipta”
“Mengapa tidak selarang saja diberikan”
3
‘Karena tenggorokanmu masih menolak mendapatkan air itu !”
“Ah..biarkan..aku hanya memejamkan mata hanya sejenak..saat aku terbangun, tentunya akan menjadi bagian dari perjalananku sendiri.Biar saja aku berselimut apa yang aku sukai.Biar saja lampu-lampu taman tempatku berjalan berhias guratan penuh maghfiroh..biarkan saja “
“Tetapi bukan dengan cara memalingkan wajahmu”
“Wajahku biar saja miliku”
“Namun nanti akan menghadap sisi paling cerah, saat kamu mengakhiri babak sandiwaramu”
“Akupun sudah tahu sisi yang paling cerah itu, tidak usah kau banyak celoteh. Ikuti saja perjalanan ini”
Tiada pernah sepi kanvas wajah samudra yang membujur dari ujung satu sama lainya, dari rona manusia seperti itu. Hingga tiada beda warna malam beruntai asmaNYA dengan malam lainnya.Mereka telah membuat sinar putih menjadi meradang dan meregang karena dada mereka yang membusung, mereka telah pula menjadi kekasih hati dengan lantunan cinta jubah-jubah hitam pekat yang bergelantungan di bibir neraka.
Namun apa arti mereka semua, lebih baik manusia yang sedang menunggu panggilan untuk ,menjenguk wajah kelanggengan, untuk tetap membasahi lidah dengan Takbir, Tahlil dan Tahmid,untuk menuju gerbang fitri yang sudah berdandan ayu. Bumipun masih setia memutarkan Kodrat dan IradatNYA, tiada pernah terpaku sejengkalpun pada perjalanan mengantarkan Sunatullah.
Biarkanlah manusia manusia itu terperangkap dalam angin segar beraroma kefitrian. Merekapun kini berhias dengan pintu sorga bergurat kayu cendana bertulisan pintu untuk ahli puasa. Semoga aku salah satu manusia yang terjebak dalam Lazuardi AsmaMU.
ISTANA DI BALIK CAKRAWALA
Di balik cakrawala langitpun kini berwarna jingga, setelah sekian lama “menikam senyumnya” hingga berwarna merah merona. Di balik cakrawala itu pula, terdapat membisu puncak yang lebih kokoh dari Puncak Sagarmatha namun tetap saja cakrawala itu saat ini berkulum senyum, menyimpan gambaran penuh kasih.Didalamnya bersemayam Istana tempat manusia melepas lilitan tali bersimpul gerigi, yang tiada mau lepas dari kulit yang telah terkoyak. Sesekali angin dingin cakrawala itu, berteriak menyampaikan protes, mengapa kecantikan Mauna Loa dan Chimborazo tidak pernah terlintas lagi, mengambil syahwat-syahwat yang akan menggoda manusia, yang menjinjingnya menuju cakrawaka itu.
Namun rupanya kesyahduan manusia dalam merajut angin penuh wangi bunga dalam ikatan kembang setaman di cakrawala itu, telah melupakan nafsu syahwat itu, Lagian di tengah cakrawala itu, ketika terdengar takbir, tahlil dan takmid , manusia kembali tersungkur menata nafasnya kembali, ketika tersengal di adonan duniawi yang telah berbau busuk. Bukankah di Palung Mariana, tempat yang eksotis berisi telaga Kautsar yang akan membumikan segala nafsu.
Bukalah ikatan Batari Durga di pelabuhan Gondo Mayit,lalu campakan hingga engkau manusia mampu mengepalkan tanganmu dan tak akan lagi mempan terhadap rayuan Batari Dorga ketika kau masih berada di bawah cakrawala, ketika lembayung senja memerahkan rona kalbumu, ketika sekuntum bunga mawar sudah tidak membawa kesegaran lagi, Ketika langit tersungkur mendengar suara Adzan, engkaupun malah menanarkan matamu,melilitkan deru dan debu di bilik jantungmu.Apakah sudah gelap matamu,padahal ruhmu yang tidak seberapa kokoh telah berada di genggamNYA. Inilah cakrawala nun jauh disana yang berisi sebuah istana untuk kau semayami.
Semilir angin Sagarmantha telah menukik tajam namun tetap sepoi membangkitkan kerinduan manusia untuk memetiknya dan menyimpan dalam dadanya masing-masing, bagi yang telah gerah jiwanya. Bila angin ini berhasil dililitkan dalam kehidupan yang penuh bara, hasud, iri dan dengki. Maka tiada mungkin lagi manusia menengadahkan wajah untuk meminta hujan esok pagi.yang memberi kesejukan hidup, bukankah dada ini sekarang telah berisi kuntum senyum keteduhan yang ada di Cakrawala.
Bukankah pula telah satu bulan penuh manusia “tawadhu berpasrah”, telah menerpa dirinya sendiri agar kokoh menghadapi tajamnya badai. Akupun masih limbung terbenam dalah tajamnya badai itu. Aku telah menyingsingkan lengan baju, menyingsingkan cita dan hasrat dan menajamkan tatapan mata selama satu bulan menguntai dahaga, lapar, dan mendidihnya ubun ubun kepala dalam menerima sodoran hidup. Lantas biar saja aku lewati satu bulan untuk mereguk Al Kautsar di
Dengan tergopoph-gopoh, lantaran tinggal setapak langkah kaki menuju Istana di balik Cakrawala, aku menggapai dengan genggaman tangan yang selalu bergetar selama 10 malam terakhir. Aku reguk setetes demi setetes air Telaga Kautsar,. aku turuti sungai-sungai Gletser dari Puncak Chomolangma, . yang bertepikan tumpukan salju yang mampu memantulkan sinar sang mentari, hingga berwarna putih tanpa
2
sedikitpun kekusaman. .Lantas dahaga ini mulai menyurut, ditengarai langkah semakin menyerupai “sapu angin”.
Selamat Datang pada wujudku semula, yang tidak lagi renta seperti Janggan Semarasanta atau bahkan seperti Pandita Sokalima, atau bahkan muda belia seperti Wisanggeni, yang ada adalah aku bersama bayang berbaju putih dengan mengenakan sayap putih hendak terbang meniti ke empat arah kebenaran. “0h,,inikah arah itu, aku hanya mengerti lewat nyanyi burung,namun ke empat arah itu kini sudah di dekatku”, bisik kalbuku, yang telah lama merindu kebenaran.
Akupun tidak mengira sebelumnya, bila sebilah episode pernah aku torehkan, kini menjelma menjadi wujud yang ada dihadapanku. .Sambil berteriak dan menggertak, yang suaranya memenuhi empat arah langit, dan dari tangan kirinya menjinjing “kantong hitam”, untuk tubuhku yang tertebas pedangnya yang tajam dan terhunus di tangan kanannya.
“Aku adalah bayangan semu dan hitam, tempat kau pernah menorehkan sesuatu yang spectakuler. Tetapi engkau sama sekali tiada menyadari”
“Perjalanan yang aku kayuh dengan biduk tiada pernah membentur karang yang tegar, ombak ganas dan badai yang menelan biduku”
“Itulah maka kau disebut manusia, ketika senja jatuh di pelataran Pantai Parangtritis, ketika kau bagalkan Romie dan Juli, ketika Julimu tersenyum ceria dan kaupun sempat mereguk “anggur merah” bercawan emas.dan kau melihat langit runtuh. Teteapi kau hanya diam terpaku. Kini dimana cawan emas itu ?”
“Aku buang jauh-jauh, dalam samudra hitam pekat. .Akupun tiada pernah berhasrat mencarinya, karena samudra itu sangatlah dalam.Aku bukan Werkudoro ketika mendapatkan Sang Dewa Ruci. Aku tidak tahu, harus bicara apa lagi
“Kamu memang manusia yang hanya bernafas, tiada pernah menelisik kata hati, bertulang kecil dan berdada rapuh, serta berdandan angin -badai di alam fana ini, tetap dadamu kau busungkan setinggi gunung anakan. Maka jangan lari, akan aku pagut dengan pedang ini tepat di atas ubun-ubun kepalamu”
“Ampun wajah seribu langit, berilah aku sekali lagi agar mampu menapaki lantai Istana Di Balik Cakrawala itu, anginya sudah aku rasakan dari sini. Pintu-pintunya sudah melambaikan tangan-tangannya lantaran rindu bertemuku. Aku tidak mencari apa-apa lagi, di saat hari telah senja, di saat sinar telah temaram, di saat baju yang basah tiada mengering lagi. Pasti aku akan menemukan cawan emas itu. Akan aku
simpan baik-baik, aku cuci pagi dan sore, serta akan aku peluk dalam setiap tidurku, Agar aku pula dapat memasuki Istana itu”
“Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang dapat menentukan dirimu sendiri untuk mengembara dalam tiap sudut istana itu. Maka pulanglah engkau, senja terakhir di bilangan 30 hari telah cukup, lantas kau dapat tebari lagi hari hari esokmu dengan mutiara kemuliaanmu, agar engkau bisa bersemayam pada “tempat yang jauh lagi dari istana itu”
3
“Dimana lagi akan aku temukan tempat itu”
“Saat sebuah Catatan Harian dari langit mengirim kamu seprang utusan dan membawamu, berkeliling taman penuh warna bunga menembus angkasa dan melaju terus di tiap penjuru langit. Angin berdesir kuat diikuti butir pasair yuang menghalangi batas pandangku, langit kembali berwarna biru. Basah wajahku bersatu dengan “ornament-ornamen tentang hidup”. Gema Takbir, Tahlil dan Takbir memenuhi tiap kamar dan relung istana itu.
Akuipun menjadi terperangah, lantas aku sunting angin kembara untuk mengantarkan aku pada cawan emas tempat”anggur merah” yang telah disediakan untukku, kini cawan itu tergolek lemas, tiada lagi kekuatan untuk menegakan tulang belulangnya. Lantas aku sodorkan bunga mawar merah membara, agar dia mampu untuk menatap hari esoknya lagi.
“Trimalah ini, meski aku terlambat” seruku sambil tatapan mataku tak pernah aku lepaskan.
“Engkaulah durjana itu, .manusia yang tiada punya halaman hati untuk sekedar bertanam kebun buah. Untuk memandangi hijauan daun, untuk menitipkan sebilah kesejukan..?”
“Maka aku berikun seikat mawar merag ini”
“Untuk apa ?”
“Untuk aku terbangkan tubuhmu yang tergolek, agar bersemi lagi.agar semaumu bersemayam di kamar-kamar di Istana itu, lantas aku berikan bantal bersusun tujuh, dengan kebun bunga berada di sisi kanan kiri halaman istana itu”. Kini semua menjadi lengang setelah ornament diding itu dosemaraki dengan “anggur mera” yang berkubang di cawan emas.Bersama dengan Gema Takbir yang lebih nyaring lagi.
Namun rupanya kesyahduan manusia dalam merajut angin penuh wangi bunga dalam ikatan kembang setaman di cakrawala itu, telah melupakan nafsu syahwat itu, Lagian di tengah cakrawala itu, ketika terdengar takbir, tahlil dan takmid , manusia kembali tersungkur menata nafasnya kembali, ketika tersengal di adonan duniawi yang telah berbau busuk. Bukankah di Palung Mariana, tempat yang eksotis berisi telaga Kautsar yang akan membumikan segala nafsu.
Bukalah ikatan Batari Durga di pelabuhan Gondo Mayit,lalu campakan hingga engkau manusia mampu mengepalkan tanganmu dan tak akan lagi mempan terhadap rayuan Batari Dorga ketika kau masih berada di bawah cakrawala, ketika lembayung senja memerahkan rona kalbumu, ketika sekuntum bunga mawar sudah tidak membawa kesegaran lagi, Ketika langit tersungkur mendengar suara Adzan, engkaupun malah menanarkan matamu,melilitkan deru dan debu di bilik jantungmu.Apakah sudah gelap matamu,padahal ruhmu yang tidak seberapa kokoh telah berada di genggamNYA. Inilah cakrawala nun jauh disana yang berisi sebuah istana untuk kau semayami.
Semilir angin Sagarmantha telah menukik tajam namun tetap sepoi membangkitkan kerinduan manusia untuk memetiknya dan menyimpan dalam dadanya masing-masing, bagi yang telah gerah jiwanya. Bila angin ini berhasil dililitkan dalam kehidupan yang penuh bara, hasud, iri dan dengki. Maka tiada mungkin lagi manusia menengadahkan wajah untuk meminta hujan esok pagi.yang memberi kesejukan hidup, bukankah dada ini sekarang telah berisi kuntum senyum keteduhan yang ada di Cakrawala.
Bukankah pula telah satu bulan penuh manusia “tawadhu berpasrah”, telah menerpa dirinya sendiri agar kokoh menghadapi tajamnya badai. Akupun masih limbung terbenam dalah tajamnya badai itu. Aku telah menyingsingkan lengan baju, menyingsingkan cita dan hasrat dan menajamkan tatapan mata selama satu bulan menguntai dahaga, lapar, dan mendidihnya ubun ubun kepala dalam menerima sodoran hidup. Lantas biar saja aku lewati satu bulan untuk mereguk Al Kautsar di
Dengan tergopoph-gopoh, lantaran tinggal setapak langkah kaki menuju Istana di balik Cakrawala, aku menggapai dengan genggaman tangan yang selalu bergetar selama 10 malam terakhir. Aku reguk setetes demi setetes air Telaga Kautsar,. aku turuti sungai-sungai Gletser dari Puncak Chomolangma, . yang bertepikan tumpukan salju yang mampu memantulkan sinar sang mentari, hingga berwarna putih tanpa
2
sedikitpun kekusaman. .Lantas dahaga ini mulai menyurut, ditengarai langkah semakin menyerupai “sapu angin”.
Selamat Datang pada wujudku semula, yang tidak lagi renta seperti Janggan Semarasanta atau bahkan seperti Pandita Sokalima, atau bahkan muda belia seperti Wisanggeni, yang ada adalah aku bersama bayang berbaju putih dengan mengenakan sayap putih hendak terbang meniti ke empat arah kebenaran. “0h,,inikah arah itu, aku hanya mengerti lewat nyanyi burung,namun ke empat arah itu kini sudah di dekatku”, bisik kalbuku, yang telah lama merindu kebenaran.
Akupun tidak mengira sebelumnya, bila sebilah episode pernah aku torehkan, kini menjelma menjadi wujud yang ada dihadapanku. .Sambil berteriak dan menggertak, yang suaranya memenuhi empat arah langit, dan dari tangan kirinya menjinjing “kantong hitam”, untuk tubuhku yang tertebas pedangnya yang tajam dan terhunus di tangan kanannya.
“Aku adalah bayangan semu dan hitam, tempat kau pernah menorehkan sesuatu yang spectakuler. Tetapi engkau sama sekali tiada menyadari”
“Perjalanan yang aku kayuh dengan biduk tiada pernah membentur karang yang tegar, ombak ganas dan badai yang menelan biduku”
“Itulah maka kau disebut manusia, ketika senja jatuh di pelataran Pantai Parangtritis, ketika kau bagalkan Romie dan Juli, ketika Julimu tersenyum ceria dan kaupun sempat mereguk “anggur merah” bercawan emas.dan kau melihat langit runtuh. Teteapi kau hanya diam terpaku. Kini dimana cawan emas itu ?”
“Aku buang jauh-jauh, dalam samudra hitam pekat. .Akupun tiada pernah berhasrat mencarinya, karena samudra itu sangatlah dalam.Aku bukan Werkudoro ketika mendapatkan Sang Dewa Ruci. Aku tidak tahu, harus bicara apa lagi
“Kamu memang manusia yang hanya bernafas, tiada pernah menelisik kata hati, bertulang kecil dan berdada rapuh, serta berdandan angin -badai di alam fana ini, tetap dadamu kau busungkan setinggi gunung anakan. Maka jangan lari, akan aku pagut dengan pedang ini tepat di atas ubun-ubun kepalamu”
“Ampun wajah seribu langit, berilah aku sekali lagi agar mampu menapaki lantai Istana Di Balik Cakrawala itu, anginya sudah aku rasakan dari sini. Pintu-pintunya sudah melambaikan tangan-tangannya lantaran rindu bertemuku. Aku tidak mencari apa-apa lagi, di saat hari telah senja, di saat sinar telah temaram, di saat baju yang basah tiada mengering lagi. Pasti aku akan menemukan cawan emas itu. Akan aku
simpan baik-baik, aku cuci pagi dan sore, serta akan aku peluk dalam setiap tidurku, Agar aku pula dapat memasuki Istana itu”
“Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang dapat menentukan dirimu sendiri untuk mengembara dalam tiap sudut istana itu. Maka pulanglah engkau, senja terakhir di bilangan 30 hari telah cukup, lantas kau dapat tebari lagi hari hari esokmu dengan mutiara kemuliaanmu, agar engkau bisa bersemayam pada “tempat yang jauh lagi dari istana itu”
3
“Dimana lagi akan aku temukan tempat itu”
“Saat sebuah Catatan Harian dari langit mengirim kamu seprang utusan dan membawamu, berkeliling taman penuh warna bunga menembus angkasa dan melaju terus di tiap penjuru langit. Angin berdesir kuat diikuti butir pasair yuang menghalangi batas pandangku, langit kembali berwarna biru. Basah wajahku bersatu dengan “ornament-ornamen tentang hidup”. Gema Takbir, Tahlil dan Takbir memenuhi tiap kamar dan relung istana itu.
Akuipun menjadi terperangah, lantas aku sunting angin kembara untuk mengantarkan aku pada cawan emas tempat”anggur merah” yang telah disediakan untukku, kini cawan itu tergolek lemas, tiada lagi kekuatan untuk menegakan tulang belulangnya. Lantas aku sodorkan bunga mawar merah membara, agar dia mampu untuk menatap hari esoknya lagi.
“Trimalah ini, meski aku terlambat” seruku sambil tatapan mataku tak pernah aku lepaskan.
“Engkaulah durjana itu, .manusia yang tiada punya halaman hati untuk sekedar bertanam kebun buah. Untuk memandangi hijauan daun, untuk menitipkan sebilah kesejukan..?”
“Maka aku berikun seikat mawar merag ini”
“Untuk apa ?”
“Untuk aku terbangkan tubuhmu yang tergolek, agar bersemi lagi.agar semaumu bersemayam di kamar-kamar di Istana itu, lantas aku berikan bantal bersusun tujuh, dengan kebun bunga berada di sisi kanan kiri halaman istana itu”. Kini semua menjadi lengang setelah ornament diding itu dosemaraki dengan “anggur mera” yang berkubang di cawan emas.Bersama dengan Gema Takbir yang lebih nyaring lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)