Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.
Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya. Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.
Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.
Aku mengenalnya dengan raut mukanya yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku entah kemana. Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.
Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.
“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.
“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.
“Maafin aku mengganggu tidurmu”
“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.
“Win, kamu marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu kan teman sekantorku, dan sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”
“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.
“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”
“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”
“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”
“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”
“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.
“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”
“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!. Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah” Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.
“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”
“Aku tunggu di luar saja Win. Di luar angin kemarau mulai kencang“
Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.
“Mereka sudah tidur, ? “
“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.
“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka butuh itu Win “
“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”
“Lama lama mereka juga akan percaya”
“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”
“Apa arti semua itu sih Win?”
“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’
“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”
“Maksud Mas ?”
“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “
“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.
Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi , bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.
Jumat, 17 September 2010
Nyanyian Merdu SANG GURU
Biarkan saja kokok ayam jantan tak henti menyambut pagi hari, mereka berkokok saling bersautan dari pojok desa satu dengan lainnya. Mereka begitu tak hirau dengan datangnya hari yang akan dijalani oleh kehidupan manusia babak demi babak, menurut kodrat yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.
Pagi itu bumi Desa Kembang Arum seakan tiada menyisakan warganya yang kembali merapatkan selimutnya, meski di tengah musim kemarau udara begitu dinginnya. Kabut tebal masih enggan menatap sang mentari. Sementara itu semua celoteh burungpun tak mau peduli dengan malasnya embun yang menyelimuti mereka. Sementara semua penduduk desa, yang kebanyakan petani gurem mulai bersiap mencari secercah penghidupan, dengan menyandarkan pada palawija, lantaran musim kemarau masih menerpa mereka. Di tengah penghidupan masyarakat yang separuh nafas itulah, Nur Hadi mengabdikan diri sebagai Pak Guru.
Demikian predikat yang diberikan masyarakat desa kepadanya.Nur Hadi bukan hanya guru di SD N III Kembang Arum, namun dia juga sebagai guru bertani, bergaul, pengentasan terhadap ketertinggalan, keserasian rumah tangga dan seabreg nilai lainnya yang dibutuhkan masyarakatnya. Jubah Hitam kala dia kenakan diwisuda menjadi S.Pd. ternyata menyimpan seribu beban. Namun bagi Nur Hadi beban itu, hanyalah sebuah nyanyian merdu seorang pendidik yang ditekuni lahir batin.
Matahari sudah tidak malas lagi dan kini mulai bangkit dari cakrawala timur, jalan desa sudah dipenuhi sibuknya petani guna mencari nafkah. Debu jalan desapun tak mau kalah dalam bersuka ria, beterbangan bersama angin kemarau yang dingin dan kering.
Dengan sepeda motor bututnya Nur Hadi mulai bersiap menuju sekolahnya guna menyongsong anak-anak kesayangannya untuk mendapatkan setetes demi setetes ilmu. Namun terkadang pula dia sering menjumpai penduduk desa yang sengaja bertandang di sekolahnya sekedar minta setetes masukan guna menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya. Dalam hal ini jadilah Nur Hadi sebagai konsultan rumah tangga, kesehatan, bisnis yang tanpa menarik jasa serupiahpun.
Angin kemarau melambaikan semua rerimbunan daun di lingkungan sekolah, menimbulkan hawa sejuk sekaligus keteduhan hati. Nur Hadi masih membimbing anak kelas VI untuk menata kelas, karena senin lusa akan dilangsungkan ujian sekolah. Pandangan matanya kini terpusat pada halaman sekolah, kala seorang wanita tua berjalan mendekatinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya pagi ini giliran seorang penduduk desa yang berniat minta tolong kepada Pak Guru Nur Hadi.
“Oh rupanya engkau Bi, silakan duduk”
“Aku harus bagaimana?, aku harus berkata apa?”
“Sabarlah Bi, duduklah dengan tenang, katakana apa masalahnya, Jangan emosi dulu”
“Itu si Amran, yang sekarang tak mau sekolah lagi, sudah tiga malam ini dia baru pulang. Lagian pulang dalam keadaan mabuk. Bagaimana ini Pak Guru ?”.
“Ah anak muda sekarang memang seperti itu, Bi. Jangan Bibi banyak marah dengan anak sekeras itu. Turuti saja kemauannya dulu. Setelah dia agak lapang hatinya barulah Bibi nasehati dia”
“Tolonglah Pak Guru, sudah tidak kurang lagi aku ngomong sama dia. Rasanya sampai kaku lidahku”
“Ah Bibi ini ada ada saja. Kalau Bibi tidak mau kasih nasehat. Lantas siapa lagi?”
“Iulah masalahnya, Pak Guru !. Amran kan dulu sekolah sini. Dulu kan Pak Hadi yang paling dekat denganya. Maka tolonglah Bibi ini. Nasehati si Amran itu !”
“Baiklah kalau begitu, Bi !. Tunggulah beberapa hari. Nantikan dia ketemu aku di kegiatan karang taruna. Aku akan nasehati dia”
“Ah trimakasih sebelumya, siapa lagi kalau tidak sama kau Pag Guru, untung desa ini punya guru seperti kamu. Maka carilah gadis desa sini supaya kau betah tinggal di sini. Jadilah penduduk sini, kau akan merasa damai, Jangan cari gadis kota !. Mereka pintar dan cantik tapi suka berani sama suami”
“Ah Bibi ada ada saja. Trimakasih nasehatnya ya Bi”
“Aku pamit dulu, gampang lain waktu kita sambung lagi”
Nur Hadipun menjadi geli hatinya, tentang peran dia di tengah masyarakat desa ini yang masih lugu dan pasrah. Jauh berbeda dengan Jogja tempat kelahirnya, yang jauh di sebrang lauan dari tempat dia mengajar kini. Beruntung pula bagi Nur Hadi yang memiliki tabiat ramah, suka menolong dan supel bergaul. Maka meski kehadiran dia di Jambi belum beberapa lama, namun hamper semua warga di Kecamatan Hidup Baru Kota Jambi telah mengenalnya.
Matahari telah melewati sepenggalah langit, teriknya sudah mulai memenuhi semua halaman sekolah yang sederhana itu. Semua siswa kini berteriak kegirangan lantaran mereka hanya setengah hari bersekolah. Nur Hadipun segera menuju perjalan pulang melewati jalan yang terik dan berdebu. Gemerisik daun jagung di tiup angin padang terdengar sepanjang kanan kiri jalan desa. Senyum wanita desapun tak ketinggalan ikut mengantar sepanjang perjalanan guru muda terebut, Termasuk Restu Priastuti, putra Pak Priadi yang telah lama tinggal di pinggiran Kota Jambi. Pak Priadi sendiri befrasal dari Kab. Purbalingga Banyumas.
Untuk gadis Jambi yang satu ini memang Nur Hadi merasakan sesuatu yang lain. Selama dia menggapai masa depanya dengan menjelajah banyak tempat, belum pernah kata hatinya bergejolak seperti ini, dari mulai pandangan pertama saat mereka bertemu di pertandingan voley antar desa, mereka berdua sudah saling tertarik.
Nur Hadi segera menepikan motornya kala melihat Restu gadis pujaanya, sedang membantu ayahnya membersihkan lahan tanaman jagungnya dari rumput dan gulma lainnya. Mereka akhirnya sudah terlibat dalam canda ria saling melepas tawa, sambil sebentar sebentar berpadu pandang. Kala ini terjadi, merahlah pipi Restu namun tidak mengurangi keanggunan gadis desa ini. Nur Hadi segera saja melepas sepatunya dan ikut membantu tambatan hatinya dalam mengolah lahan jagung itu, meski seragam batik PGRI menjadi berlepotan tanah.
“Kok nggak sekalian pulang dulu Kak?”
“Di rumah juga mau ngapain cuma bengong. Mendingan melihat di sini, bisa melihat Nawang Wulan di sawah”
“Siapa itu Nawang Wulan, pacarmu dari Jawa ya Kak ?” . Nur Hadi tersenyum gelid an membuat Restu tambah penasaran
“Ayo dong Kak. Siapa Nawang Wulan. Kayaknya di desa ini nggak ada yang bernama Nawang Wualan”. Karena desakan yang terus menerus Nur Hadipun akhirnya bercerita tentang legenda Jawa tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan. Restupun menjadi berbingar wajahnya dan memerah pipinya dan kini hanya tertunduk lesu setelah tahu maksud hati sang guru yang masih perjaka itu/
“Tapi aku bukan bidadari lho kak”
“Ah bagiku kamu adalah bidadariku” jawab Nur Hadi kala mereka telah berdua duduk di bawah rerimbunana tanaman jagung yang sudah agak tua.
“Kan masih banyak bidadari di Jawa kaka?”
“Aku sudah jadi PNS dan berniat tinggal di sini. Lagian di Jawa aku tidak punya siapa siapa hanya bapak dan ibu serta adiku. Untuk apa aku ke Jawa lagi”
“Tapi banyak guru negeri yang balik lagi ke Jawa, kamu apa nggak seperti mereka?”
“ Nggak Res, aku dah betah disini, kelak kalau kita bersama membentuk maghligai, akan aku pindahkan saja bapak ibuku ke sini. Orang sini baik baik semua sama aku Res ?”
“Gimana ya kaka, kebanyakan pria memang suka menebar janji, aku nggak tahu kak?”
“Aku seorang pendidik Res !. aku punya moral. Dan bagi seorang pendidik, yang telah bertekad menjadi pegawai negeri tentunya akan memiliki moralitas untuk membangun lingkunganya. Barangkali kita bsa pulang ke Jawa setelah aku pensiun. Dan untuk itu telah berulang aku sampaikan padamu untuk bersama menggapai kehidupan kita bersama”. Restu hanya menundukan wajahnya, sama sekali dia tidak mampu menjawab setuju. Maka kini Nur Hadi menjadi berbunga hatinya. Tembang merdu dalam hatinya terus saja ia dendangkan sepanjang perjalanan pulang mengantar Restu ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan semua warga desapun melempar senyum dan lambaian tangan. Seakan mereka telah menobatkan mereka berdua sebagai Abang dan Nona Desa Kembang Arum. Nur Hadi kinipun larut dalam belaian cinta bersama Restu pujaan hatinya.(PONDOK SASTRA HASTI SEMARANG)
Pagi itu bumi Desa Kembang Arum seakan tiada menyisakan warganya yang kembali merapatkan selimutnya, meski di tengah musim kemarau udara begitu dinginnya. Kabut tebal masih enggan menatap sang mentari. Sementara itu semua celoteh burungpun tak mau peduli dengan malasnya embun yang menyelimuti mereka. Sementara semua penduduk desa, yang kebanyakan petani gurem mulai bersiap mencari secercah penghidupan, dengan menyandarkan pada palawija, lantaran musim kemarau masih menerpa mereka. Di tengah penghidupan masyarakat yang separuh nafas itulah, Nur Hadi mengabdikan diri sebagai Pak Guru.
Demikian predikat yang diberikan masyarakat desa kepadanya.Nur Hadi bukan hanya guru di SD N III Kembang Arum, namun dia juga sebagai guru bertani, bergaul, pengentasan terhadap ketertinggalan, keserasian rumah tangga dan seabreg nilai lainnya yang dibutuhkan masyarakatnya. Jubah Hitam kala dia kenakan diwisuda menjadi S.Pd. ternyata menyimpan seribu beban. Namun bagi Nur Hadi beban itu, hanyalah sebuah nyanyian merdu seorang pendidik yang ditekuni lahir batin.
Matahari sudah tidak malas lagi dan kini mulai bangkit dari cakrawala timur, jalan desa sudah dipenuhi sibuknya petani guna mencari nafkah. Debu jalan desapun tak mau kalah dalam bersuka ria, beterbangan bersama angin kemarau yang dingin dan kering.
Dengan sepeda motor bututnya Nur Hadi mulai bersiap menuju sekolahnya guna menyongsong anak-anak kesayangannya untuk mendapatkan setetes demi setetes ilmu. Namun terkadang pula dia sering menjumpai penduduk desa yang sengaja bertandang di sekolahnya sekedar minta setetes masukan guna menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya. Dalam hal ini jadilah Nur Hadi sebagai konsultan rumah tangga, kesehatan, bisnis yang tanpa menarik jasa serupiahpun.
Google, 2010 |
“Oh rupanya engkau Bi, silakan duduk”
“Aku harus bagaimana?, aku harus berkata apa?”
“Sabarlah Bi, duduklah dengan tenang, katakana apa masalahnya, Jangan emosi dulu”
“Itu si Amran, yang sekarang tak mau sekolah lagi, sudah tiga malam ini dia baru pulang. Lagian pulang dalam keadaan mabuk. Bagaimana ini Pak Guru ?”.
“Ah anak muda sekarang memang seperti itu, Bi. Jangan Bibi banyak marah dengan anak sekeras itu. Turuti saja kemauannya dulu. Setelah dia agak lapang hatinya barulah Bibi nasehati dia”
“Tolonglah Pak Guru, sudah tidak kurang lagi aku ngomong sama dia. Rasanya sampai kaku lidahku”
“Ah Bibi ini ada ada saja. Kalau Bibi tidak mau kasih nasehat. Lantas siapa lagi?”
“Iulah masalahnya, Pak Guru !. Amran kan dulu sekolah sini. Dulu kan Pak Hadi yang paling dekat denganya. Maka tolonglah Bibi ini. Nasehati si Amran itu !”
“Baiklah kalau begitu, Bi !. Tunggulah beberapa hari. Nantikan dia ketemu aku di kegiatan karang taruna. Aku akan nasehati dia”
“Ah trimakasih sebelumya, siapa lagi kalau tidak sama kau Pag Guru, untung desa ini punya guru seperti kamu. Maka carilah gadis desa sini supaya kau betah tinggal di sini. Jadilah penduduk sini, kau akan merasa damai, Jangan cari gadis kota !. Mereka pintar dan cantik tapi suka berani sama suami”
“Ah Bibi ada ada saja. Trimakasih nasehatnya ya Bi”
“Aku pamit dulu, gampang lain waktu kita sambung lagi”
Nur Hadipun menjadi geli hatinya, tentang peran dia di tengah masyarakat desa ini yang masih lugu dan pasrah. Jauh berbeda dengan Jogja tempat kelahirnya, yang jauh di sebrang lauan dari tempat dia mengajar kini. Beruntung pula bagi Nur Hadi yang memiliki tabiat ramah, suka menolong dan supel bergaul. Maka meski kehadiran dia di Jambi belum beberapa lama, namun hamper semua warga di Kecamatan Hidup Baru Kota Jambi telah mengenalnya.
Matahari telah melewati sepenggalah langit, teriknya sudah mulai memenuhi semua halaman sekolah yang sederhana itu. Semua siswa kini berteriak kegirangan lantaran mereka hanya setengah hari bersekolah. Nur Hadipun segera menuju perjalan pulang melewati jalan yang terik dan berdebu. Gemerisik daun jagung di tiup angin padang terdengar sepanjang kanan kiri jalan desa. Senyum wanita desapun tak ketinggalan ikut mengantar sepanjang perjalanan guru muda terebut, Termasuk Restu Priastuti, putra Pak Priadi yang telah lama tinggal di pinggiran Kota Jambi. Pak Priadi sendiri befrasal dari Kab. Purbalingga Banyumas.
Untuk gadis Jambi yang satu ini memang Nur Hadi merasakan sesuatu yang lain. Selama dia menggapai masa depanya dengan menjelajah banyak tempat, belum pernah kata hatinya bergejolak seperti ini, dari mulai pandangan pertama saat mereka bertemu di pertandingan voley antar desa, mereka berdua sudah saling tertarik.
Nur Hadi segera menepikan motornya kala melihat Restu gadis pujaanya, sedang membantu ayahnya membersihkan lahan tanaman jagungnya dari rumput dan gulma lainnya. Mereka akhirnya sudah terlibat dalam canda ria saling melepas tawa, sambil sebentar sebentar berpadu pandang. Kala ini terjadi, merahlah pipi Restu namun tidak mengurangi keanggunan gadis desa ini. Nur Hadi segera saja melepas sepatunya dan ikut membantu tambatan hatinya dalam mengolah lahan jagung itu, meski seragam batik PGRI menjadi berlepotan tanah.
“Kok nggak sekalian pulang dulu Kak?”
“Di rumah juga mau ngapain cuma bengong. Mendingan melihat di sini, bisa melihat Nawang Wulan di sawah”
“Siapa itu Nawang Wulan, pacarmu dari Jawa ya Kak ?” . Nur Hadi tersenyum gelid an membuat Restu tambah penasaran
“Ayo dong Kak. Siapa Nawang Wulan. Kayaknya di desa ini nggak ada yang bernama Nawang Wualan”. Karena desakan yang terus menerus Nur Hadipun akhirnya bercerita tentang legenda Jawa tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan. Restupun menjadi berbingar wajahnya dan memerah pipinya dan kini hanya tertunduk lesu setelah tahu maksud hati sang guru yang masih perjaka itu/
“Tapi aku bukan bidadari lho kak”
“Ah bagiku kamu adalah bidadariku” jawab Nur Hadi kala mereka telah berdua duduk di bawah rerimbunana tanaman jagung yang sudah agak tua.
“Kan masih banyak bidadari di Jawa kaka?”
“Aku sudah jadi PNS dan berniat tinggal di sini. Lagian di Jawa aku tidak punya siapa siapa hanya bapak dan ibu serta adiku. Untuk apa aku ke Jawa lagi”
“Tapi banyak guru negeri yang balik lagi ke Jawa, kamu apa nggak seperti mereka?”
“ Nggak Res, aku dah betah disini, kelak kalau kita bersama membentuk maghligai, akan aku pindahkan saja bapak ibuku ke sini. Orang sini baik baik semua sama aku Res ?”
“Gimana ya kaka, kebanyakan pria memang suka menebar janji, aku nggak tahu kak?”
“Aku seorang pendidik Res !. aku punya moral. Dan bagi seorang pendidik, yang telah bertekad menjadi pegawai negeri tentunya akan memiliki moralitas untuk membangun lingkunganya. Barangkali kita bsa pulang ke Jawa setelah aku pensiun. Dan untuk itu telah berulang aku sampaikan padamu untuk bersama menggapai kehidupan kita bersama”. Restu hanya menundukan wajahnya, sama sekali dia tidak mampu menjawab setuju. Maka kini Nur Hadi menjadi berbunga hatinya. Tembang merdu dalam hatinya terus saja ia dendangkan sepanjang perjalanan pulang mengantar Restu ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan semua warga desapun melempar senyum dan lambaian tangan. Seakan mereka telah menobatkan mereka berdua sebagai Abang dan Nona Desa Kembang Arum. Nur Hadi kinipun larut dalam belaian cinta bersama Restu pujaan hatinya.(PONDOK SASTRA HASTI SEMARANG)
Sebuah Senja Di Lahan Sawit
Barangkali saja manusia memang harus mengenal dirinya sendiri, semata untuk menghilangkan sifat ego yang biasa didera oleh insan di dunia ini. Lantaran ini pula Pak Guru Sofyan harus mengerti akan kesendiriannya, tanpa ada lagi Sugiarti yang dia tambatkan pada tepi hatinya, ketika mereka berdua menjadi guru SD Warga Baru di Bumi Transmigrasi Kalsel. Setelah lima tahun mereka menjadi anak bangsa yang merelakan hidupnya, demi untuk mencerdaskan anak anak petani sawit yang datang dari Jawa. Sesuai tekad mereka berdua ketika berniat mengukir makna pada sebuah kehidupan.
Sementara Sugiarti kini lebih memilih untuk menambatkan hatinya pada Dimas Hardiman yang sukses di areal transmigrasi, sebagai petani sawit. Keteguhan hatinya sebagai guru pejuang mampu Sugiarti hadapi, meski beribu duka lara telah mengakrabi hingga hampir separo hidupnya. Namun menambatkan cinta Sofyan yang senasib sebagai guru dari Jawa begitu rapuhnya. Mereka berdua pun telah cukup sudah menyematkan sebuah pengabdian yang besar kepada petani sawit dengan rela menjadi pendidik, tanpa memperdulikan makna hidup mereka sendiri. Namun apalah artinya mengukur kedalaman sebuah hati, ketika Sugiarti begitu saja memalingi Sofyan dan membuka kedua tanganya pada Dimas yang piawai menebar pesona.
“Itulah kenyataannya, Mas. Memang aku harus memikirkan biaya adiku yang masih ada di Jawa” tutur Sugiarti di awal senja ketika mereka berdua berada di ruang tamu rumah kos Sugiarti.
“Yah kalau memang itu maumu, kita berdua memang telah menjadi figur yang sarat dengan perjuangan semata-mata untuk lebih memaknai hidup ini, dan nyatanya kita berduapun berhasil. Meski harus hidup pas-pasan. Tapi ya itu memang hak kamu”.
“Aku harap engkau mengerti, Mas “
“Nggak jadi masalah, Toh aku sudah pernah katakan ketika kita berdua berangkat dari Jawa, dengan selembar SK penempatan dari pemerintah untuk mengabdi di bumi transmigrasi ini. Bahwa kita harus siap menerima tantangan apa saja”
“Tapi bagi kamu, Mas. Masalah ini kan lain. Aku merasa bersalah harus mengambil langkah ini. Namun aku juga kasihan dengan ortuku yang hanya semata menghidupi adik-adiku dari hasil panenan. Aku tak berdaya, Mas”
“Akupun mengerti, Giarti. Hanya aku berharap kamu harus berbahagia dengan Hardiman. Kamu jangan menyia-nyiakan separo umurmu hanya untuk masa depan anak anak didik kita. Kamu juga manusia yang berhak mendapatkan bahagia”
“Betul, Mas !, apa hanya di bibir saja ?”
“Pernahkah aku bohong padamu ?”
“Nggak, pernah Mas !”
Giarti tidak mampu lagi menjawab ucapan Sofyan yang tiga tahun lebih tua darinya. Dari sisi hatinya, diapun masih mengagumi kebesaran hati Sofyan yang entah hanya pandai menyimpan perasaan ataukah memang datang dari lubuk hatinya saat menerima kenyataan ini. Sugiartipun telah tahu bahwa tindakannya itu jelas melukai hati kekasihnya itu, yang sejak lima tahun yang lalu saling menambatkan janji untuk berbahagia di tengah kehidupan petani sawit.Bumi trabsmigrasi yang berhias temaram senja menjadi saksi perpisahan dua hati yang sama sama menyadari kata hati mereka masing-masing. Sebuah perpisahanpun Nampak indah bila insan yang saling melepas ikatan dan janji saling mengerti.
Memang merekapun masih berharap bahwa senja itu adalah bukan senja terakhir, namun pada kenyataannya senja itu memang banyak digayuti awan hitam, yang menyimpan badai dan mungkin petir yang ganas menerjang siapa saja yang berhadapan. Dari jauh kelihatan pada kaki langit ufuk barat semburat warna merahpun sudah mulai kelihatan, layaknya sebuah kanvas raksasa yang digunakan untuk mengukir keindahan alam.
Bagi Sofyan liku-liku hidup adalah ibarat bayangan tubuhnya yang selalu saja melekati erat tubuhnya yang terbawa hasrat hati, maka senja itupun ia biarkan berlalu begitu saja, meski dia juga manusia biasa yang terlanjur menorehkan harapan untuk menyandarkan sebelah hatinya pada Sugiarti. Betapa sesak dadanya bila mengingat senja itu. Namun diapun merasa bahwa dunia yang selebar genggamanya itupun harus dia tapaki dengan realita.
Sang waktu pula yang membawanya menukilkan hidup yang lebih realitas. Apalagi bagi dia yang sudah terlanjur hidup di pedalaman Kalimantan. Diapun dengan sigap membunuh bayangan Sugiarti yang terlanjur berkarat di hatinya. Yang jelas tantangna hidup ke depan jauh lebih menyita kehidupannya ketimbang memburu bayangan Sugiarti. Meski setiap datang senja diapun selalu teringat senja terakhir di tengah lahan sawit. Hingga pada suatu senja dia pun kembali teringat Sugiarti, meski saat itu usianya hampir mencapai 50 tahun, saat itu pula dia mendambakan untuk pulang ke Jawa bersama Herningsih, pendamping hidupnya yang menggantikan kehadiran Sugiarti untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama tiga putranya di Kec. Prembun Kab. Kebumen.
Herningsihpun dengan senyum tulus dan ceria menerima rencana suami tercintanya, lagian diapun mengharap anak-anaknya kuliah di Jawa yang lebih baik mutunya.
Akhirnya pada senja kali ini, kebahagiaan mereka berdua dan putra-putranya itu telah semakin merebak menyingkirkan kenangan bersama Sugiarti. Namun sejenak canda riang mereka terhenti, ketika mereka melihat kedatangan Hardiman, yang dari arah kejauhan berjalan menghampiri mereka.
“Silakan masuk Bang Hardiman, mari ! “. Hati Sofyan menjadi penasaran dan mencob menerka, pasti sesuatu terjadi antara Hardiman dan Sugiarti.
“Trimakasih, Bang Sofyan. Maaf manganggu acara kalian semua”
“Oh sama sekali tidak, kami hanya sedang ngobrol nggak karuan. Tumben Bang Hardiman datang kesini, sepertinya ada perlu penting, ya Bang ?”
“Betul Bang, ini semua tentang adikmu Sugiarti”. Mendengar nama itu disebut berdesir hati Sofyan. Herningsihpun menjadi tambah penasaran tentang apa yang terjadi dengan Sugiarti.
“Kenapa dengan Kak Sugiarti, Bang” Tanya Herningsih, lantaran dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar sebenarnya tentang mantan kekasih suaminya itu.
“Ah aku sudah tidak mampu berbuat apa Bang. Semua harta miliku telah aku jual, demi kesembuhan Sugiarti”
“Sugiarti, sakit apa, Bang ?”
“Dokter menemukan adanya kanker pada kedua ginjalnya, Bang “
“Lantas, menurut dokter bagaimana cara penyembuahanya ?”
“Itulah, Bang yang membuat saya menjadi setengah gila. Hidup Sugiarti tidak mungkin mampu ditolong lagi, kecuali ada ada donator ginjal yang bersedia diambil sebelah. Hingga saat ini aku dan dokternya Sugiarti belum mampu menemukan, kalau toh aku berhasil menemukan belum tentu organ ginjalnya mampu diterima tubuhnya Giarti”
Terlihat menegang wajah Sofyan mendengar berita tentang Sugiarti, meski Sugiarti pernah menyayat hatinya, namun bagaimanapun juga dia adalah teman lama seperjuangan kala mereka berdua mulai meninggalkan Jawa. Sementara Herningsih tidak henti-hentinya mengamati ulah suaminya, lantaran dalam hatinya telah bersemayam perasaan cemburu.
“Mam, gimana bila Bapak mencoba untuk menjadi donator organ untuk adikmu ?”
“Silakan saja Papi, tapi apa kesehatan papi mendukung ?. Ingat papi, akhir akhir ini sering masuk angin”
“Gimana Bang, aku sebenarnya pengin menyumbang ginjalku sebelah, tapi umur dan kesehatanku kayanya sudah tidak memungkinkan”
“Ah saya sendiri tidak tahu, Bang Sofyan ?. Tapi sebaiknya Abang ikut aku ke rumah sakit, siapa tahu dokter mengijinkan”
Herningsih tertunduk lesu, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan tak menentu. Di salah satu sisi hatinya dia menahan rasa cemburu, sisi lainnya dia juga mengkhatirkan kesehatan suaminya yang sudah mulai sakit=sakitan. Namun di belahan hati lainyapun dia merasakan iba terhadap nasib Sugiarti, yang berprofesi guru SD seperti suaminya itu.
Namun apapun alasanya , Herningsih hanya menilai dari sorot mata suaminya yang terus memandanginya dan menyiratkan kemauan yang hanya semata-mata menolong nasib temanya dan juga menyisakan sorot mata yang meminta ijin darinya. Maka Herningsihpun hanya bisa menganggukan kepala pertanda dia menyutujui niatan mulia dari suaminya.
Di kamar ICU itu Sugiarti masih terbujur kaku dan seluruh tubuhnya mulai mendingin, akibat racun racun dari seluruh tubuhnya mencemari darahnya. Tanpa seberkas senyumpun Sofyan dan Herningsih berdiri di sisi pembaringan Sugiarti, yang sudah seperti mayat. Dokter Burhan yang mengawasi intensif kesehatan Sugiarti kini menggelengkan kepalanya dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dimas Hardiman lantaran tidak mampu berbuat banyak.
Hardiman kini hanya mampu meneteskan airmata kesedihan, sedangkan bagi Sofyan kali ini dia merasakan hadirnya senja yang kedua di Bumi Transmigrasi lahan sawit. Dia segera merapatkan badanya kea rah Herningsih, sembari memegang kuat tangan istrinya, pertanda dia tidak mau ada perpisahan diantara mereka, kecuali bila Tuhan Yang Kuasa menghendaki. ***
———————
Sementara Sugiarti kini lebih memilih untuk menambatkan hatinya pada Dimas Hardiman yang sukses di areal transmigrasi, sebagai petani sawit. Keteguhan hatinya sebagai guru pejuang mampu Sugiarti hadapi, meski beribu duka lara telah mengakrabi hingga hampir separo hidupnya. Namun menambatkan cinta Sofyan yang senasib sebagai guru dari Jawa begitu rapuhnya. Mereka berdua pun telah cukup sudah menyematkan sebuah pengabdian yang besar kepada petani sawit dengan rela menjadi pendidik, tanpa memperdulikan makna hidup mereka sendiri. Namun apalah artinya mengukur kedalaman sebuah hati, ketika Sugiarti begitu saja memalingi Sofyan dan membuka kedua tanganya pada Dimas yang piawai menebar pesona.
“Itulah kenyataannya, Mas. Memang aku harus memikirkan biaya adiku yang masih ada di Jawa” tutur Sugiarti di awal senja ketika mereka berdua berada di ruang tamu rumah kos Sugiarti.
“Yah kalau memang itu maumu, kita berdua memang telah menjadi figur yang sarat dengan perjuangan semata-mata untuk lebih memaknai hidup ini, dan nyatanya kita berduapun berhasil. Meski harus hidup pas-pasan. Tapi ya itu memang hak kamu”.
“Aku harap engkau mengerti, Mas “
“Nggak jadi masalah, Toh aku sudah pernah katakan ketika kita berdua berangkat dari Jawa, dengan selembar SK penempatan dari pemerintah untuk mengabdi di bumi transmigrasi ini. Bahwa kita harus siap menerima tantangan apa saja”
“Tapi bagi kamu, Mas. Masalah ini kan lain. Aku merasa bersalah harus mengambil langkah ini. Namun aku juga kasihan dengan ortuku yang hanya semata menghidupi adik-adiku dari hasil panenan. Aku tak berdaya, Mas”
“Akupun mengerti, Giarti. Hanya aku berharap kamu harus berbahagia dengan Hardiman. Kamu jangan menyia-nyiakan separo umurmu hanya untuk masa depan anak anak didik kita. Kamu juga manusia yang berhak mendapatkan bahagia”
“Betul, Mas !, apa hanya di bibir saja ?”
“Pernahkah aku bohong padamu ?”
“Nggak, pernah Mas !”
Giarti tidak mampu lagi menjawab ucapan Sofyan yang tiga tahun lebih tua darinya. Dari sisi hatinya, diapun masih mengagumi kebesaran hati Sofyan yang entah hanya pandai menyimpan perasaan ataukah memang datang dari lubuk hatinya saat menerima kenyataan ini. Sugiartipun telah tahu bahwa tindakannya itu jelas melukai hati kekasihnya itu, yang sejak lima tahun yang lalu saling menambatkan janji untuk berbahagia di tengah kehidupan petani sawit.Bumi trabsmigrasi yang berhias temaram senja menjadi saksi perpisahan dua hati yang sama sama menyadari kata hati mereka masing-masing. Sebuah perpisahanpun Nampak indah bila insan yang saling melepas ikatan dan janji saling mengerti.
Memang merekapun masih berharap bahwa senja itu adalah bukan senja terakhir, namun pada kenyataannya senja itu memang banyak digayuti awan hitam, yang menyimpan badai dan mungkin petir yang ganas menerjang siapa saja yang berhadapan. Dari jauh kelihatan pada kaki langit ufuk barat semburat warna merahpun sudah mulai kelihatan, layaknya sebuah kanvas raksasa yang digunakan untuk mengukir keindahan alam.
Bagi Sofyan liku-liku hidup adalah ibarat bayangan tubuhnya yang selalu saja melekati erat tubuhnya yang terbawa hasrat hati, maka senja itupun ia biarkan berlalu begitu saja, meski dia juga manusia biasa yang terlanjur menorehkan harapan untuk menyandarkan sebelah hatinya pada Sugiarti. Betapa sesak dadanya bila mengingat senja itu. Namun diapun merasa bahwa dunia yang selebar genggamanya itupun harus dia tapaki dengan realita.
Sang waktu pula yang membawanya menukilkan hidup yang lebih realitas. Apalagi bagi dia yang sudah terlanjur hidup di pedalaman Kalimantan. Diapun dengan sigap membunuh bayangan Sugiarti yang terlanjur berkarat di hatinya. Yang jelas tantangna hidup ke depan jauh lebih menyita kehidupannya ketimbang memburu bayangan Sugiarti. Meski setiap datang senja diapun selalu teringat senja terakhir di tengah lahan sawit. Hingga pada suatu senja dia pun kembali teringat Sugiarti, meski saat itu usianya hampir mencapai 50 tahun, saat itu pula dia mendambakan untuk pulang ke Jawa bersama Herningsih, pendamping hidupnya yang menggantikan kehadiran Sugiarti untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama tiga putranya di Kec. Prembun Kab. Kebumen.
Herningsihpun dengan senyum tulus dan ceria menerima rencana suami tercintanya, lagian diapun mengharap anak-anaknya kuliah di Jawa yang lebih baik mutunya.
Akhirnya pada senja kali ini, kebahagiaan mereka berdua dan putra-putranya itu telah semakin merebak menyingkirkan kenangan bersama Sugiarti. Namun sejenak canda riang mereka terhenti, ketika mereka melihat kedatangan Hardiman, yang dari arah kejauhan berjalan menghampiri mereka.
“Silakan masuk Bang Hardiman, mari ! “. Hati Sofyan menjadi penasaran dan mencob menerka, pasti sesuatu terjadi antara Hardiman dan Sugiarti.
“Trimakasih, Bang Sofyan. Maaf manganggu acara kalian semua”
“Oh sama sekali tidak, kami hanya sedang ngobrol nggak karuan. Tumben Bang Hardiman datang kesini, sepertinya ada perlu penting, ya Bang ?”
“Betul Bang, ini semua tentang adikmu Sugiarti”. Mendengar nama itu disebut berdesir hati Sofyan. Herningsihpun menjadi tambah penasaran tentang apa yang terjadi dengan Sugiarti.
“Kenapa dengan Kak Sugiarti, Bang” Tanya Herningsih, lantaran dia sudah tidak sabar ingin mengetahui kabar sebenarnya tentang mantan kekasih suaminya itu.
“Ah aku sudah tidak mampu berbuat apa Bang. Semua harta miliku telah aku jual, demi kesembuhan Sugiarti”
“Sugiarti, sakit apa, Bang ?”
“Dokter menemukan adanya kanker pada kedua ginjalnya, Bang “
“Lantas, menurut dokter bagaimana cara penyembuahanya ?”
“Itulah, Bang yang membuat saya menjadi setengah gila. Hidup Sugiarti tidak mungkin mampu ditolong lagi, kecuali ada ada donator ginjal yang bersedia diambil sebelah. Hingga saat ini aku dan dokternya Sugiarti belum mampu menemukan, kalau toh aku berhasil menemukan belum tentu organ ginjalnya mampu diterima tubuhnya Giarti”
Terlihat menegang wajah Sofyan mendengar berita tentang Sugiarti, meski Sugiarti pernah menyayat hatinya, namun bagaimanapun juga dia adalah teman lama seperjuangan kala mereka berdua mulai meninggalkan Jawa. Sementara Herningsih tidak henti-hentinya mengamati ulah suaminya, lantaran dalam hatinya telah bersemayam perasaan cemburu.
“Mam, gimana bila Bapak mencoba untuk menjadi donator organ untuk adikmu ?”
“Silakan saja Papi, tapi apa kesehatan papi mendukung ?. Ingat papi, akhir akhir ini sering masuk angin”
“Gimana Bang, aku sebenarnya pengin menyumbang ginjalku sebelah, tapi umur dan kesehatanku kayanya sudah tidak memungkinkan”
“Ah saya sendiri tidak tahu, Bang Sofyan ?. Tapi sebaiknya Abang ikut aku ke rumah sakit, siapa tahu dokter mengijinkan”
Herningsih tertunduk lesu, dalam hatinya berkecamuk berbagai perasaan tak menentu. Di salah satu sisi hatinya dia menahan rasa cemburu, sisi lainnya dia juga mengkhatirkan kesehatan suaminya yang sudah mulai sakit=sakitan. Namun di belahan hati lainyapun dia merasakan iba terhadap nasib Sugiarti, yang berprofesi guru SD seperti suaminya itu.
Namun apapun alasanya , Herningsih hanya menilai dari sorot mata suaminya yang terus memandanginya dan menyiratkan kemauan yang hanya semata-mata menolong nasib temanya dan juga menyisakan sorot mata yang meminta ijin darinya. Maka Herningsihpun hanya bisa menganggukan kepala pertanda dia menyutujui niatan mulia dari suaminya.
Di kamar ICU itu Sugiarti masih terbujur kaku dan seluruh tubuhnya mulai mendingin, akibat racun racun dari seluruh tubuhnya mencemari darahnya. Tanpa seberkas senyumpun Sofyan dan Herningsih berdiri di sisi pembaringan Sugiarti, yang sudah seperti mayat. Dokter Burhan yang mengawasi intensif kesehatan Sugiarti kini menggelengkan kepalanya dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Dimas Hardiman lantaran tidak mampu berbuat banyak.
Hardiman kini hanya mampu meneteskan airmata kesedihan, sedangkan bagi Sofyan kali ini dia merasakan hadirnya senja yang kedua di Bumi Transmigrasi lahan sawit. Dia segera merapatkan badanya kea rah Herningsih, sembari memegang kuat tangan istrinya, pertanda dia tidak mau ada perpisahan diantara mereka, kecuali bila Tuhan Yang Kuasa menghendaki. ***
———————
Langganan:
Postingan (Atom)