Sabtu, 18 September 2010

Ranting Ranting Kering

 Wikimedia, 2010
Hanya tinggal mengandalkan ke dua kaki yang terbungkus keriputnya kulit, yang melegam karena terbakar matahari. Terkadang kedua kakinya itupun gemetar menapaki pematang sawahnya yang tidak seberapa luas. Namun Suto tidak pernah merasakan adanya sebuah perpisahan. Meski kehadiran istrinya beberapa puluh tahun mendampingi dirinya hanya tinggal kenangan. Setelah semua kepengapan hidup dan kesengsaraan yang mendera mereka telah cukup.

Rupanya Tuhanpun memilih Suminah untuk segera menghuni langit dengan taman bunga warna warni, ketimbang harus menghuni dunia yang penuh tipu daya. Suminahpun meninggalkan Suto dengan tenang, karena Suminahpun tidak mampu melawan kodrat yang digariskan oleh Yang Diatas. Apalagi diapun tahu bahwa suaminya adalah laki-laki yang tangguh, terbukti dari seluruh hidup mereka, hanya kesengsaraan dan kemiskinan yang mengakrabinya.

“Aku sakit, Pak !” Demikian Suminah mengeluh dihadapan suaminya, pada suatu malam. Setelah seharian mereka di sawah.
“Tidurlah, besok biar aku saja yang kesawah. Kamu tidak usah membantu”
“Ah Cuma masuk angin, besok juga sembuh”
“Kamu sudah cukup umur, Bu !. Jangan memaksa diri”
“Tapi kalau di rumah juga mau apa ?. Aku senang mbantu kamu, Pak !. Aku juga tidak sampai hati sama kamu Pak. Aku lihat kamu sebenarnya sudah tidak kuat lagi ke sawah. Pak. Duh Gusti kemana perginya Yono dan Noto. Sudah bertahun-tahun belum pulang juga”
 Ranting Kering,Sumber Pondok SASTRA HASTI Smg
“Sudahlah, jangan mengungkit-ngungkit mereka lagi Bu !. Nanti kamu tambah sakit. Kita tidak punya biaya untuk ke rumah sakit lho Bu !. Jaga kesehatanmu !”
“Aku seorang ibu Pak, aku yang melahirkan mereka berdua. Dari kecil aku asuh, setelah dewasa entah kerja di mana. Mereka berdua lupa dengan kita berdua, yang sudah renta, Ya Pak ?”.
“Jangan kuatir, Bu !. Tidak lama lagi mereka pasti pulang. Mereka tidak lupa dengan kita Bu, aku yakin. Hanya saja mereka tentunya belum mendapatkan kehidupan yang layak”

Suminah tidak menjawab lagi, namun tatapan matanya tetap kosong, rasa rindu kepada dua anaknya kian menjadi-jadi saban hari. Apalagi bila mendengar teman sekampung Yono dan Noto telah berbahagia dengan istri dan anak anaknya. Namun Suminah adalah wanita yang telah biasa mengalami berbagai macam goncangan hidup.
Namun entah mengapa rasa rindu kepada anaknya, beberapa minggu ini kian tak karuan.

Baik Suminah sendiri, apalagi Suto adalah manusia biasa yang tidak tahu kodrat dan iradat dari Tuhan Yang Kuasa kepada hambanya. Rupanya rasa rindunya itu telah meluruhkan ketegaran wanita petani yang hidup di desa, Suminah kinipun hanya berbaring ranjang lapuknya dan sebuah kekuatan diluar kasat mata telah membius jantung dan paru. Sehingga Suminahpun kini hanya terbujur dingin.

Hanya linangan air mata Suto saja yang mengiringi kepergian belahan jiwa yang selama 30 tahun bersamanya mengarungi dunia yang tak pernah menjadi sahabat mereka. Rasa penyesalan yang dalam telah menyelimuti ruang hati Suto, mengapa dia tak mampu mempertemukan istrinya dan kedua anaknya. Namun kala itu kemana dia akan mencari kedua anaknya. Disamping itu dia dan istrinya hanyalah sepasang manusia yang sudah uzur, yang tidak mungkin berpetualang dari kota ke kota mencari mereka. Karena mereka berdua hanyalah ranting ranting yang kering dan rapuh.

Suto kini sudah tak mungkin lagi terus larut dalam bayangan Suminah, karena dia kembali disibukan dengan panen. Tangan dan kaki yang keriput itu masih saja bersemangat untuk menuai sebuah kehidupan walau hanya secercah hinggap pada awan jingga di ufuk barat, apalagi tanpa bantuan Suminah istrinya. Tak khayal lagi kini rasa rindu kepada semua keluarganya menjadi kental. Namun bagaimana lagi, bila ranting kering yang sudah rapuh, hanya menunggu jatuh ke tanah dihempas angin kehidupan.

Perjuangan melawan ganasnya penghidupan membuat mereka saling berpisah satu sama lain. Kedua anaknyapun memilih meninggalkan desa itu lantaran sudah tidak memiliki harapan lagi. Yono putra sulung mereka bergabung dengan rekan satu desa yang berniat mengadu nasib ke Lampung untuk bertranmigrasi. Sementara itu Noto bertekad merantau ke Malaysia dan berjanji untuk sering menengok mereka beberapa tahun sekali. Namun nyatanya mereka hanya meninggalkan sebuah harapan dan kerinduan untuk sepasang ranting yang kering yang ditengah terik musim kemarau.
Harapan tinggal harapan, Sutopun hanya mampu merenungi kepergian semua harta miliknya yang tiada pernah tahu berapa nilainya. Apalagi semenjak kepergian Suminah, Suto telah kehilangan seisi dunia ini. Malampun bertambah larut, langit langit kamarnya yang kumuh dan berdebu kini menjadi saksi. Dipegangnya kata hatinya yang mampu membesarkan dirinya, maka diapun tidak mau mendengarkan lagi hati kecilnya,

Suto kin terlelap dalam sebuah mimpi panjang, ketika dia dan kedua anaknya bermain di tengah sawahnya yang mongering karena kemarau menerpanya. ,Mereka bertiga berkejaran dan melepas tawa riang hingga terdengar dari tiap penjuru padang tersebut. Mereka bermain layang-layang, menangkap kerbau, mencari belalang hingga datanglah Suminah yang berpakaian serba gemerlap, bersulap benang sorga dan semerbak wangi bunga sorgapun merebak memenuhi hidung Suto. Suto tak mampu menolak Suminah yang menjulurkan tanganya untuk mengajak pergi ke penjuru langit. Sementara kedua anaknyapun hanya melambaikan kedua tangannya dengan senyum bahagia. Dan heninglah peraduan Suto.

PUISI DI TITIAN BENANG SUTRA

SERIBU MIMPI
Aku dapati lembaran kain sutra
Yang kau gulung…..
Hingga tepinya menyentuh
sebuah buku harian
tak tergores sebuah penapun

Aku hampiri dengan nyanyian burung
Laksana teriakan ilalang yang
dipusari angin dini hari,,,,

Seribu bentang kini kau tebar
Haru biruku telah disodori
Oleh kawanan kenari
Bersayap tak menampakan hasrat
Biar aku kuliti sendiri
Detak jantung yang hanya menyepi

Aku berteriak…melewati batas pandang
Sekuat yang kau duga
Biarkan saja “ruh” dalam
binar nyanyiku…..
Menjadi saksi
Kala malam seribu bunga
Tumbuh dalam kubangan seribu mimpi

(Saat Ultahku, September 2010)

TELAH MENEPI PERAHUKU
Pernahkah kau lihat…
Bila perahu telah bertegur sapa
Dengan dalamnya lautan
Seribu misteri
Pernahkah juga kau lihat…
Meranggasnya daun beluntas
Dipagut nyanyian kemarau…
Di pantai warna warni

Telah kau lihat lihat
Saat benang sutra di hatimu
Telah tersingkap
Kala…..
Bocah bocah menyanyikan tembang
Purnama di halaman rumah

Tak ada nyala api yang benderang
Hanya kulit mereka……
Diseka temaram sang rembulan
Di pantai itulah sauh kutambatkan
Agar perahu menghitung nafas

(Saat Ultahku, September 2010)

SEHALUS BENANG SUTRA
Ketika kita terjaga…lantas
Titian panjang harus kulewati
Agar aku mampu melihat
Halaman hati….berenda
Sapaan pagi

Aku hangatkan bekal
Yang telah membujur …dingin
Dan tiada mengenaliku lagi
Lantas benang sutra di sudut bibirmu
Telah menjerat awan senja
Aku tidak mau lagi
Berkalang dengan buruk gagak

Aku tak mau lagi
Menukikan sayap hingga
Menghempas bumi
Kita jaga warna langit
Agar mirip dengan untaian…
Benang sutra di sudut senyumu
(Saat Ultahku, September 2010)


ANTARA SEMERU DAN MOUNT EVEREST
Saat engkau bimbang..
Janganlah menghitung bintang
Saat engkau dingin
Jangan sekali
Menjaring angin

Lekatkan sayapmu..
Pada ujung Mahameru
Lantas akupun mampu
Memandang Mount Everest
Kini keduanya bersatu
Pada sajak penuh arti
(Saat, Ultahku September, 2010).

Jumat, 17 September 2010

Angin Kemarau Di Tengah Padang

Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.
Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya. Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.
Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.
Aku mengenalnya dengan raut mukanya yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku entah kemana. Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.
Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.
“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.
“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.
“Maafin aku mengganggu tidurmu”
“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.
“Win, kamu marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu kan teman sekantorku, dan sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”
“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.
“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”
“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”
“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”
“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”
“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.
“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”
“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!. Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah” Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.
“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”
“Aku tunggu di luar saja Win. Di luar angin kemarau mulai kencang“
Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.
“Mereka sudah tidur, ? “
“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.
“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka butuh itu Win “
“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”
“Lama lama mereka juga akan percaya”
“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”
“Apa arti semua itu sih Win?”
“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’
“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”
“Maksud Mas ?”
“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “
“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.
Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi , bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.