( Sketsa Berbagi Kasih dan Peduli di Era Keterpurukan Sosial dari Penulis Pinggiran)
SEPERCIK AIR
Mereka mampu menumpahkan batas pandang
Menyisir tiap celah bukit
Yang melingkungi
Untuk melihat semburat,
Rambut Sembodro atau Supraba
Yang beruntai kuning keemasan…
Sebutir jagung yang tumbuh
Di pematang kebun berbatas keadilan
Dirimbuni daun singkong, mentimun
Untuk bekal hari esok
Mereka untai dalam birama,
Agar anak cucu mampu bermandi
cahaya rembuilan di tengah sawah
Yang mengering tanpa gemercik iba
Mereka saling bertaut…bila ufuk telah redup
Kala benang sutra kehidupan
Dirajut dengan tepi yang tajam
Dan menghujam ke tengah jantung mereka
Terhempas dalam sorot mata
Yang mampu menguliti mereka
Pagipun tetap berpagar
Burung yang memadu hasrat
Berbulu warna warni, ketika angin meradang
Menggandeng tikus tikus rakus yang merobohkan
Akar rumpun ilalang
Illalang itupun merobohkan daunya
Menuju kaki langit
Sebuah teriakan mereka
Engkaulah sepercik air……
Kamilah berbaju kekeringan
(Semarang, 21 September 2010)
PARADE JALANAN
Mereka tak lebih dari jerami
Yang ditumpuk di tepi jalan kehidupan
Karena terpanggang angin kemarau
Yang bersemayam
Dari empat penjuru kaki langit
Apa arti sebuah desah gemerisik
Dari daun ilalang yang mengering
Tapi tiadalah mereka merenggut
Rumpun akar yang tertanam di bumi
Engkaulah milik kibasan bumi
Janganlah kau tebarkan lagi
Biji biji sehingga melupat gubug bambu
Hingga meranggasnya pohon pohon kekar
Gemerecik air kalipun
Akan menghijaukanmu
(Semarang, 21 September 2010)
JANGAN KAU TANGISI DUKA LARA
Di sudut kebun tiada bernaung
belas kasihan…….
Di tepi bunga Raflesia berdaun kokoh
Menyeruakan bau busuk
Menusuk semata rumpun tiada berdaya
Apalagi di samping bunga,
berkelopak sipit
Dan berakar tunggang
Bukankah bunga kokoh
Yang bertangkai seputih salju…
Telah layu…..
Apalagi deru perubahan
Telah mengenyangi perut kebun itu
Namun biarlah rumpun berkalang sudut
Berakar di kubangan tanah sejuk
Duka adalah tabir….
Milik anak ingusan
Tiada mampu meraih kanvas
Di belahan bumi
Di balik Mahameru
(Semarang, 21 September 2010)
KASIHKU
Telah terpagut aku di senja hari
Ketika kawanan merpati berbulu jingga
Memenuhi langit
Belahan barat
Aku kumpulkan suara cengkerik
Untuk menyuarakan symponi hidup
Aku kumpulkan pula air tawar
Yang kujaring dari angin malam
Untuk membasahi cinta bening ini
Temaramnya malam bukanlah kutukan Tuhan
Yang bersemayam di hati kita
Malam adalah kala langit
Ditaburi sayap
Dari sang putih bersih
Agar mengirimkan pesan
Untuk beranda hati kita
Yang dihinggapi burung hantu
Mencengkeram hingga ujung sendi
Akupun bersama sang pagi
Siulan burung dan batang bambu
Menggeleparkan hati kita
Untuk menantang istana ufuk
Merentangkan bilah daun kita
Kita adalah ilalang
(Semarang, 21 September 2010)
Selasa, 21 September 2010
Sabtu, 18 September 2010
Ranting Ranting Kering
Wikimedia, 2010 |
Rupanya Tuhanpun memilih Suminah untuk segera menghuni langit dengan taman bunga warna warni, ketimbang harus menghuni dunia yang penuh tipu daya. Suminahpun meninggalkan Suto dengan tenang, karena Suminahpun tidak mampu melawan kodrat yang digariskan oleh Yang Diatas. Apalagi diapun tahu bahwa suaminya adalah laki-laki yang tangguh, terbukti dari seluruh hidup mereka, hanya kesengsaraan dan kemiskinan yang mengakrabinya.
“Aku sakit, Pak !” Demikian Suminah mengeluh dihadapan suaminya, pada suatu malam. Setelah seharian mereka di sawah.
“Tidurlah, besok biar aku saja yang kesawah. Kamu tidak usah membantu”
“Ah Cuma masuk angin, besok juga sembuh”
“Kamu sudah cukup umur, Bu !. Jangan memaksa diri”
“Tapi kalau di rumah juga mau apa ?. Aku senang mbantu kamu, Pak !. Aku juga tidak sampai hati sama kamu Pak. Aku lihat kamu sebenarnya sudah tidak kuat lagi ke sawah. Pak. Duh Gusti kemana perginya Yono dan Noto. Sudah bertahun-tahun belum pulang juga”
Ranting Kering,Sumber Pondok SASTRA HASTI Smg |
“Aku seorang ibu Pak, aku yang melahirkan mereka berdua. Dari kecil aku asuh, setelah dewasa entah kerja di mana. Mereka berdua lupa dengan kita berdua, yang sudah renta, Ya Pak ?”.
“Jangan kuatir, Bu !. Tidak lama lagi mereka pasti pulang. Mereka tidak lupa dengan kita Bu, aku yakin. Hanya saja mereka tentunya belum mendapatkan kehidupan yang layak”
Suminah tidak menjawab lagi, namun tatapan matanya tetap kosong, rasa rindu kepada dua anaknya kian menjadi-jadi saban hari. Apalagi bila mendengar teman sekampung Yono dan Noto telah berbahagia dengan istri dan anak anaknya. Namun Suminah adalah wanita yang telah biasa mengalami berbagai macam goncangan hidup.
Namun entah mengapa rasa rindu kepada anaknya, beberapa minggu ini kian tak karuan.
Baik Suminah sendiri, apalagi Suto adalah manusia biasa yang tidak tahu kodrat dan iradat dari Tuhan Yang Kuasa kepada hambanya. Rupanya rasa rindunya itu telah meluruhkan ketegaran wanita petani yang hidup di desa, Suminah kinipun hanya berbaring ranjang lapuknya dan sebuah kekuatan diluar kasat mata telah membius jantung dan paru. Sehingga Suminahpun kini hanya terbujur dingin.
Hanya linangan air mata Suto saja yang mengiringi kepergian belahan jiwa yang selama 30 tahun bersamanya mengarungi dunia yang tak pernah menjadi sahabat mereka. Rasa penyesalan yang dalam telah menyelimuti ruang hati Suto, mengapa dia tak mampu mempertemukan istrinya dan kedua anaknya. Namun kala itu kemana dia akan mencari kedua anaknya. Disamping itu dia dan istrinya hanyalah sepasang manusia yang sudah uzur, yang tidak mungkin berpetualang dari kota ke kota mencari mereka. Karena mereka berdua hanyalah ranting ranting yang kering dan rapuh.
Suto kini sudah tak mungkin lagi terus larut dalam bayangan Suminah, karena dia kembali disibukan dengan panen. Tangan dan kaki yang keriput itu masih saja bersemangat untuk menuai sebuah kehidupan walau hanya secercah hinggap pada awan jingga di ufuk barat, apalagi tanpa bantuan Suminah istrinya. Tak khayal lagi kini rasa rindu kepada semua keluarganya menjadi kental. Namun bagaimana lagi, bila ranting kering yang sudah rapuh, hanya menunggu jatuh ke tanah dihempas angin kehidupan.
Perjuangan melawan ganasnya penghidupan membuat mereka saling berpisah satu sama lain. Kedua anaknyapun memilih meninggalkan desa itu lantaran sudah tidak memiliki harapan lagi. Yono putra sulung mereka bergabung dengan rekan satu desa yang berniat mengadu nasib ke Lampung untuk bertranmigrasi. Sementara itu Noto bertekad merantau ke Malaysia dan berjanji untuk sering menengok mereka beberapa tahun sekali. Namun nyatanya mereka hanya meninggalkan sebuah harapan dan kerinduan untuk sepasang ranting yang kering yang ditengah terik musim kemarau.
Harapan tinggal harapan, Sutopun hanya mampu merenungi kepergian semua harta miliknya yang tiada pernah tahu berapa nilainya. Apalagi semenjak kepergian Suminah, Suto telah kehilangan seisi dunia ini. Malampun bertambah larut, langit langit kamarnya yang kumuh dan berdebu kini menjadi saksi. Dipegangnya kata hatinya yang mampu membesarkan dirinya, maka diapun tidak mau mendengarkan lagi hati kecilnya,
Suto kin terlelap dalam sebuah mimpi panjang, ketika dia dan kedua anaknya bermain di tengah sawahnya yang mongering karena kemarau menerpanya. ,Mereka bertiga berkejaran dan melepas tawa riang hingga terdengar dari tiap penjuru padang tersebut. Mereka bermain layang-layang, menangkap kerbau, mencari belalang hingga datanglah Suminah yang berpakaian serba gemerlap, bersulap benang sorga dan semerbak wangi bunga sorgapun merebak memenuhi hidung Suto. Suto tak mampu menolak Suminah yang menjulurkan tanganya untuk mengajak pergi ke penjuru langit. Sementara kedua anaknyapun hanya melambaikan kedua tangannya dengan senyum bahagia. Dan heninglah peraduan Suto.
PUISI DI TITIAN BENANG SUTRA
SERIBU MIMPI
Aku dapati lembaran kain sutra
Yang kau gulung…..
Hingga tepinya menyentuh
sebuah buku harian
tak tergores sebuah penapun
Aku hampiri dengan nyanyian burung
Laksana teriakan ilalang yang
dipusari angin dini hari,,,,
Seribu bentang kini kau tebar
Haru biruku telah disodori
Oleh kawanan kenari
Bersayap tak menampakan hasrat
Biar aku kuliti sendiri
Detak jantung yang hanya menyepi
Aku berteriak…melewati batas pandang
Sekuat yang kau duga
Biarkan saja “ruh” dalam
binar nyanyiku…..
Menjadi saksi
Kala malam seribu bunga
Tumbuh dalam kubangan seribu mimpi
(Saat Ultahku, September 2010)
TELAH MENEPI PERAHUKU
Pernahkah kau lihat…
Bila perahu telah bertegur sapa
Dengan dalamnya lautan
Seribu misteri
Pernahkah juga kau lihat…
Meranggasnya daun beluntas
Dipagut nyanyian kemarau…
Di pantai warna warni
Telah kau lihat lihat
Saat benang sutra di hatimu
Telah tersingkap
Kala…..
Bocah bocah menyanyikan tembang
Purnama di halaman rumah
Tak ada nyala api yang benderang
Hanya kulit mereka……
Diseka temaram sang rembulan
Di pantai itulah sauh kutambatkan
Agar perahu menghitung nafas
(Saat Ultahku, September 2010)
SEHALUS BENANG SUTRA
Ketika kita terjaga…lantas
Titian panjang harus kulewati
Agar aku mampu melihat
Halaman hati….berenda
Sapaan pagi
Aku hangatkan bekal
Yang telah membujur …dingin
Dan tiada mengenaliku lagi
Lantas benang sutra di sudut bibirmu
Telah menjerat awan senja
Aku tidak mau lagi
Berkalang dengan buruk gagak
Aku tak mau lagi
Menukikan sayap hingga
Menghempas bumi
Kita jaga warna langit
Agar mirip dengan untaian…
Benang sutra di sudut senyumu
(Saat Ultahku, September 2010)
ANTARA SEMERU DAN MOUNT EVEREST
Saat engkau bimbang..
Janganlah menghitung bintang
Saat engkau dingin
Jangan sekali
Menjaring angin
Lekatkan sayapmu..
Pada ujung Mahameru
Lantas akupun mampu
Memandang Mount Everest
Kini keduanya bersatu
Pada sajak penuh arti
(Saat, Ultahku September, 2010).
Aku dapati lembaran kain sutra
Yang kau gulung…..
Hingga tepinya menyentuh
sebuah buku harian
tak tergores sebuah penapun
Aku hampiri dengan nyanyian burung
Laksana teriakan ilalang yang
dipusari angin dini hari,,,,
Seribu bentang kini kau tebar
Haru biruku telah disodori
Oleh kawanan kenari
Bersayap tak menampakan hasrat
Biar aku kuliti sendiri
Detak jantung yang hanya menyepi
Aku berteriak…melewati batas pandang
Sekuat yang kau duga
Biarkan saja “ruh” dalam
binar nyanyiku…..
Menjadi saksi
Kala malam seribu bunga
Tumbuh dalam kubangan seribu mimpi
(Saat Ultahku, September 2010)
TELAH MENEPI PERAHUKU
Pernahkah kau lihat…
Bila perahu telah bertegur sapa
Dengan dalamnya lautan
Seribu misteri
Pernahkah juga kau lihat…
Meranggasnya daun beluntas
Dipagut nyanyian kemarau…
Di pantai warna warni
Telah kau lihat lihat
Saat benang sutra di hatimu
Telah tersingkap
Kala…..
Bocah bocah menyanyikan tembang
Purnama di halaman rumah
Tak ada nyala api yang benderang
Hanya kulit mereka……
Diseka temaram sang rembulan
Di pantai itulah sauh kutambatkan
Agar perahu menghitung nafas
(Saat Ultahku, September 2010)
SEHALUS BENANG SUTRA
Ketika kita terjaga…lantas
Titian panjang harus kulewati
Agar aku mampu melihat
Halaman hati….berenda
Sapaan pagi
Aku hangatkan bekal
Yang telah membujur …dingin
Dan tiada mengenaliku lagi
Lantas benang sutra di sudut bibirmu
Telah menjerat awan senja
Aku tidak mau lagi
Berkalang dengan buruk gagak
Aku tak mau lagi
Menukikan sayap hingga
Menghempas bumi
Kita jaga warna langit
Agar mirip dengan untaian…
Benang sutra di sudut senyumu
(Saat Ultahku, September 2010)
ANTARA SEMERU DAN MOUNT EVEREST
Saat engkau bimbang..
Janganlah menghitung bintang
Saat engkau dingin
Jangan sekali
Menjaring angin
Lekatkan sayapmu..
Pada ujung Mahameru
Lantas akupun mampu
Memandang Mount Everest
Kini keduanya bersatu
Pada sajak penuh arti
(Saat, Ultahku September, 2010).
Langganan:
Postingan (Atom)