Kesedihan Ucil kini telah lenyap, hatinya kembali pulih seperti semula lantaran
emaknya telah sembuh, karena itu pula kini dia lebih ceria lagi bertutur kata dengan hewa sahabat-sahabatnya.
Setiap hari seusai membantu pekerjaan emaknya, dia luangkan waktunya untuk bermain dengan sahabat-sahabatnya. Mereka saling berlari, bekejaran dan bercengkerama layaknya saudara sekandung. Bahkan kini mereka benar-benar telah menjadi sahabat sejati, apabila salah satu dari mereka menemui kesulitan, maka yang lainnya segera memberi bantuan.
Demikianlah kehidupan Ucil Si Tarzan Kecil tiap harinya. Namun hari terus berganti, karena waktu selalu bergulir tiada yang mampu menghentukannya. Pergantian hari, bulan pada akhirnya akan menyebabkan pergantian musim, hingga giliran sekarang Hutan Kedung Siluman dilanda musim kemarau yang panjang.
Seperti biasanya apabila semua penghuni hutan ini mengahadapi musim kemarau yang panjang, mereka harus siap menghadapi hukum rimba yang ganas antar mereka. Hukum ini jelas akan menguntungkan hewan-hewan yang besar dan ganas, mereka akan sesuka hati menganiaya hewan lainnya yang lemah. Bukankah bagi hewan yang lemah hanya bisa mengakui kecongkakan yang kuat ?. Lebih parah lagi, musim kemarau yang melanda Hutan Kedung Siluman tahun ini sungguh sangat panjang.
Persedian air utama yang ada di TELAGA SEWON WONO, kinitelah surut. Air yang masih tertinggal hanya sebagian kecil, terletak persis di tengah telaga, itupun kini telah keruh.
Sudah barang tentu manfaat Telaga Sewon Wono menjadi sangat penting, bagi kehidupan hewan di seantero hutan lebat tersebut. Semua hewan penghuni hutan ini memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Namun lain lagi bagi Singa Perkasa SANG RAJA RIMBA. Yang congkak dan jahat. Karena sifat tamaknya, dia dengan congkaknya menguasai telaga ini sesuka hatinya. Hal ini membuat seluruh penghuni Hutan Kedung Siluman menjadi resah. Jangankan untuk minum, mendekatpun bagi hewan lainnya tidak diperbolehkan.
Karuan saja peristiwa di atas membuat Ucil ikut prihatin. Akhirnya dengan maksud baik Ucil disertai sahabat-sahabatnya menyempatkan diri untuk menemui Sang Raja Rimba. di istananya, yang letaknya tidak jauh dari Telaga Sewon Wono.
“Selamat jumpa lagi, . . . hai Si Raja Rimba. Semoga hari ini engkau dan keluargamu selalu dalam keadaan sehat-sehat “ sapa Ucil setelah dia duduk di depan Si Raja Rimba, yang duduk di atas tumpukan jerami dengan congkaknya.
“Auuummm.. . Selamat datang di istanaku, Hai Ucil. Apa keperluanmu datang menemuiku? “ seru Si Raja Rimba.
“Kedatangan kami semua menghadapmu hanya ingin mengunjungimu semata. Sekaligus perkenankan kami semua menyampaikan kekaguman kepada engkau Sang Perkasa, sehingga engkau patut di beri julukan SANG PERKASA SI RAJA RIMBA “ balas Ucil, dengan ucapan yang berbasa-basi. Ucil sengaja merayunya, karena dia tahu watak dan perangai Si Raja Rimba, yang sangat keranjingan pujian dari lainnya. Barangkali dengan cara ini, aku bisa melunturkan kecongkakan singa yang gila hormat tadi.
“Ha….ha . . ha.. memang begitu seharusnya, Cil. Semua hewan di hutan ini takut dan tunduk kepaku Sang Raja Rimba, lantas kepada siapa, akan berlindung kalau bukan kepada aku. . .siapa yang mereka takuti Cuma aku Sang Raja Rimba, ha. . ha. . ha “ seru raja rimba dengan wajah yang garang dan suara yang lantang.
Sebenarnya merah juga telinga Ucil mendengarkan kecongkakan singa gila hormat yang ada di depanya. Namun rasa marah dalam hatinya, sekuat mungkin dia tahan. Hal ini karena dia adalah duta dari semua sahabat-sahabatnya, sehingga dia harus bersikap hati-hati.
“Untuk itulah kami menghadapmu di istana, karena kami menginginkan pertolongan darimu, hanya engkaulah yang bisa menolong kesulitan kami “ dengan tidak sabar Ucil menuturkan permasalahannya.
“Katakan saja, Cil. Tentu dengan mudah aku akan membnantumu “ jawab Raja Rimba dengan wajah yang tersenyum angkuh.
“B aiklah Raja Rimba, aku harap engkau bersedia mendengarkan semua keluhan rakyatmu, yang sedang dilanda keresahan mendalam “
“M asalah apa, Cil “ Raja Rimba kaget mendengar penuturan Ucil.
“Hendaklah engkau bertindak adil, berikan kebebasan pada rakyatmu untuk mengambil air telaha sekedar untuk minum “ jawab Ucil lantang
“Aku selalu memberi kebebasan yang luas pada rakyatku, apabila keadaan air cukup berlimpah. Namun memang aku larang, karena persadiaan air terbatas “
“Aku yakin air telaga tidak akan habis hanya sekedar untuk minum saja “ tutur Ucil dengan nada yang cukup tinggi.
“Itulah maslahnya, Cil. Pada kenyataannya mereka seenaknya saja mengambil air. Mereka tidak mau mematuhi aku sebagai Raja Rimba, agar mengambil secukupnya “
“Lantas akan kau biarkan rakyatmu mati kehausan ? “ Ucil tidak kalah kerasnya dengan ucapan Raja Rimba.
“Grrr…..grrrr apa boleh buat, itulah hukuman yang pantas bagi mereka “ ucap Raja Rimba, yang sudah tidak dapat menahan rasa amarahnya.
“Dimana rasa keadilanmu sebagai Raja Rimba ? ” kini giliran Ucil yang berang dengan raja rimba.
“Aku tidak perduli. Bagiku peraturan ini akan terus aku jalankan sepanjang musim kemarau ini “
“Sungguh engkau tidak pantas menjadi Raja Rimba di Hutan Kedung Siluman ini. Tidak pernah aku duga, bahwa sifatmu bertentangan dengan nama besarmu. Percuma aku memberi hormat kepada engkau “ Ucilpun tidak mau kalah dalam meladeni kekerasan hati Si Raja Rimba.
“Itu bukan urusanmu, hai bocah sombong !. Cepat tinggalkan tempat ini ! “ gertak Raja Rimba kepada Ucil, yang nampaknya sudah tidak main-main lagi.
“Ketahuilah, hai Raja Rimba. Apabila terjadi ketidakadilan di hutan ini. Disitu pulalah Ucil akan dating untuk membrantasnya “ seru Ucil yang nampaknya juga tidak main-main.
“Bagus bocah yang tidak tahu diri !. Andai aku bertindak tidak adil, lantas apa maumu ?. Aku peringatkan kau !. Sekali terkam saja, tubuhmu akan tercabik-cabik “ tutur Raja Rimba yang kini sudah tepat di depan Ucil, siap menerkam.
Keadaan di dalam istana Raja Rimba kini terdengar gaduh, semua hewan berteriak memaki Raja Rimba, sementara lainnya berhamburan keluar karena takut. Betapa tidak
Kawanan singa pengawal Raja Rimba dan Ucil beserta kelompoknya sudah saling berhadapan dan saling bersitegang. Kedua belah pihak telah siap untuk bertempur mati-matian. Bahkan dalam situasdi yang genting seperti itu, meloncatlah Si Belang persis di depan Raja Rimba seraya menggertak.
“He Raja Rimba serakah majulah hadapi Belang , inilah lawanmu bukan bocah kecil ini “ tantang Si Belang yang siap untuk menyabung nyawa.
Melihat situasi yang telah menjadi kritis ini, Ucil berusaha untuk mencegah pertarungan antara Raja Rimba dan Si Belang. Karena keadaan seperti ini sama sekali tidak dikehendaki Ucil. Tugas dia yang paling utama, adalah mengajak semua penghuni hutan ini, saling menghormati dan tolong-menolong antar mereka. Sehingga di Hutan Kedung Siluman, tercipta ketertiban dan ketrentaman.
Saat itu juga, Ucil segera mengajak sahabat-sahabatnya meninggalkan Raja Rimba dan pengawal-pengawalnya guna mencari cara lain untuk melunturkan kecongkakan dan ketamakan Si Raja Rimba..
Namun demikian Ucil tetap meminta sahabat-sahabatnya tidak putus asa dan terus berupaya mencari cara lain. Sepanjang perjalanan mereka meninggalkan istana raja rimba, Ucil dan sahabat-sahabatnya saling berdiskusi menentukan langkah selanjutnya. Diskusi antar mereka sungguh sangat serius tetapi menyenangkan, mereka saling melempar pendapat, tidak memandang jenis hewan, besar-kecil tubuh mereka atau perbedaan anatara mereka lainnya.
Dari sekian banyak pendapat yang disampaikan mereka yang ikut larut dalam diskusi ini, hanyalah pendapat Si Burung Hantu yang bernama Si GUK GUK yang dapat diterima oleh mereka semua. Karena semua telah sepakat menerima pendapat Si Guk Guk, akhirnya Ucilpun bisa bernafas lega. Karena untuk menyadarkan Si Raja Rimba memang haruslah dengan cara yang bijak.
Pendapat Si Guk Guk memang pendapat yang paling masuk akal sekaligus pendapat yang cukup bijak, sehingga diharapkan tidak banyak menimbulkan masalah dalam perjuangan mereka semua mendapatkan air minum. Bukankah semua hewan di Hutan Kedung Siluiman telah mengetahui kebesaran nama sahabat mereka yang arif, yaitu KANCIL SAKTI dari LEMBAH KLAMPISAN. Kebesaran nama Kancil Sakti telah telah mereka ketahui bersama, selain sakti Kancil Sakti juga dikenal sebagai tokoh yang arif- bijaksana, ringan menolong sesame, ramah dan luwes bergaul.
“Guuk. . . guk…teman-temanku, tentunya kalian masih ingat sahabat kita KancSakti, yang telah lama kita lupakan. Bukankah dia sahabat kita yang ringan-tangan menolong kita semua, saya yakin berkat kecerdasan dan pengalaman hidupnya, tentulah mudah bagi dia untuk menyadarkan Si Raja Rimba. . Guuk. . .guk “ demikian pendapat Si Guk Guk
“Baiklah teman-teman, setelah kalian menyetujui pendapat sahabatku Si Guk Guk, besok kita segera kesana untuk menerima nasehat-nasehatnya, karena hari sudah cukup siang aku pamit dulu. Kasihan emak di rumah sendirian ” serui Ucil sambil membalikan badanya untuk segera pulang membantu pekerjaan emaknya. Sudah barang tentu kesepakatan anatar mereka telah dirahasiakan bersama, agar tidak terdengan telinga Si Raja Rimba, yang dikhawatirkan bisa menghalangngi niat mereka.
Tidak berapa lama mereka telah sampai di Lembah Klampisan, yang menakjubkan karena dikelilingi bukit yang landai dan sejuk. Persis di salah satu bukit, terdapat goa yang besar dan sejuk, disitulah Si Kancil Sakti tinggal. Karena Kancil Sakti sangat mudah bergaul dengan siapapun, merekapun tidak menemui kesulitan untuk menjumpainya.
“Jadi kamu yang bernama, Ucil “ seru Kancil Sakti
“Betul, Eyang Kancil “ jawab U cil.
“Hoooooo…..jangan panggil aku eyang “ protes Kancil Sakti.
“Ah. biarlah, aku senang memanggil eyang “ jawab Ucil, seraya melepas senyum.
“Hmm. . .terserah maumu saja Cil, Ayo cepat katakana, maksud kamu dan sahabat-sahabatmu menemui kancil yang tidak berguna ini “.
Ucilpun lantas menceritakan derita semua sahabat-sahabatnya penghuni Hutan Kedung Siluman, akibat ketamakan dari Si Raja Rimba.. Sekaligus niat dia meinta pertolongan Kancil Sakti. Mendengar penuturan Ucil yang runtut, dari awal hingga akhir Kancil Sakti hanya menarik nafas panjang sambil mengelus-elus jenggotnya yang telah memutih’
“Sungguh suatu perbuatan yang tidak terpuji, tidak pantas dilakukan oleh Raja Rimba . Baiklah saat ini juga, bersama mari kita temui rajamu. Semoga saja dia bersedia merubah keputusannya. “ seru Kancil Sakti dengan bergegas berniat menemui Raja Rimba..
Hari belum begitu sore, matahari masih bergelantung di langit biru yang kini sudah mulai condong ke barat. Sementara itu, Si Kancil Sakti bersama dengan sahabat-sahabat Ucil, telah sampai di gerbang istana Singa Si Baginda Raja Rimba. Kedatangan mereka sungguh membuat kaget penghuni istana, termasuk Raja Rimba.
“Auummm. . . engkau lagi Cil. Bagus. . .bagus. . .engkau membawa hidangan seekor kancil yang sudah tua, namun tiada mengapa Cil. Sudah tiga hari aku tidak makan
“ sambut Raja Rimba yang telah dimabuk dengan kecongkakannya.
“Aku tidak punya waktu lagi untuk berbasa-basi denganmu lagi, keadaan penghuni hutan ini sudah cukup menderita. Serahkan sekarang juga Telaga Sewon Wono kepada kami “ sahut Ucil dengan nada ketus.
“Ambil saja sesukamu, Cil. Asal kamu mau menyerahkan hidangan kancil berjenggot itu, meskipun sudah tua, namun biarlah yang penting cukup untuk mengganjal perutku “ seru Raja Rimba. Nampaknya rasa lapar diperutnya membuatnya dia lupa diri.
“Asal kamu mampu menangkap dan menerkam tubuhku, silahkan kamu nikmati kancil ini sepuas-puasnya, he. . . singa ompong yang lemah “ tantang Ucil.
Sebenarnya ngeri juga perasaan Ucil, atas sikapnya yang menantang Raja Rimba. Namun hal ini dia lakukan karena segala sesautu telah mereka rencanakan, untuk melumpuhkan Raja Rimba atas perintah Kancil Sakti.
“Kurang ajar, rasakan taringku. . . bocah bandel “ gertak Raja Rimba seraya melayangkan tubuhnya sekuat tenaga guna melumat tubuh si kecil Ucil. Namun betapa kagetnya Si Raja Rimba, saat kaki belakangnya menyentuh tanah. Dia merasakan lemas sekujur tubuhnya, bahkan tanah yang diinjaknya menjadi lunak, sehingga kedua kaki belakangnya terperosok ke dalam tanah yang basah.
Tidak heran kalau Si Raja Rimba menjadi gusar hatinya. Denghan sekuat tenaga dia mencobna menarik kedua kaki belakangnya. Namun anehnya, semakin kuat menarik kakinya, semakin dalam pula kaki belakangnya terperosok.
“Apa yang kamu lakukan , Cil. Jangan kamu kira aku akan menyerah begitu saja, he bocah sombong, he . . . pengawalku tolong angkat tubuhku, jangan hanya diam saja” . Sikap Raja Rimba semakin tidak menentu.
Meski enam pengawal setianya bersamaan menarik tubuh rajanya, namun tubuh Raja Rimba sama sekali tidak bergeser sedikitpun. Yang jelas peristiwa seperti ini, tidak membuat Raja Rimba menyadari kekurangannya, bahkan malah bertambah besar amarahnya.
“Jangan kamu kira, aku akan begitu saja menyerah padamu. . . bocah ingusan, kalau kau memang berani, bunuh saja aku, tunggu apa lagi. . . bocah dungu ! “ teriak Raja Rimba hingga suaranya menggetarkan dinding istana. Karuan saja membuat hati sebagian besar hewan yang ada di dalam istana menjadi tambah getir . Hanya Ucil dan Kancil Sakti yang kelihatan tenamg.
“Untuk apa aku membunuhmu yang sudah tak berdaya, sekarang serahkan saja Telaga Sewon Wono kepada semua rakyatmu “ jawab Ucil.
“Sampai kapanpun tidak akan aku serahkan telaga ini “
Di sela perseteruan Ucil dan Raja Rimba, majulah Kancil Sakti hingga tepat di depan tubuh Raja Rimba yang tak berdaya lagi, seraya berkata dengan tenang.
“Aku harapkan , Baginda yang Terhormat berkenan menyerahkan telaga ini, hanya kemurahan hatimu sajalah yang mampu menolong dirimu sendiri “ kata Kancil Sakti.
“Kancil tua. . . apa pedulimu, telaga ini miliku, hanya aku sajalah yang boleh meminum airnya, jangan ikut campur urusanku “ tutur Raja Rimba dengan sikap yang angkuh.
“Baiklah kalau memang begitu, sekarang nikmati saja air telagamu sepuas-puasnya “ seru Kancil Sakti seraya melangkah surut menuju Ucil berdiri.
Tidak beberapa lama setelah Kancil Sakti melangkah surut, kini terlihatlah pemandangan yang mencengangkan semua yang hadir di istana. Betapa tidak, dari semua lubang tubuh Raja Rimba mengalirlah dengan deras air yang keruh dan berbau busuk. Maka pantas saja bila seisi istana menjadi gaduh. Mereka saling berteriak,melolong, menggeram dan entah suara apa lagi.
Mengalami peristiwa yang mengerikan semacam ini, barulah Sang Raja Rimba menjdi kecil nyalinya. Sontak dia memohon kepada Kancil Sakti dan Ucil beserta sahabatnya dan berjanji akan menyerahkan Telaga Sewon Wono kepada seluruh rakyatnya..
Minggu, 03 Oktober 2010
Senin, 27 September 2010
Puisi ANAK SINGKONG
GERIMIS DI TENGAH KEMARAU
Aku mengusung singkong, ubi jalar dan tanaman sayur,
Yang tumbuh di halaman rumah
Ke dalam bilik kamarku,
Agar terasa hangat hatiku, jantungku
Darahku, yang terbujur kaku,
Meski ini bukan gerimis terakhir
Yang mengguyur dinding bilik
Terbuat dari anyaman bambu
Membasahi ilalang di atap rumahku,
Namun sepiring nasi lusuh
Dengan sekerat tempe
Dan dibasahi sayur asem
Mampu mengganjal laparku,
Dengan senyum beribu warna
Istrikupun menghangatkan tubuhnya
Dengan sayur dan kue-kue pasar
Agar di tengah malam tak terjaga
dari teriakan dinding perutnya
Di meja yang tiada seberapa kokohnya
Berkaki bambu sebesar lenganku
Tertata makanan hangat
Agar anak-anaku tiada menghujamkan
Tangis bernada sinis
Karena kosong isi perutnya,
Meski perut yang mungil itu
Telah akrab dengan jaman
Aku menari nari di atas lantai tanah
Dengan radio butut yang berwarna kusam
Sekusam warna pagar rumahku
Yang mengumandangkan tembang jawa
Anaku sontak memburuku
Bagaikan kupu kupu di kebon belakang
Berhamburan memesariku
Istriku hanya tertawa hingga jelas
Lesung pipinya
Inilah sejuk…….
Bukan lantaran rumah berdinding semen
yang halus mengkilap
Putih cemerlang, bergurat jeruji penjara
Seperti pada loji para petinggi
Berdinding marmer nan licin
Sehingga berulang menjatuhkan musuhnya
Gerimis tak berniat surut
Aroma tanah yang dilekang kemarau
Masih saja memenuhi dinding bambu
Bayang hitam merengkuh bilik bambuku
Seloroh kini telah berada di atas bantal
Dengan dengkuran yang menepiskan
Getir yang mengitari pembuluh nadi
(Semarang, 26 September 2010).
ANAK SINGKONG
Jangan kau malu anaku,
Kala sepeda ini dikayuh, melewati jalan
yang kering dengan batu batu terjal
mencibirkan…makna
Jangan kau berangan “duduk” di kursi
Hulubalang raja
Yang berenda kertas berhias sutra
Lantaran kau adalah anak “singkong rebus”
Yang selalu bisa mengganjal perut
Bila matamu nanar
Merangkul kegetiran……
Anaku….
Kau bukan anak menteri di atas sana
Tapi tak harus kau melangkah surut
Kejarlah kedamaian
Dengan kedua tanganmu yang teduh
Meski sorot matamu redup
Tak mampu menerangi sudut langit
Jangan kau kejar rembulan…anaku….
Bila separonya telah dihimpit awan gelap
Kejarlah bintang di langit
Bila awan telah menyodorimu
Senyum indah
Berdoalah bila benakmu telah
Menyimpan apa yang ada di kepalamu…..
(Semarang, 26 September 2010).
BINTANG KEJORA
Apa telah kau besihkan beranda rumah
Meski hanya berlantai tanah liat
Agar tegar langkahmu, membidik bintang kejora
Warna warni,
Di bibir langit,
Apakah benar kau mampu menyuntingnya,
Bila melewati remang malam
Beterbangan kelelawar penghisap darah
Dari urat nadimu yang kecil….tak berdaya
Namun tiada juga kau bersalah…..
Bila kau memungutnya dan kau simpan
Dalam cucuran peluhmu..
Karena kau masih tegar
Melangkah pada kedua kakimu
Dan legam bahumu telah cukup kokoh
Biarlah emak dan bapakmu
Melepasmu di pagar luar rumah
Janganlah kau hirau, pada guratan wajah
Yang kami sisakan untukmu…..
Tengoklah kebon sayur bila
Telah gontai langkahmu
Semarang, 26 September 2010).
ABANG BECAK
Pada langit, bumi, lembah dan ngarai
Aku pekikan…..
Aku tiada pernah merasa lelah
Mengusung kehidupan
Di hari yang mengigit dan
Dan nafas yang menerkam
Jalan ini adalah miliku
Meski dipusari gedung bertingkat
Beratap jalan laying, berwajah gincu tebal
Aku akan terus menerjang
Meski debu jalan menghardiku
Demi manja istriku dan anaku
Semarang, 26 September 2010).
Aku mengusung singkong, ubi jalar dan tanaman sayur,
Yang tumbuh di halaman rumah
Ke dalam bilik kamarku,
Agar terasa hangat hatiku, jantungku
Darahku, yang terbujur kaku,
Meski ini bukan gerimis terakhir
Yang mengguyur dinding bilik
Terbuat dari anyaman bambu
Membasahi ilalang di atap rumahku,
Namun sepiring nasi lusuh
Dengan sekerat tempe
Dan dibasahi sayur asem
Mampu mengganjal laparku,
Dengan senyum beribu warna
Istrikupun menghangatkan tubuhnya
Dengan sayur dan kue-kue pasar
Agar di tengah malam tak terjaga
dari teriakan dinding perutnya
Di meja yang tiada seberapa kokohnya
Berkaki bambu sebesar lenganku
Tertata makanan hangat
Agar anak-anaku tiada menghujamkan
Tangis bernada sinis
Karena kosong isi perutnya,
Meski perut yang mungil itu
Telah akrab dengan jaman
Aku menari nari di atas lantai tanah
Dengan radio butut yang berwarna kusam
Sekusam warna pagar rumahku
Yang mengumandangkan tembang jawa
Anaku sontak memburuku
Bagaikan kupu kupu di kebon belakang
Berhamburan memesariku
Istriku hanya tertawa hingga jelas
Lesung pipinya
Inilah sejuk…….
Bukan lantaran rumah berdinding semen
yang halus mengkilap
Putih cemerlang, bergurat jeruji penjara
Seperti pada loji para petinggi
Berdinding marmer nan licin
Sehingga berulang menjatuhkan musuhnya
Gerimis tak berniat surut
Aroma tanah yang dilekang kemarau
Masih saja memenuhi dinding bambu
Bayang hitam merengkuh bilik bambuku
Seloroh kini telah berada di atas bantal
Dengan dengkuran yang menepiskan
Getir yang mengitari pembuluh nadi
(Semarang, 26 September 2010).
ANAK SINGKONG
Jangan kau malu anaku,
Kala sepeda ini dikayuh, melewati jalan
yang kering dengan batu batu terjal
mencibirkan…makna
Jangan kau berangan “duduk” di kursi
Hulubalang raja
Yang berenda kertas berhias sutra
Lantaran kau adalah anak “singkong rebus”
Yang selalu bisa mengganjal perut
Bila matamu nanar
Merangkul kegetiran……
Anaku….
Kau bukan anak menteri di atas sana
Tapi tak harus kau melangkah surut
Kejarlah kedamaian
Dengan kedua tanganmu yang teduh
Meski sorot matamu redup
Tak mampu menerangi sudut langit
Jangan kau kejar rembulan…anaku….
Bila separonya telah dihimpit awan gelap
Kejarlah bintang di langit
Bila awan telah menyodorimu
Senyum indah
Berdoalah bila benakmu telah
Menyimpan apa yang ada di kepalamu…..
(Semarang, 26 September 2010).
BINTANG KEJORA
Apa telah kau besihkan beranda rumah
Meski hanya berlantai tanah liat
Agar tegar langkahmu, membidik bintang kejora
Warna warni,
Di bibir langit,
Apakah benar kau mampu menyuntingnya,
Bila melewati remang malam
Beterbangan kelelawar penghisap darah
Dari urat nadimu yang kecil….tak berdaya
Namun tiada juga kau bersalah…..
Bila kau memungutnya dan kau simpan
Dalam cucuran peluhmu..
Karena kau masih tegar
Melangkah pada kedua kakimu
Dan legam bahumu telah cukup kokoh
Biarlah emak dan bapakmu
Melepasmu di pagar luar rumah
Janganlah kau hirau, pada guratan wajah
Yang kami sisakan untukmu…..
Tengoklah kebon sayur bila
Telah gontai langkahmu
Semarang, 26 September 2010).
ABANG BECAK
Pada langit, bumi, lembah dan ngarai
Aku pekikan…..
Aku tiada pernah merasa lelah
Mengusung kehidupan
Di hari yang mengigit dan
Dan nafas yang menerkam
Jalan ini adalah miliku
Meski dipusari gedung bertingkat
Beratap jalan laying, berwajah gincu tebal
Aku akan terus menerjang
Meski debu jalan menghardiku
Demi manja istriku dan anaku
Semarang, 26 September 2010).
Minggu, 26 September 2010
BUKU HARIAN
Usianya kini telah hampir 55 Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45 tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya. Maka hari-harinya hanya dia lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah rumah gedong yang hanya dihuni dia seorang diri. Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Pagi hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda. Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala itu diapun tidak mau melewati hidup yang indah begitu saja, bersama istrinya Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula tersebut.
Istri yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah barang tentu tergolong putri gedongan dan manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang mampu merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran, namun memiliki etos kerja yang brilliant, pandai memimpin, murah senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan. Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula tersebut.
Namun saat itu keteguha hati Prakoso menjadi luruh, kala berjumpa kembang mawar yang wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang penuh memberi arti dan sangguh mampu menjadi pelabuhan hatinya. Bukankah maghligai pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh setiap insan.
Namun Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai kerja yang handal, hanya Prakosolalah satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian hari. Maka Diajeng Melatipun tidak ragu lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran Prakoso, sang mandor yang juga memiliki pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro koleganya.
Menyikapi niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun menyambutnya dengan bahagia. Meski silih berganti para putra bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin, pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya yang sudah beranjak ewasa. Namun kenangan itu, sepertinya masih melekat di kehidupannya, kala lembar demi lembar buku hariannya di baca. Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh, namun menyebabkan hatinya yang semula ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget menelikungnya saat melihat istri dan
kedua anaknya berpamitan entah hendak pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah menunggu di pintu regol.
“Melati .! Tunggu dulu, kau mau kemana ?”
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Melati, hanya terlihat dia menyibukan diri mengemasi koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia dan anak-anaknya.
”Melati, aku suamimu, berhak melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku pergi”
”Lantas kalau kau suamiku, kau mau apa ?”
”Aku berhak menerima penjelasan darimu, apa maksud semua ini?”
”Apa perlu lagi kujelaskan, apa kau masih berhak menerima penjelasanku”
”Aku masih suamimu yang sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua bukan kemaunku”
Kembali rumah mewah berarsitek Eropa itu menjadi lengang, kini hany a terdengar suara isak tangis dari kedua putrinya, yang mulai beranjak dewasa, yaitu Rr. Caroline Widiati dan Rr. Elisabeth Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
”Kalau kau ingin penjelasanku, sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi menjadi suamku, kamu sudah tidak mampu lagi menafkahi keluargamu. Yang kamu lakukan hanya mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander itu.”
”Tap itu dulu kan, mam ! ”
”Ya dulu waktu kau masih masih bugar dan banyak menyimpan gulden. Sekarang mana ?”
”Lagian di luar masih banyak ekstimis republik yang akan membahayaka perjalananmu”
”Aku sudah minta bantuan Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku beberapa petugas ”
”Tunggulah dulu barang beberapa hari, kita bicarakan baik-baik”
”Kamu lupa Mr. Prakoso !, bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi kamu selalu m,enghindar, bahkan semakin kamu terporosok lebih dalam dengan wanita-wanita jalang dari temat-tempat kasino itu, berapa ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
”Bukan itu maksudku Melati !, toh aku sudah menyadari itu dan aku sudah minta maaf masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu, toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
”Ketahuilah Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah para bendoro, karena kita adalah keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut. Suamiku”
Prakoso merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa menoleh sedikitpun kearahnya Diajeng Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah
kita bertemu lagi putriku, demikian bisik hatinya, bersama dengan ringkik kuda yang semakin lama semakin tak terdengar lagi.
Ditutupnya lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar terpagut perasaan rindu terhadap sebuah pertemuan, Prakoso yang tiada berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan panjang seorang laki-laki yang terhempas dari badai kehidupan.
Berkali kali dirinya mengunjugi Wedana Kresidea\nan Cirebon, Bendoro Winata untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah dia tahu, bahwa keluarganya kini berada di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal bersama pamanya, namun entah alasan apa merekapun sepakat untuk hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat yang jelas.
Serasa baru kemarin kegetiran itu berlangsung, meski telah lima belas tahun berselang. Pandangan matanya menjadi sendu, kursi goyang dari kayu jatipun telah berhenti bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur berada di atasnya. Prakosopun tambah semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa semakn menghimpitnya, sehingga paru-parunya tersa sakit untuk bernafas.
Sebuah suara lembut dari dalam kamar tidurnya yang lengang telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya kini terasa lebih longgar lagi. Warna dinding rumahnya yang tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya. Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun kini lenggang.
Pagi hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda. Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala itu diapun tidak mau melewati hidup yang indah begitu saja, bersama istrinya Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula tersebut.
Istri yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah barang tentu tergolong putri gedongan dan manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang mampu merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran, namun memiliki etos kerja yang brilliant, pandai memimpin, murah senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan. Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula tersebut.
Namun saat itu keteguha hati Prakoso menjadi luruh, kala berjumpa kembang mawar yang wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang penuh memberi arti dan sangguh mampu menjadi pelabuhan hatinya. Bukankah maghligai pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh setiap insan.
Namun Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai kerja yang handal, hanya Prakosolalah satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian hari. Maka Diajeng Melatipun tidak ragu lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran Prakoso, sang mandor yang juga memiliki pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro koleganya.
Menyikapi niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun menyambutnya dengan bahagia. Meski silih berganti para putra bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin, pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya yang sudah beranjak ewasa. Namun kenangan itu, sepertinya masih melekat di kehidupannya, kala lembar demi lembar buku hariannya di baca. Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh, namun menyebabkan hatinya yang semula ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget menelikungnya saat melihat istri dan
kedua anaknya berpamitan entah hendak pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah menunggu di pintu regol.
“Melati .! Tunggu dulu, kau mau kemana ?”
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Melati, hanya terlihat dia menyibukan diri mengemasi koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia dan anak-anaknya.
”Melati, aku suamimu, berhak melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku pergi”
”Lantas kalau kau suamiku, kau mau apa ?”
”Aku berhak menerima penjelasan darimu, apa maksud semua ini?”
”Apa perlu lagi kujelaskan, apa kau masih berhak menerima penjelasanku”
”Aku masih suamimu yang sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua bukan kemaunku”
Kembali rumah mewah berarsitek Eropa itu menjadi lengang, kini hany a terdengar suara isak tangis dari kedua putrinya, yang mulai beranjak dewasa, yaitu Rr. Caroline Widiati dan Rr. Elisabeth Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
”Kalau kau ingin penjelasanku, sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi menjadi suamku, kamu sudah tidak mampu lagi menafkahi keluargamu. Yang kamu lakukan hanya mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander itu.”
”Tap itu dulu kan, mam ! ”
”Ya dulu waktu kau masih masih bugar dan banyak menyimpan gulden. Sekarang mana ?”
”Lagian di luar masih banyak ekstimis republik yang akan membahayaka perjalananmu”
”Aku sudah minta bantuan Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku beberapa petugas ”
”Tunggulah dulu barang beberapa hari, kita bicarakan baik-baik”
”Kamu lupa Mr. Prakoso !, bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi kamu selalu m,enghindar, bahkan semakin kamu terporosok lebih dalam dengan wanita-wanita jalang dari temat-tempat kasino itu, berapa ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
”Bukan itu maksudku Melati !, toh aku sudah menyadari itu dan aku sudah minta maaf masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu, toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
”Ketahuilah Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah para bendoro, karena kita adalah keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut. Suamiku”
Prakoso merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa menoleh sedikitpun kearahnya Diajeng Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah
kita bertemu lagi putriku, demikian bisik hatinya, bersama dengan ringkik kuda yang semakin lama semakin tak terdengar lagi.
Ditutupnya lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar terpagut perasaan rindu terhadap sebuah pertemuan, Prakoso yang tiada berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan panjang seorang laki-laki yang terhempas dari badai kehidupan.
Berkali kali dirinya mengunjugi Wedana Kresidea\nan Cirebon, Bendoro Winata untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah dia tahu, bahwa keluarganya kini berada di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal bersama pamanya, namun entah alasan apa merekapun sepakat untuk hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat yang jelas.
Serasa baru kemarin kegetiran itu berlangsung, meski telah lima belas tahun berselang. Pandangan matanya menjadi sendu, kursi goyang dari kayu jatipun telah berhenti bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur berada di atasnya. Prakosopun tambah semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa semakn menghimpitnya, sehingga paru-parunya tersa sakit untuk bernafas.
Sebuah suara lembut dari dalam kamar tidurnya yang lengang telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya kini terasa lebih longgar lagi. Warna dinding rumahnya yang tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya. Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun kini lenggang.
Langganan:
Postingan (Atom)