Kamis, 03 November 2011

Hantu


Sedikit banyaknya Pak RT sudah beberapa kali menyambangi pria paruh baya itu, yang berambut lurus, berperawankan ceking, cekung matanya menjorok ke dalam, tapi sorot matanya sangat tajam. Seakan berhasrat menguliti siapa saja yang dipandangya.
Pagi itu kembali lagi Pak RT menyempatkan diri untuk bertemu denganya, agar mampu menyakinkan pria yang setengah gila itu. Pak RT sengaja mengajak beberapa pengurus RT untuk mendampinginya. Meski matahari sudah setinggi daun kelapa, namun rumah separo papan itu masih senyap. Apalagi di awal musim hujan ini, ketika hampir semalam hujan membius bumi, semua yang ada dalam rumah menjadi bertekuk lutut, menyerah dalam selimut mereka masing-masing. Termasuk Pak Diran, yang tidak tahu atau pura pura tidak tahu kedatangan Pak RT.
Hanya tiga kali Pak RT dan pengurusnya mengetok daun pintu dari triplek yang sudah mulai mengelupas sambil mengucapkan salam, kemudian diam membisu dengan raut muka yang bersungut. Lantaran rumah  pria misterius itu sama sekali tidak bernafas. Tak beberapa lama pengurus RT itu kini hanya duduk saja di serambi rumah Pak Diran yang lusuh, berdebu dan  dipenuhi daun daun Akasia yang kering berserakan. Kentara sejak akhir musim kemarau silam, pria itu tidak berinisiatif untuk menyapunya.
“Sungguh malang Pak Diran !” Suara Pak RT memecahkan keheningan beranda rumah tua itu.
“Ah, karena dianya sendiri yang tidak mau berbuat baik” Jawab sekretaris RT.
Kembali mereka bertiga dibius  dinginya pagi itu. Hanya angan mereka bertiga yang memenuhi hati mereka masing-masing. Meski angan mereka satu sama lain tidak jauh berbeda, semata menyayangkan nasib pria setengah gila itu, yang mencampak dirinya sendiri dlam perjalanan hidup yang suram.
Mereka bertiga adalah pengurus RT yang tergolong muda usianya dibanding usia Pak Diran. Maka mereka bisa menyaksikan sendiri, betapa pria misterius itu mengalami perubahan hidup yang tragis,  lima tahun silam Pak Diran menempati rumah mewah di tepi jalan protokol yang necis, bersih dan terpandang. Karena dia adalah kontraktor sukses di kota ini. Istrinya yang masih kelihatan cantik, meski sudah  berumur  hampir separuh baya selalu setia mendampinginya, mereka bersama membesarkan ketiga putri Pak Diran yang tergolong cantik dan cerdas.
Namun meski Pak Diran sudah berpijak di istana kebagiaan, namun dia tidak pernah mampu untuk mengendalikan suara hantu hantu yang bergentayangan di jantungnya. Hantu itu terus saja memberontak dan menelikung angan Pak Diran, agar  laki laki malang itu menaburkan uang yang bermilyar milyar jumlahnya untuk menebarkan kepuasan hatinya.
Maka mulailah Pak Diran selalu pulang larut malam, untuk menghabiskan bendel demi bendel uang ratusan ribu rupiah, untuk tersenyum lepas di hantu wanita, yang bermata juling, berkuku tajam dan hitam, berkulit bagaikan boneka lilin. Namun dari sorot matanya mampu menyihir siapa saja laki laki yang berduit.
 “Ayolah papa kita habiskan malam ini, agar tidak berwarna kelabu. Jangan takut, papa mampu membeli kota ini, mampu membeli segalanya. Oh aku belum merasa puas, bila aku belum memiliki Jaguar dan Bungalow indah di kaki Gunung Slamet. Ayolah papiku, keluarkan uangmu. Minggu depan kita harus sudah melampiaskan hati kita dalam bahtera yang lembut, penuh pesona, bahagia, asal kita sudah berada di bungalow baru…hik…hik…hik”  Dari taringnya yang panjang dan tajam, keluarlah mantera mantera sakti untuk membius laki laki berduit itu. Seperti bius Cleopatra, yang berhasrat menaklukan Kaisar Agustinus.
Tangan kanan laki laki itu memeluk pinggang “kuntilanak” yang berkemas bidadari malam, sementara tangan kirinya memegang mesra leher sang putri. Namun sama sekali bulu kuduk laki laki itu tidak meregang. Pertanda dia sangat akrab dengan hantu “kuntilanak” itu, atau memang Pak Diran adalah juga hantu berbadan kokoh, tegar dan mampu menundukan hantu siapa saja dari seluruh penjuru alam hantu.
Tak lama hantu kuntilanak yang hinggap di bungalow yang mewah dan di halaman rumahnya berdiri asri mobil Jaguar seharga 1 milyar Rupiah, ditinggalkan oleh hantu petualang itu. Lantaran dia sudah tidak mempan lagi dengan mantra mantra sakti  “sang kuntilanak”. Hantu kuntilanak itu sudah tidak berkemas “bidadari malam” lagi , dengan jerat di sayapnya sudah tidak kokoh lagi, kini hantu kuntilanak itu sudah berubah wujud menjadi nenek tua keriput, berjalan pincang dengan bau anyir di seluruh tubuhnya.
***
Kini telah beberapa bulan hantu petualang itu menjelajah semua puncak gunung, lembah, lautan dan hutan, untuk sejenak melepas dahaga di kuku kuku tajam hantu kuntilanak lainnya. Meski bidadari  penghuni rumahnya telah lama dia tinggalkan. Sementara ke tiga putrinyapun telah berbahagia dengan suami setianya masing masing. Sang bidadari setianya, yang sejak muda dengan setia mengarungi samudra kehidupan Pak Diran, kini hanya terpagut sepi, berlinang air mata. Berkali kali tanganya memegang pisau tajam untuk mengakhiri hidupnya, namun selama ini selalu gagal, lantaran bisik dari bayangan putih yang berkelebat di kamar pengantinya selalu mencegahnya.
“Tahukah kamu, hai Novia !, keluhuran dan tingginya derajat kaum wanita adalah mengasuh putra putranya hingga berhasil dan bersabar mendampingi suami suaminya yang telah berbuat gila. Janganlah pernah berputus asa, demi masa depan anak anakmu”. Seketika itu jatuhlah pisau tajam di tangan kanan Novia.
“Tapi kali ini dia sungguh keterlaluan, apakah ini memang salahku ?. Karena sudah tidak bisa membahagian dia lagi ?”
“Sama sekali tidak Novia !, kebagian yang telah dia dapatkan dari kamu sudah terpenuhi. Hanya hantu hantu genit saja yang sering bersemayam di bilik hatinya”
“Aku sudah tidak tahan lagi, akhir akhir ini dia malah mengusirku dan berniat menjual rumah dan mobil hadiah darinya, demi membahagiakan simpananya”.
“Kuatkan hatimu, jangan pernah berhenti mencintaimu, kecuali engkau sudah berkalang tanah, meski tidak dengan pisau itu. Berikan saja rumah dan mobil itu, pergilah bersama anak anakmu, mereka bertiga masih sanggup menyayangimu”
Novia yang berdandan bidadari malam yang jelita dan berhati sejuk itu, memang harus meninggalkan rumah hantu yang sekarang berdebu, tidak bedanya dengan kuburan. Sepasang gelas kaca, bertangkai  artistik “romawi” kerap bersanding di meja makan rumah tua itu, saat saat seperti itulah Novia kerap berseloroh romantis dengan Diran Prasojo. Sepasang gelas itu pula diharapkan Novia , agar dirinya  mampu menggayutkan pada “sayap sayap malaikat malam” yang membawanya berkelana ke tepi malam. Dia berharap mampu menggandeng lengan kokoh kuat milik Diran Prasojo, yang dahulu mampu membalikan arah putaran bumi.
Namun ketika malam yang pekat dan lancung itu, tak lagi mampu menyodorkan kenangan lama, Noviapun segera melipat sayap sayapnya dan jatuh di kamar pengantinya yang sunyi. Hingga akhirnya Novia memilih untuk bersatu dengan ke tiga putrinya untuk hidup di bawah kasih mesra, sebagai pengganti sesuatu yang hilang. Berkali kali bayangan suaminya menjenguknya, dengan raut muka yang mengerikan, bertaring tajam dan tak pernah bersatu dengan tegur sapa. Pertanda  bahwa memang dia sudah tidak menghendaki pertemuan denganya lagi.
Namun Novia kini pun menjadi kurus kering dengan dada nyeri  ditusuk sembilu jerat yang dipasang hantu petualang itu. Mungkin dengan menghadap yang Kuasa bagi Novia adalah jalan yang dipilih oleh Sang Khalik, dari pada hidup berkubang bara. Kini wanita yang malang itu hanya meninggalkan tubuh yang kaku dan dingin, yang terbujur di depan anak anaknya. Tanpa disaksikan suaminya yang kini telah berpetualang dari pelukan hantu hantu kuntilanak yang menemani dalam petualangan panjang.
***
Malam  semakin mengunci dan memencilkan dirinya dari rayuan Pak Diran, yang masih belum merindukan kehadiran istrinya. Diapun tidak tahu dimana istrinya berada. Sedangkan alamat ketiga putrinyapun belum dia ketahui. Warna dinding kamar pengantinya yang dulu menggerlapkan hidup bersama Novia,  kini kusam dan retak. Namun sama sekali dia tak memperdulikan karena rumah itu sudah bukan miliknya lagi.  Padahal seluruh tulang persendian dan ototnya, sudah tidak mampu lagi untuk terbang melawan angin muson, untuk bertualang dari penjuru ke penjuru bumi ini. Semua harta kekayaan kini telah musnah. Dunia hantu dan petualangan telah mencampaikan dia di tempat yang terakhir ini.
Padang ilalang di sekeliling rumah setengah papan itu menjadi saksi, betapa menderitanya dia dalam memunguti lagi jarum waktu yang pernah dia tinggalkan. Setiap kali dia ingin merentangkan sayapnya, setiap kali itu pula Novia hadir dengan dandanan “ratu malam” yang jelita bagai bidadari. Kerap dia berhasrat berdiri  mendampinginya, namun belum genap langkah dia torehkan, punggawa punggawa di seliling ratu malam itu melototkan sorot mata hendak melemparnya jauh jauh.
Lantas bagaimana kehidupan ketiga putrinya yang sama sekali jauh dari rengkuhanya, apakah aku sudah memiliki cucu atau mereka semua telah meinggal, tapi di mana kubur mereka. Apakah laki laki durjana seperti aku, tidak boleh hanya memandang ketiga putri putriku yang dulu cantik dan jelita. Apakah aku harus terbujur kaku tanpa kehadiran mereka. Bisik hati hantu petualang yang telah pongah itu tal hentinya melekat di jarum waktu.
***
Suara batu batuk kecil tapi dalam terdengar dari dalam rumah, Pak RT dan temanya itu segera beranjak dan menghampiri pintu yang telah separo terbuka, senyum tipis yang mengguratkan pipi yang lapuk dan menampakan gigi menghitam, menyambut kedatangan mereka bertiga.
“Beginilah nasib saya, Pak RT. Aku hanya ingin bertemu istri dan ketiga anaku !” Pak Diran perlahan membuka pembicaraan mereka berenpat di tikar bambu yang sudah mulai banyak berlubang.
“Maaf, Pak Diran !. Kami dan semua warga sudah berusaha melacak ke sana kemari, tapi hasilnya masih nihil”. Jawaban Pak RT menyentakan hati Pak Diran yang sudah lemah tak berdaya.
“Ah, tidak apa apa, semua ini memang salah saya, Pak RT !”
“Tapi kami tidak putus asa, Pak Diran !. Tolong berikan kami semua alamat saudara Bu Novia di mana saja, kami akan berusaha menghubunginya”

Sepotong kertas kumal denga tangan gemetar diberikan Pak Diran kepada Pak RT, meski bibir keriput itu sudah tidak sanggup lagi berkata. Hanya senyum hambar dan sedikit tundukan kepala melepas kepergian Pak RT.
Padang ilalang kembali gersang terpagut sepi, gerimis mulai membasahi beranda rumah tua, yang hanya satu satunya milik Pak Diran yang masih tersisa bersama dengan angan dan harapanya, untuk kembali berbahagia dengan Novia

Sepenggal Kisah tentang Pejuang


Lelaki  tua itu telah redup sorot matanya,
mengais  angin sejuk,  menyisir  duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki,  berbaju compang camping
milik anak jaman                                 
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam  howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya

dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”

di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha”  yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya

dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit

(Semarang, 3 November 2011).

Sebuah Epos Yang Hilang

Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk  menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku  menggenggam pilu
Aku  mengencangkan urat nadi

2
tidakah kau tahu  pula,  anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru

Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya  bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih

Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu,  agar tetap terjaga

(Semarang, 4  November 2011).


Manifesto Untuk Hantu Berkerah Putih

Altar  yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam”  
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu  laras untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.

Dan  mengusung awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,
3

Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi

Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di sepanjang  kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan

Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel”  menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki            

 (Semarang, 4  November 2011).

Selasa, 01 November 2011

Bulir Bulir Padi


Sawah ladang yang mulai basah telah menjadi saksi, saat mereka harus sigap dengan  langkah kaki ke depan, lantaran mereka semua adalah petani kecil yang hanya mampu menitipkan hidupnya pada perguliran musim, Saat Angin Muson Barat mendera, mereka segera membenamkan seluruh kaki kakinya pada air sawah. Sehingga mereka yang  berdagang di kota besar, segera meninggalkan kotanya, untuk segera menyemai penghidupan dengan butir butir padi di sawah mereka yang tidak begitu luas. Namun bila sawah mereka diterkam kemarau panjang, merekapun segera balik lagi ke kota untuk berdagang mi ayam, mi bakso, panganan untuk anak anak SD dan apapun yang mereka mampu lakukan. Saat itu angin tenggara melempar mereka jauh jauh dan entah kemana mereka akan terdampar. Seperti biji biji ilalang yang kecil dan ringan kala terhempas angin kemarau.
Inilah nafas hidup desa tempat kelahiran  mereka,  meski tidak seluruh penghidupanya dikemas di desa ini. Mereka  yang tidak mengenal pangkat dan jabatan, tidak mengenal jenjang karir apalagi gaji ke 13 atau tunjangan prestasi dan apapun yang dimiliki oleh pekerja-pekerja kantoran. Aalagi korupsi uang negara. Mereka hanya akrab dengan lenguh sapi perahan dengan Kolonjono yang tumbuh di pekarangan samping rumahnya.       
Saat ini kembali angin Barat  menjenguk penghuni desa itu dengan titik titik hujan yang terusung,  sehingga pagi mulai berkabut, jalan dan pematang yang malang melintang di tengah sawah mulai ramai. Deru knalpot traktor  menyalak ,  namun burung burung bangau yang ada di seputarnya tidak memperdulikanya. Mereka lebih peduli pada yuyu dan ikan ikan kecil unuk sekedar mengganjal perutnya. Seakan mereka tahu persis apa yang dilakukan oleh petani petani itu dan merekapun menirunya. Namun yang mampu dilakukan oleh burung burung itu hanyalah memburu musim hujan. Meski beberapa tahun belakangan ini mereka menjadi tak mengerti,  lantaran mereka sering menjumpai hujan yang berkawan dengan badai, atau hujan di tengah kemarau, bahkan mereka juga pernah menjumpai kawanan ulat bulu yang menghabiskan semua dedaunan hijau.
Namun mereka masih bisa terenyum lega,  saat menyaksikan manusia masih terus mengolah tanah yang sudah banyak ditimbuni zat kimia, dengan tanah seperti itu burung burung banagu itu  kini tidak bisa melahap cacing cacing tanah dengan lebih rakus lagi, tidak sperti beberapa tahun silam.
Terminal bus yang lusuh dan berdebu dengan jalan jalan aspal yang menganga di sana sini siap dengan rakus  menelan tubuh tubuh yang terperosok di dalamnya. Terminal bus itu  berada di sudut desa dan mulai terlihat lebih ramai ketimbang hari biasanya.Kerumunan orang tua dan muda bahkan terlihat juga anak anak  yang mulai bereksotis di terminal bus tersebut. Mereka semua adalah petani yang kembali ke desa, untuk memburu secercah hidup dari sawah sawah mereka.
Ciri khas yang tidak bisa disembunyikan dari mereka, adalah kulit yang hitam melegam dengan bahu yang kekar. Namun raut wajah yang pasrah masih terus melekatnya. Diantara mereka adalah suami istri Hananto dan Kadarwati.
***

2
Belahan langit yang mengungkungi desa itu semalam telah mengirim titik hujan hingga pagi, kembang api alam terus saja silih berganti memagut desa itu. Kini pagi telah menyingkap mendung mendung gelap, sehingga keluarga muda petani Hananto dan istrinya Kadarwati sigap berseri mengawali kehidupan ini.
Sudah beberapa ratus meter jalan desa yang berbatu telah mereka lalui, tanpa suatu alas kakipun.  Sementara jalan yang terhampar di depanya kini hanyalah jalan pematang, yang malang melintang membelah sawah menjadi petak petak yang rapi, senyum beberapa karib, kawan sepermainan selalu menghiasi wajah mereka yang tumpah di sawah itu. Hananto yang baru pagi ini, menapakan kakinya di sawahnya yang terletak di tengah hamparan sawah yang nampak tak bertepi, segera melemparkan senyum rindu pada teman teman sepermainan. Teman yang dahulunya sering bermain  “wayang orang dan gamelan jawa” di tengah padang gersang, kala kemarau memagutnya. Di bawah bulan purnama adalah saat yang hidup untuk anak anak desa bermain wayang orang tersebut.
Hananto yang di Jakarta biasa bergelut dengan peluh-peluh pengap, mengais hidup di bawah tenda tenda plastik di pinggir jalan, menawarkan jasa menjadi buruh permak jean dan Kadarwati yang menjual bensin eceran disampingnya, kini bagaikan anak ingusan yang berada di tengah petani petani yang menenggelamkan diri dengan lumpur sawah, kerbau, gerimis dan terkaman matahari.
Sawah Hananto hanya berisi ilalang kering yang terbakar ganasnya kemarau panjang dan disana sini terlihat ilalang yang mulai menghijau di sela tubuh ilalang lainya  rebah.
“Tanah ini tentunya harus mulai aku balik, mumpung hujan mulai menghidupi sawah kita”. Seberkas  harapan mulai menebal di bilik jantung Hananto, Kadarwati hanya mengangkat kedua tanganya,  suatu isayarat agar suaminya sigap memulai  memunguti kehidupan mereka yang jauh dari sorot sorot mata yang garang,  di tengah knalpot mikrolet Jakarta yang hitam dan menyesakan dada. Kadarwati masih menyodorkan senyuman tawar, meski kehidupan mereka yang masih  terbawa “angin kembara”, bagaikan debu tak berdaya diterbangkan angin padang.
***
“Apa kamu sudah siap menyandarkan hidupmu pada sawah sawah kita, Wati ?”. Sepotong keinginan tahu Hananto dilontarkan pada Kadarwati, yang masih menyapu semua penjuru sawah dengan sorot mata yang masih kelihatan beku dan dingin. Sedingin beranda rumah sederhana mereka yang cukup lama ditinggalkan dan kini tembok tembok dindingnyapun masih menyimpan sepi. Hananto masih saja menunggu jawaban istrinya dengan wajahnya yang diarahkan padanya, meski dia tahu bahwa istrinya telah akrab dengan benturan benturan hidup sejak kecil.
“Itu tergantung kita, Mas !”, seraya merebahkan badanya di kursi bambu, Kadarwati memberikan jawaban.
Hananto tambah mengecil hatinya, berkali- kali dia meneguk kopi hangat yang sekian lama belum tersentuh. Berkali kali pula jantung hatinya berdegup, karena ketidakmampuan Hananto menangkap isarat dari  istrinya. Senja itu Hananto menjadi terpingit dalam ketidaktahuan tentang jawaban istrinya. Kebisuan itu akhirnya membuat dia tersudut , namun
3
semilir angin dingin musim hujan memberinya bisikan, agar dia lebih berani lagi menghadapi resiko apapun.
“Kalau aku gagal panen atau rugi ?”.
“Kapan dirimu berhasil ?, Bukankah kegagalan lebih akrab dengan dirimu, Mas ?”. Hananto terlempar hingga jauh ke ujung langit, sayap sayapnya yang tadinya sudah ditutup rapat rapat. Kini Kadarwati telah merentangkanya, sayap-sayap itu telah membawa Hananto pada kenangan di Bengkulu kala ikut transmigrasi, kala Hananto menjadi nelayan dan episode episode kelam kini hadir di dalam benaknya.
Angin senja musim hujan semakin memagutkan dingin beranda rumah papan itu, bahkan kini lebih berani lagi  mengibaskan rambut Kadarwati yang dibiarkan terurai sebatas pinggang. Hanantopun menjadi terkapar dalam angan berada dipelukan wanita berkulit sawo matang dan berwajah oval itu. Tak lagi senyap dalam jantung Hananto dan kini mulai tumbuh bara asmara milik dewa dewi  kahyangan. Seberkas harapanpun mulai tumbuh dalam benak Hananto.
“Semoga kita berhasil menjadi petani di sini,  seperti semangatku kala aku meninggalkan Jakarta yang pengap, lusuh dan garang”. Hananto mencoba tampil layaknya lelaki gagah dan kekar dan mampu menggendong pujaan hatinya itu hingga  ke tengah peraduan mereka.
“Cobalah bekerja keras seperti teman-temanmu, mereka tak takut hidup menjadi petani, mereka tak takut lagi dengan kegagalan. Karena mereka terbiasa dengan kegagalan, tapi kalau dirimu Mas ! sudah merasa gagal, maka separo dari usahamu telah gagal”
“Tapi apa engkau siap hidup menjadi petani?” . Kembali Hananto menyelipkan sebuah pertanyaan.
“Mengapa tidak kau tanya saja!, apa aku siap menjadi istri seorang menteri ?”. Hananto merasakan sejak saat itu bumi telah berputar terbalik, jawaban istrinya telah memisahkan dirinya dengan apa yang tersimpan dalam lubuk hatinya. Dia sebenarnya tidak takut dengan sebuah kegagalan, tapi dia tidak ingin kegagalan terus saja bergayut di kehidupan isrinya.  Meskipun dia tidak pernah merasakan bangku perguruan tinggi, namun benang benang sutra yang halus dan lembut, tetapi kokoh telah menautkan kedua hati mereka. Maka diapun  berhasrat untuk menyaksikan istrinya selalu hidup bermandikan bunga warna warni.
“Maksud kamu bagaimana, Wati ?”
“Bila manusia diberi kebebasan untuk memilih takdirnya, maka aku akan memilih jadi istri seorang mentri atau gubernur atau sekalian menjdi ibu negara. Tetapi karena suratan takdir yang harus kita jalani seperti ini. Tidak ada jalan lain kecuali aku harus siap dengan yang aku mampu jalani “
Rembulan yang tadinya berada di ketiak awan, kini berwajah bundar di pusari angin malam. Rumah papan itupun menjadi sepi.
***

4
Entah sudah berapa ratus kali cangkul Hananto dan beberapa buruhnya membentur dan membalikan tanah dan lumpur sawah yang berwarna kecoklatan karena bercampur dengan jerami yang mengering di musim kemarau silam. Tiada lagi deru debu menerpa tubuhnya yang tiada seberapa kokohnya. Hanantopun terus bercengkerama dengan Angin Muson yang mengirimnya hujan, guna mengokohkan bahtera rumah tangganya dengan Kadarwati.