Minggu, 20 November 2011

Impian Tentang NegeriKU


Sang Baghaskara”, kala mengintip dengan malu
Pada tiap penjuru “Negeri dengan dandanan sulaman
beludru biru”. Menapaki “Tanah tanah legam Papua
dan sebentar membasuh wajahya, di “ Pemandian Arafuru”

Kita mengulum senyum, dengan bola mata
menyisir setiap “ Lekuk tubuh Borneo dan Minahasa”.

Dalam telanjangnya nafas ,
dan sejauh kita mampu meluruskan pandang mata,
Sejauh itu pula, bersolek bukit, lembah dan pematang sawah,
dengan bedak dari halimun
dari celah bukit dan puncak puncak gunung.
Bibir gincu perawan desa, adalah apa yang harus kita
saksikan. Dari eksotis tiap ramahnya padang dan sawah.

Apakah masih ada, sebuah keluh dari sepotong peluh
Hingga merontanya tangan kita, yang telah kosong  dari
guratan-giratan petuah nenek moyang kita
ataukah kita hanya ingin menjadi “tiupan prahara
yang merontangkan tiap bunga bunga persembahan
sang pengantin baru.

Lantas sepi, hanya asap kedurjanaan.

Kita bentangkan tudung saji berkain biru,
Melengkung dari dua samudra lepas
Mengait pada “Laut Kidul” dan “Laut China Selatan”
Agar “Sang Atmosfer” di atas sana
Tidak menyeruakan lagi tentang kabar sumbang
Tentang ngarai yang hijau
di pinggir permadani kuning padi padi yang masak.

Puncak Mahameru”, tak kan mungkin goyah
Untuk sebuah tambatan, dari hati yang menerjangkan
Bara api.
Kita jaga bersama
Agar sawah dan ngarai
Terus hadir dalam mimpi kita  (Semarang, 21 Nopember 2011)


Nurlela

Nurlela mengecup pagi ini,
Lantaran hanya itu yang dia miliki,
Berjajar beribu bunga menjadi pagar rumahnya
Dan sebuah basuhan air embun
Nurlela berikan tiap, mentari di Timur.
Karena hanyalah hidup damai yang dia
impikan.

Nurlela sejenak menyambangi cermin miliknya
Di dinding bambu rumah panggung
Keriput dan lipatan wajahnya
Kini lebih kentara
Apa karena ini gambaran hidupnya ?
Dari apa yang pernah ia dengar
tentang dandanan seronok kehidupan ini.

Nurlela,
Lebih memilih, merapikan tiap pagi
Yang hadir, pada tiap sendi tulangnya
Ketimbang menikam hidup
ini menjadi “pecahan kaca yang tajam” ….(Semarang, 21 Nopember 2011)




Jumat, 18 November 2011

Puguh


Dahulu kala terdapatlah sebuah sekolah  yang terletak di lereng Gunung Merapi. Meskipun letak sekolah tersebut sangat terpencil, namun sekolah itu cukup dikenal baik dikalangan raja-raja  Jawa ataupun rakyat jelata. Namun anehnya siswa yang menuntut ilmu di sekolah tersebut adalah putra- putri dari berbagai kalangan, baik putra bangsawan serta raja yang terpandang ataupun putra-putra rakyat jelata. Mereka semua diberi pembelajaran langsung oleh guru yang sudah kesohor seantero Pulau Jawa, karena kearifanya, bijaksana dan berhati mulia. Dalam pembelajaran sehari hari “sang guru“ tidak pernah mebeda-bedakan siswanya. Guru yang tersohor tersebut bergelar Resi Kaloko.

Tidak semua pembelajaran yang diberikan sang resi dilakukan di dalam kelas, kerap kali sang resi mengajak para siswa belajar di tengah alam. Bahkan dalam satu bulan tidak kurang dari tiga kali semua siswanya diajak menyelusuri alam sekitar atau mendaki bukit yang berdiri kokoh di belakang lingkungan sekolah dan asrama mereka. Demikian juga hari ini, Resi Kaloko merencanakan  mengajak semua siswanya berjalan mengelilingi Lembah Tasikmadu, yang hijau asri dan berhawa sejuk.
***
Pagi pagi benar mereka telah berkumpul di halaman sekolah lengkap dengan bekal dan air minum secukupnya. Setelah mereka sarapan secukupnya mereka diberi pengarahan oleh Resi Kalopo tentang rencana dan tujuan kegiatan mereka. 

Semua siswa yang berkumpul di halaman itu terlihat berseri  wajahnya,  apalagi di cuaca pagi yang cerah dengan kuning sinar mentari mengakrabi mereka. Mereka semua nampak akrab dan tak ada sedikitpun perbedaan antara mereka berkat pembelajaran yang diberikan oleh Resi Kaloko. 

Terlebih lebih bagi Bagus Prayogo putra ndoro Bupati Boyolali yang selalu dekat dengan Puguh, putra tukang rumput kuda milik sang resi, yang selalu ada disamping Bagus Prayogo  layaknya kakak beradik yang tidak ada yang mampu memisahkan mereka. Meskipun mereka berdua termasuk anak  yang baru gede, namun badan mereka mirip dengan pemuda yang telah dewasa, karena gemblengan “lahir batin” di tengah alam oleh sang resi.

Dengan penuh santun semua siswa berbaris rapi di depan sang resi untuk mendengarkan nasehat dan pengarahanya. Dengan jelas dan lantang sang resi berpesan: “Anak anaku banyak pelajaran yang dapat kita petik dari perjalanan kalian menyelusuri lembah Tasikmadu ini, jangan pernah merusak alam yang ada disekitar kamu, jadilah manusia yang peduli sesama meskipun kalian masih anak anak. Tolonglah teman temanmu dengan ikhlas apabila mereka menemui kesulitan. Mengerti anak- anaku ?”.
***
Tak beberapa lama mereka kini telah benar-benar di tengah alam, disela para petani yang mengolah sawah yang bertanam sayur. Sementara di depan mereka menjulang Gunung Merapi yang kini tersenyum ramah. Dari sela petani yang bermandi keringat di terpa terik sang surya, berlarian seorang petani yang rambutnya ditumbuhi uban dengan badan kurus kering

dan berwajah pucat.  Petani itu Nampak tergopoh gopoh mendekati Bagus Prayoga dan Puguf, yang berjalan paling belakang. Tak berapa lama kini petani tua itu telah berada di depan mereka.

“Aduh anakku, berilah kakek beberapa suap nasi.  Sudah beberapa hari ini kakek tidak makan karena kakek sudah tidak punya apa- apa lagi “, rintihan petani itu sangat memilukan bagi siapa yang  mendengarkan. Bagus Prayogo dan Puguh hanya bisa saling pandang.

“Kakek !, perjalanan kami menyusuri lembah ini masih jauh, sedangkan bekal kami hanya cukup untuk makan siang nanti. Kalau nasi bekal ini kami berikan pada kakek, kami akan kelaparan nanti  dan tidak ada yang mampu menolong kami “ jawab Bagus Prayogo.

“Ah, kami sama sekali tidak akan memaksamu, tolonglah aku nak !, hanya mengurangi sedikit bekalmu tidak akan membuat kamu kelaparan !” Kini giliran Puguh yang dimintai pertolongan kakek tua misterius itu.

“Kakek !, ambilah separo nasi dan lauk saya !, sedangkan sisanya sisihkan untuk makan siang  saya” Puguh segera menyodorkan keranjang bekal pada kakek itu. Dengan perlahan kakek itu mebuka keranjang dan daun pisang yang membungkus nasi itu. Namun petani tua itu hanya mengambil  beberapa suap nasi untuk dimasukan ke mulutnya. Sehingga rasa heran pada Puguh kini memenuhi hatinya.

“Kakek!, kenapa malu ?. Ambilah nasiku lagi !. Inikan belum separo ?” 

“Sudah cukup anaku !, kakek mengambil sekedarnya hanya untuk megganjal perut kakek saja. Terimakasih atas kebaikanmu, silakan meneruskan perjalanan anaku !, semoga engkau berhasil “.Puguh bertambah bengong, ketika kakek misterius itu berlalu begitu saja dari hadapanya dan kini sudah berada di tengah petani yang bekerja di lahan mereka.

“Puguh !, kenapa kamu memberikan jatah nasimu ?. Lihat saja tadi !, dia hanya mempermainkan kamu kan ? Untuk apa kamu memberi kebaikan pada orang yang mempermainkanmu?.”Dengan muka  merah padam Bagus Prayogo melampiaskan kemarahan atas sikap kakek misterius itu.

“Ah, sudahlah Bagus !, aku hanya sekedar menolong kakek miskin itu” jawab Puguh.

“Tapi jangan sekali-kali kamu berani minta jatah dariku !”

“Bagus !, yang diambil kakek itu kan hanya beberapa suap, sama sekali tidak mengurangi jatah makanku. Kejadia seperti itu juga sring menimpa keluargaku bila bapak dan emaku tidak punya apa-apa”

Bagus Prayogo tidak menjawabnya, seketika itu juga dia menarik tangan kanan Puguh untuk meneruskan pejalanan, menikmati pemandangan hijau lereng Gunung Merapi. Hingga mentaripun sudah mulai bosan menyinari bumi, kini giliran sang rembulan yang menggantung di langit Gunung Merapi
***


“Anak anaku sekalian !, kemarin kalian sudah belajar mengenal, menjaga dan menghormati alam sekitar serta saling menghormati sesama makhluk hidup yang ada di lembah Tasik Madu ini. Hanya kepedulian sesama kita, masih belum bisa kalian lakukan” Suara Resi Kaloka cukup lantang hingga terdengar sampai penjuru dan belakang  kelas yang cukup besar.

“Puguh !, Aku sangat terkesan dengan budi baikmu !, sikap sepeti itulah yang dibutuhkan setiap pemimpin. Kamu mengerti maksudku, Puguh ?” .

“Mengeri Guru !”

“Bagus, anaku tersayang ?. Jangan kamu ulangi perilakumu yang kemarin. Begitu banyaknya orang orang di sekitar kita, yang butuh kepedulian kita bersama. Kepedulian pada orang lain juga dibutuhkan oleh seorang pemimipin. Mengerti, Bagus anaku ?”

“Tapi guru, kita mengadakan perjalanan yang jauh kemarin, bila sampai kita kehabisan bekal dan kelaparan. Apa kita bisa kembali  ke sini, Guru ?”

“Jangan kuatirkan itu anaku !. Bila kamu ringan tangan menolong sesama, pasti teman kamu lainnya pun akan ringan menolongmu. Bukankah aku sudah berpesan kepada kalian semua sebelum kalian menjelajah , untuk belajar peduli kepada orang lain dan ringan tangan menolong sesama. Mengerti, Bagus !!!”
“Eh, iya Guru !. Tapi guru tahu dari mana ?”

“Hehehe….kakek misterius di tengah lahan kemarin,  adalah orang desa yang aku suruh untuk menguji kalian semua. Baiklah anaku semua,  minggu depan kita  mencoba berjalan ke Kota Jogjakarta dengan pedati,  agar kalian bisa lebih peduli sesame kita dan mengenal kehidupan saudara saudara kita “

‘ Setuju guru ” semua siswa memberikan jawaban yang sama, di tengah keasyikan mereka belajar berhitung, menuis dan membaca.  Mereka semua kini sudah tidak sabar ingin cepat menjelajahi Kota Jogjakarta.

Kamis, 10 November 2011

Indonesia dalam Sepotong Puisi


Indonesia dalam “Sepotong Kata di Penghujung Tahun 2011”


Lusuh


Dalam kungkungan langit biru,
aku suarakan, sebuah titian waktu, dalam bulan....dalam
hitungan akhir.....
hasrat untuk menuai “rumah bambu” di balik menjulang
tinggi Puncak Swargaloka...
dari sebuah “Bangsa Santun”, yang tergolek lemas
lantaran dipagut bisa-bisa taringnya sendiri

Nafas yang dikemas dalam tenggorokanya sendiri...
telah mengering, meranggaskan mentimun, labu
dan padi , di sawah yang bertebaran kebohongan
Mana akan kau semai palawija,untuk
anak cucu kita yang bernafas atmosfer “tak pasti”
yang melajukan deru- deru pertikaian
antara penghuni istana dan gedung berlantai marmer,
namun berdinding rajutan ilalang
yang bermata sembab,lantaran telah mengering
air mata mereka.

Makian panjang, sumpah serapah dan hujatan
senyaring serigala yang menyergap sesama
Telah menyesakan dada “Anak Krakatau”,hingga
melomjak dalam berang, menggetarkan peraduanya
Meradangkan banjir Padang, yang tadinya
bersolek ceria dalam bibir gincu Andalas.

Kita masih dalam kemasan menyatukan langkah
Dalam alunan perguliran waktu,
namun kita telah merasa usai
karena congkaknya perut-perut buncit, yang
berniat berlalu dengan sebelah mata
atau menikam “ulu hati”, jerami yang mengering
di pinggiran sawah ladang yang tergolek
rebah dimakan penzholiman jaman

Mari kita usung sebait puisi indah
Untuk anak cucukita yang bertelanjang dada (Semarang, 11 Nopember 2011)

 Angin Kembara
 
Angin- angin kembara yang bermata juling
Telah memenuhi tepian Bumi Perkasa
yang berdiri kokoh di atas batu-batu pualam
menyebar diantara Selat Malaka dan Bumi Papua

Angin kembara kini menoleh ke tiap penjuru
negeri dan dusun, menyelorohkan dongeng tamak
berbau busuk, menebar duri
menghempaskan perilaku santun, hingga
anak- anak negeri  melempar kaca ke tiap jalanan
dengan tangan terkepal,  dengan dandanan beringas
dan menjinjing parang, yang melengking nyaring

Angin kembara, yang bertuan dajal,
entah apa yang kau pinta dari kami
yang hanya mampu menahan lapar
lantaran hanya tahu sebuah sarapan pagi
dari sepotong ubi rebus dan ...
segelas kopi yang bergula aren           (Semarang, 11 Nopember 2011)


Air Mata
Nanti juga akan sirna kanvas kelam
yang berlari menyusul angin badai
hingga menebarkan tikus-tikus busuk
yang merantaskan batang-batang padi
dan merobohkan gubug bambu milik pak tani

Nanti juga akan sirna, maka keringkanlah
air mata kita semua..air mata Ibu Pertiwi
usaplah dengan kain sutra, bersulam indahnya
negeri sorga, dengan bocah-bocah lucu
berhias pakaian warna warni
meski berseklah di gedung-gedung SD
yang hampir roboh, berornamen kepalsuan

Keringkanlah air mata kita,
Gantilah dengan semai semilir angin Muson
yang membawa butir hujan
untuk telaga hidup kita yang lembut
dan berpantai keranjang harap             (Semarang, 11 Nopember 2011)


Pantai Biru

Masihkah kita saksikan
Kala pantai berbuih putih,
Bertebaran ubur-ubur yang  jinak
Kitapun mampu sejenak menghirup udara
yang berumah di Pasifik dan Atlantik

Masihkah kita mampu melabuhkan biduk
yang berlayar centang-perentang, tentag buaian hidup...
jangan kita menjadi tersipu malu,
meski pantai negeri sebrang
lebih biru dan masih berpagar nyiur

Jangan kita urungkan biduk yang
telah melaju,meski dengan sisi yang yang
merapuh....
Namun biduk ini adalah milik anak cucu
Yang mereka usung dalam dongeng tidur mereka      (Semarang, 11 Nopember 2011)