Rabu, 28 Desember 2011

Langit Di Atas Serayu



Langit hitam tak ubahnya selaput jelaga yang menghitami bagian bawah  dan pinggang sebuah tempayan,  gulungan-gulungan awan hitam mengerikan mengkaitkan kaki langit di empat penjuru cakrawala. Angin pergantian musim sangat menggigit kulit, meski selama ini belum pernah ada gerimis barang setetespun yang jatuh ke bumi.
Ki Gede Haryo Pragolo, mendesirkan dalam hatinya sebuah kekhawatiran tentang badai disertai hujan yang bisa saja turun menerjang perdikan yang dia pimpin. Padahal telah setengah tahun ini sawah sawah kawula perdikannya terbengkelai dalam kerontang. Mereka membiarkan jerami-jerami yang menguning tergelar seluas sawah sawah mereka.

Dari kejauhan terlihatlah debu mengepul dihempas beberapa ekor kuda yang menerobos udara siang Bumi Perdikan Patikraja yang meranggas.  Ki Gede Haryo Pragolo segera beranjak dari kursi bambunya, yang sedari pagi menghisap tubuhnya. Beberapa prajurit perdikan berhamburan keluar untuk menyambut tamu petinggi Kraton Kabupaten Banyumas  , yang merupakan duta dari Sinuwun Bupati Yudonegoro petinggi nomor satu di Kabupaten Banyumas.

Mereka semua masih dikungkung langit berjelaga, langit yang mengabarkan bakal turunya hujan apabila awan-awan hitam yang mengusung butir-butir air tidak tersapu angin pancaroba yang mulai mengganas. Maka di seputar Kraton Ki Gede Haryo Pragolo semua dedaunan hijau menyodorkan sebuah tarian ceria dengan gendang alam yang bertalu, menggesekan tubuh daun satu dengan lainnya. Bumi Pedikan Patikraja menjadi bertambah gelisah. Hanya doa yang dapat dihaturkan kepada Sang Penguasa Alam tetap meindungi mereka semua penghuni Bumi Perdikan Patikraja.

Semua emban Bumi Perdikan Patikraja, menjadi sibuk hilir mudik guna menyuguh tamu agung dari Kraton Harjo Mukti   lengkap dengan pengawal Prajurit Patang Puluhan. Mereka semuapun terlihat mengusung sebuah kekhawairan tentang kemungkinan turunya hujan badai yang menerjangnya. Kekhawatiran yang datangnya dari bencana beberapa puluh tahun silam, kala Kadipaten Banyumas menjadi korban kemarahan Sungai Serayu yang merenggut ribuan kawula kabupaten Banyumas.

***
“Mohon ampunan yang tak terkira!, kami menyambut kedatangan petinggi kabupaten tanpa persiapan yang terlebih dahulu,  Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo !”. Tegur sapa Ki Gede Patikraja disodorkan dengan penuh santun dengan gambaran wajah yang was-was masih begayut di wajahnya.

“Oh, tiada mengapa Ki Gede !, akulah yang mohon maaf karena kunjungan kami tanpa mengirim nawolo terlebih dahulu. Kunjungan kami sangat mendadak karena Kanjeng Bupati Yudonegoro mengutus kami juga secara mendadak, lantaran beberapa hari ini langit Bumi Kabupaten Banyumas berjelaga, seperti enggan menampakan wajahnya yang biru ceria. Kanjeng bupati merasa kahawatir dengan meluapnya serayu “
“Betul katamu Kanjeng Tumenggung, banjir bandang yang terjadi beberapa tahun silam telah menghantui kami semua. Kami selalu khawatir bila mendung bergayut setebal ini. Padahal tidak lama lagi tiba musim hujan. Semoga saja musim hujan kali ini mampu membwa berkah kawula  semua,  setelah delapan bulan lebih kami tidak bertani “.

puspa prasasti aji
Semua petinggi Kabupaten Banyumas yang sekarang bertamu menjadi bertambah pilu hatinya, bahkan semua Warongko Ndalem Bumi Perdikan Patikraja kini hanya tertunduk lesu. Hanya sorot mata Ki Gede Haryo Pragolo yang masih tajam menerobos tirai waktu ke depan dengan selaksa asa yang ada di pundaknya. Sebuah tantangan dari seorang pemimpin perdikan yang memikul tanggung jawab yang berat yang diamanahkan padanya dari Kanjeng Sinuwun Bupati Yudonegoro.

“Lantas apa yang akan Adi lakukan mengatasi masalah ini semua?, inilah yang akan kami laporkan pada kanjeng bupati ! “
“Mohon maaf kanjeng tumenggung !, kami hanya merencanakan tindakan sesuai kemampuan sebuah bumi perdikan. Kami semata-mata hanya mampu merencanakn untuk menebar beberapa pos jaga siang dan malam di sepanjang bantaran Kali Serayu,  di semua dusunpun telah kami tugaskan peronda yang siap dengan titirnya, apabila petugas bantaran memberi tanda Serayu meluap “

“Hmmm..,memang repot bila kita  menhadapi alam! “.  Keluh sang tumenggung menggema ke selruh pendopo agung bumi perdikan itu. Sebagian wajah menampakan gambaran keputusasaan sebagian lain hanya berpasrah apapun kejadianya. Sedangkan sebagian lain hanya tersenyum kecil, mengganggap lucu tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi bahaya alam ini. Karena tidak ada manusia yang sanggup melawan alam,  yang bisa di lakukan manusia hanyalah mengusung sebuah persahabatan manis dengan alam.  

“Mohon maaf Ki Gede ?” . Dengan suara yang lantang pemimpin prajurit patang-puluhan menghaturkan sebuah permintaan.
“Ada apa Ki Lurah tamtama !”
“Kami prajurit kabupaten juga diperintahkan Sinuwun Kanjeng Bupati Banyumas untuk ikut jaga di perdikan ini “
“Oh, matru nuwun atas segala kebaikan Sinuwun Yudonegoro . Kebetulan kami juga sering mengkhawatirkan tindak pidana dari kawula yang tidak bertanggung jawab bila banjir datang. Mereka seenaknya mengambil hewan ternak, emas dan harta lainnya. Namun karena prajurit perdikan hanya sedikit jumlahnya, maka tindak culiko seperti ini tidak mampu kami atasi “
“Bagus Ki Lurah, aku harapkan bukan saja kalian para prajurit Kabupaten Banyumas mampu menjaga ketertiban, namun sekarang juga segera menentukan jalur pengungsian kawula menuju dusun yang tinggi. Betul begitu Adi Haryo ?”

“Betul sekali Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo. Kami menyaksikan sendiri betapa paniknya kawula saat bandang datang. Mereka tidak tahu harus mengungsi kemana, mereka hanya berlarian tanpa arah. Hanya berdoa kepada Sang Pencipta Alam Marcapada, yang bisa kami lakukan seperti beberapa tahun silam “,  jawab Ki Gede Haryo Pragolo. 

Banjir bandang datang tiba-tiba di tengah malam gulita karena hujan menerpa perdikan itu bebera hari lamanya. Memang banjir sudah menjadi gejala alam yang mengakrabi kawula perdikan itu, namun biasanya hanya sebatas paha paling tinggi. Namun Gusti Ingkang Makaryo Jagad menghendaki alam ini berbicara lain. Terjangan air Kali Serayu justru melimpah di luar batas kebiasaan. Sehingga tanggul alam yang kokoh akhirnya dilumat tak berdaya oleh air bah yang tinggi.  Banyak rumah penduduk yang hanyut, karena rata-rata bandang mencapai atap rumah tingginya. Teriakan pilu dan histeris terdengar di mana-mana, meratapi nasib sanak saudaranya yang hilang terbawa bandang liarnya Kali Serayu. Meski Ki Gede Haryo Pragolo dan seluruh keluarganya selamat, namun dia hanya mampu menangis pilu yang selama satu minggu tidak makan dan tidur, “Duh Gusti !, berilah ketabahan dan kekuatan hati kami semua dalam menghadapi musibah ini. Terimalah disisiMU semua kawula perdikan ini yang terbawa arus Serayu “. Tiada henti sang petinggi Bumi Perdikan Patikraja berdoa kepada Sang Penguasa Alam.
Ki Gede Haryo Pragolo, terbius dalam angan yang menggetirkan hatinya.
“Aku turut bersedih dengan kejadian itu “ seru Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo.
“Nuwun sewu Adi !, jangan lupa harus Adi persiapkan lumbung lumbung padi yang ada. Kanjeng Bupati akan segera mengirim beberapa pedati padi” tawaran Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo betul betul membawa angin segar bagi hati sanubari pemimpin Perdikan Patikraja yang semula tertutup mendung tebal, setebal jelaga yang kini menyelimuti langit Bumi Perdikan Patikraja. 

Bumi Perdikan Patikraja sudah beberapa bulan ini dirundung paceklik yang sangat menusuk sanubarinya.  Selama ini Ki Gede Haryo Pragolo  tidak tahu harus berbuat apa, untuk mengumpulkan upeti dari dusun-dusun yang berada di kekusaan bumi perdikan jelas tidak mungkin. Kawulanya sendiri saat ini sedang menggelepar  melawan paceklik, bagaikan melawan teror hantu yang menyeluruh menteror kawula perdikan baik siang maupun malam. Sedangkan cadangan padi di lumbung perdikan sudah menipis.  

Karena banyak kawula yang berhari-hari tidak makan nasi ataupun palawija, maka kriminalitas di perdikanya juga turut menteror kawulanya, rampok di siang hari bolong menjadi hal yang biasa. Bahkan merekapun tidak segan melawan prajurit perdikan yang jumlahnya tidak seberapa. Maka Ki Gedepun hampir tiap malam mendengar pekik titir yang bertalu mengabarkan adanya perampokan sekaligus isyarat tentang kawulanya yang meninggal akibat kelaparan.

“Baiklah Adi Pragolo,karena hari sudah merambat sore kami mohon diri “,Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo segera merapatkan tubuhnya untuk memeluk Ki Gede Haryo Pragolo  yang telah dirundung kesedihan hati.
“Dengan segala kerendahan hati kami menghaturkan selamat jalan dan mohon disampaikan Salam Taklid kami kepada Njeng Sinuwun Yudonegoro, kami Bumi Perdikan Patikaraja  siap menjunjung semua titahnya “.
“Baik Adi Pragolo, mohon bimbinganya pula untuk semua prajurit kabupaten agar mereka semua mampu menentramkan perdikan ini dan mampu menjalankan tugas bila bandang menerjang perdikan ini. Kami pamit, Adi !”.
***
Angin Barat masih setia membawa gulungan awan hitam. Terkadang mereka hanya memberikan gerimis yang membasahi bumi perdikan ini. Kadang pula mereka membawa hujan lebat disertai badai. Namun semakin hari semakin tebal awan hitam itu menjenguk Bumi Perdikan Patikraja, Kali Serayupun mulai bertambah meruah airnya, hingga mendekati batas tanggul. Melihat gejala seperti ini semua kawula Bumi Perdikan Patikraja belum bergairah menyemai padi di sawah. Apalagi kini mereka telah bersiap mengungsi bila pertanda titir dari prajurit dan punggawa kraton telah bergema. Barang barang berharga telah dikemas untuk siap di bawa ke arah yang telah ditentukan oleh Lurah Tamtama Lembu Seto yang akan memimpin pengungsian.
Senja itu Ki Gede Haryo Pragolo   sudah berada di Kawedanan Purwokerto untuk mempersiapkan barak pengungsian dan menjemput Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo yang memimpin langsung puluhan pedati yang membawa bantuan bahan makanan dari Njeng Sinuwun Yudonegoro. Gerimis masih setia membasahi wajah bumi ini,  semua prajurit dan punggawanya masih pula sibuk mempersiapkan bantuan bahan makanan.
Seorang punggawa perdikan dengan berlari kecil dan nafas terengah-engah segera menghadap  Ki Gede Haryo Pragolo , “Mohon maaf Kanjeng !, bandang telah datang sore tadi, seluruh Dukuh Kebasen telah hanyut, mohon maaf dan nyuwun dawuh !”. Ki Gede menjadi bersungut sungut wajahnya,  dia segera beranjak dari tempat duduknya, wajah yang tegang masih menghiasi dirinya  “ Semua kawula sudah diungsikan ?”.
“Perintah Kanjeng telah kami laksanakan mulai beberapa hari lalu !”
“Berapa banyak korban jiwa yang ada ?”
“Mohon maaf Kanjeng kami belum menghitungnya, tadi sore jenasah korban yang meninggal telah kami kumpulkan di pendopo perdikan. Namun hanya sedikit Kanjeng !”
Sorot mata yang tajam dari Ki Gede Haryo Pragolo kini mulai ditutup oleh tabir air mata. Hanya doa yang dipersembahkan pada Tuhan yang Kuasa disodorkan oleh petinggi itu. Semoga arwah kawulanya yang menjadi korban keganasan Serayu diterima di sisiNYA. ***

Selasa, 27 Desember 2011

Sugeng Warso Enggal 2012

my family
Wis jamak lumrahe menawi margi ingkang diambah awake dewek saben dinane, mung arupi oro - oro kebak ri. Margi inkang jarang tinemu panggonan kangge ngiyub, sinaoso mung saklebeting netro. Margi ingkan kados mekaten, minongko prolampito lelampahan gesang wonten arcopodo.

Wonten kolomongsone ugi, ambah-ambahane aweke dewek gantos margi ingkang alus, umpamonipun arupi dalan aspal hotmix garapanipun sederek saking monco-negoro. Meniko ingkang kulo panjenengan gayuh amrih rahayuning gesang sesami. 

Menawi kulo panjenengan saestu nglampahi gesang ingkang mulio lahir terusing batos, wilujeng kalis sing sambikolo dalah dowo yuswo. sregep manembah. Sedoyo meniko saged dipun gambaren lumampah margi ingkang alus. Ananging kuciwonipun katah sederek ingkang kagungan kesaenan ingkang kasebat wau, malah leno ing kaprayitnan. Bebasan sugih nikmat ingkang diparingi Gusti Ingkang Moho Welas Asih,, namung kulo panjenengan uwal elingipun. Tansah tebih saking caos dahar munjuk atur dumateng Ngerso Dalem Gusti ingkang Makaryo Jagad miturut ageman piyambak – piyambak.

Tulodo ingkang kasebat wonten inggil meniko, saged dados koco benggolonipun kulo panjenengan sami. Mbokmenowo langkung prayogi menawi sagung kanikmatan ingkang lumeber kulo panjenengan sedoyo, saged dipun wastani pasinaunan manah ingkang gumantung awak kulo panjengan, anggenipun nggulawentah amrih rahayuning gesang. Kosok wangsulipun tembung oro – oro kebak ri, mengku suraos samubarang ingkang mboten mrenaning penggalih sinten mawon ingkang nglampahi, menawi tembung oro – oro kebak ri panci trep kalian gesang kawula panjenengan sedoyo.

Ingkang baku sameniko, mboten usah nggagas margnine agesang. Lelampahan ingkang kados menopo werninipun, mbokmenowi panci sampun katitah Panjenenganipun Gusti Allah Ingkang Ndamel Gesang. Ing semu gesang wonten mercopodo saged dipunwastani kebak cobo, rekoso, lan abot. Nanging meniko sedoyo namung gegambaran semu kewolo. Mestinipun meniko sedoyo mengku prolampito ingkan hakekat. Kabukti miturut wewalere poro sepuh, eyang sepuh lan aji sepuh ingkang wasis babakan laku lampah batos, ingkang saged dados panutane agesang, menawi kulo panjengenan kasinungan cobo arupi dunyo - brono. Estunipun Gusti Ingkang Moho Kuoso, taksih kerso paring sagung welas asih ingkang lumeber kulo panjenengan sedoyo.

Menawi seserepan saking poro winasis meniko estu – estu saged dados panutane manah poro kadang sedoyo, mbok menowo sedoyo ingkang agesang wonten mercopodo, saged nuwuhaken manah ingkang sabar. lan tansah tumungkul nyuwun supados Gusti Sesembahan kaulo panjenengan sedoyo tansah pinaringan kawilujengan lahir lan batos. Langkung - langkung mlebet warso candakipun, mboten sanes inggih Th 2012. Mugi warso candakipun meniko, saged dados warso ingkang kebak paedah tumrapipun kawula panjenengan sedoyo.

Liripun warso ingkang sampun kepengker saged diwastani warso keblinger tumrap saperangan sederek ingkang lenggah wonten Bumi Nusantara.. Ingkang nggadahi watak trapsilo lan chianat dumateng bangsa lan negorone piyambak. Ugi saged kawastanan warso kepengker kebak maneko warno bebendu, ingkang sejatosipun bebendu kolo wau, namung tetenger kito sedoyo, supodos langkung prayitno anggenipun ngugemi sandangan berbangsa lan bernegara.

Sinten mawon ingkang tumindak awon sajroning warso kepengker, kalebet nerak wewalering paugeran negara, bangsa lan agama, mboten usah nggadahi raos kagol lan sumelang, Awit sedoyo wau namung kembange agesang. Milo mboten usah tido – tido lan nolah – noleh malih babakan ngudi basuki, kalawan mejahi lelampahan awon sajroning warso kepengker. Awit warso ingkang candakipun wau sampun mincip – mincip rawuh wonten ngarso kulo panjenengan.

anerjicerpenpuisi.blogsot.combambang-sukmadji.blogspot.combangsuk51.blogspot.com
Warso enggal meniko sampun sumedyo bakal awor dados setunggal kalian kito sedoyo, sehingga kedah dipapag katih manah ingkang ganep. Sajroning warso enggal meniko, sedoyo sandangan ingkang mboten trep kalian bener lan pener, kedah diicali digantos kalian lelampahan ingkang adiluhulung. Gesang ingkang kemrungsung, mboten kagungan tuntunan manah, digantos klawan gesang ingkang manfaati liyan.

Sehingga Bumi Pertiwi meniko klakon tanggon, anggenipun ngadepi rubedo arupi degradasi moral sederek sebangsa lan setanah air tuwin rubedo saking monco negoro. Awit mirsani kahanan Ibu Pertiwi ingkang sampun klampah isen-isene namung usrek lan podo tumindak sakarepe piyambak-piyambak Meniko ingkan ndadosaken tangise Ibu Pertiwi.

Awake dewek niku kedah anggadahi raos sumelang jumbo kalian kahanan ingkang kados mengaten. Sampun ngantos ical kaprayitnan ingkang ndadosaken Negara lan Bangsa niki ngalami disintegrasi lan, langkung tebih malih menawi anak bangsa sami geger genjik mboten kantenan, mboten lintu mung awake dewek ingkang pikantuk kapitunan. Bebasan mapak warso candakipun meniko kedah dilampahi kanti ulat ingkang sumeh, adem manahipun lan berbakti budi laksono.

Milo mapak warso enggal warso 2012 meniko mboten sanes among monggo sami-sami priatos nggayuh, rahayu lan basuli tumpraping sedoyo kadang sentono, sederek sebangsa lan setanah air. Sehinnga Bangsa Indosesia klampah dados bangsa ingkang ageng, waluyaning jati ngantos akhire zaman. Amin......

Senin, 26 Desember 2011

Senja untuk Bunga Kampus


pupa prasasti aji
Bagi Elga tahun baru kali ini, hanya dihiasi sebah senyum sahaja. Tahun baru hanya sesuatu yang lewat begitu saja, seperti hari hari lainnya. Terompet yang bereksotis menggigit lampu lampu jalan hanya di cibir saja. Bagi Elga yang penting hanyalah  sikapnya yang harus dibenahi demi sebuah interstnya pada studinya.
Sebuah kenangan beberapa tahun lalu kini menyentuh jantungnya, tetapi hanya sesaat ditepis hingar bingarnya malam tahun baru. Malam yang begitu berkesan kala Rehas masih disampingnya.
***
Rehas datang ke acara kumpul bareng sokib-sokib gaulnya di rumah Avda pada sore hari sesuai apoinmen mereka lewat Hp.  Bukan siapa-siapa yang terselip di hatinya kala dia berambisi untuk gabung di rumah Avda, di awal tahun baru ini, bukan pula secangkirkopi dan sekerat roti yang dia buru.   Tapi kata hati, yang terus memberontak menusuk rongga dada, jantung dan urat nadinya.
Avda segera menghamburkan diri ke beranda rumah, kala kelebat tubuh Rahas terlihat di pintu gerbang halaman rumahnya. Avda mengulurkan ke dua tangan, sedangkan Rahas hanya memperepat langkahnya sembari melempar senyum. Perjumpaan ini mirip dua orang “Knight dari Skandinavia” yang bertahun tidak berjumpa dalam kancah pperangan melawan Romawi.  Bagi Rehas selama empat tahun tidak pernah bisa jumpa dengan beberapa sokib kentalnya sejak SMP, memang membuatnya dia ngebet ingin jumpa hari ini, di tengah libur panjangnya. 
“Rehas, kita jumpa lagi, sehatkan ?” kalimat pertama Avda yang lepas berderai tawa memenuhi beranda rumahnya  yang hanya berlantai semen.
“Avda !, aku nggak sangka kamu mau datang !. Rasanya baru kemarin kita pisah !”
Mereka berdua merasakan kehangatan yang renyah, akrab tetapi fresh meski udara di luar terasa dingin akibat gerimis yang mengguyur awal Januari tahun ini. Rehas masih menampakan sebuah duka yang menyerpih di dinding kalbunya meski dia sudah meninggalkan kota lamanya empat tahun silam, sebuah duka tentang pertemuanya dengan Elga dan sebuah perpisahan yang menyakitkan.
“Bangkitlah Rehas !, mendung tidak selamanya membawa hujan !” sebuah advis sejuk datang dari Avda.
“Apa maksudmu ?”
“ Tidak selamnya apa yang kamu duga akan menjadi kenyataan “
“Aku masih belum tahu, cobalah kamu lebih detil saja “
“Ah...kamu kan udah mahasiswa tahun ini, masa nggak tahu sih Has !”
Avda meneguk bebarapa tegukan kopi hangat, sedangkan tak satupun makanan yang belum masuk ke rongga perut Rehas.  Avdapun tahu sebuah kegalauan kini menyelimuti hati sokib dekatnya itu yang datang dari Medan demi apoinmen mereka, atau demi Elga yang rencananya juga mau ngikut  bareng ngumpul.
 “Has, kamu coba dong lebih dewasa sehingga bisa memberikan Elga sebuah alasan tentang empat tahun yang lalu. Dia juga sering nanyain kabar kamu kok ! “
“Emang itulah yang akan aku lakukan, moga-moga sore ini aku mampu menjadi The Braveman untuk sebuah penjelasan “. Sendu di wajah Rehas sudah mulai tertepiskan.
“Mengapa tidak kau lakukan di awal awal saja ?”
“Itupun aku menyesal, yah kita saat itukan masih remaja yang belum dewasa. Perpisahaku dengan Elga hanya menimbulkan emosi di hatiku. Aku benci bila melihat Elga. Namun kebencian itu lama-lama meluruh, meninggalkan kesan pada Elga dari sisi lain “ . Rehas kini mulai membasahi tenggorokanya dengan softdrink yang ada di depanya.
“Sisi yang mana ?”
“Ternyata dia lebih dewasa lagi sekarang, apalagi  setelah lulus SMA. Aku bisa menebaknya, dia jauh lebih dewasa dari umurnya. Betulkan kan , Avda ?”
“Betul Has !,sayang kita berpisah lama. Seandainya kamu masih gabung bareng denganku. Tentunya akan aku ceritakan semua tentang Elga “
“Kamu dekat dengan, Elga ?”  Rehat mulai mencoba menelisik tentang Elga.
“Kebetulan dia kuliah bareng aku, Sehingga dia hampir tiap hari ketemu aku “
“Mengapa kamu nggak crita sama aku ?”
“Orang kamu aja baru sms met tahun baru kemarin, gimana aku tahu posisi dan no hap kamu “
“Banyak yang pdkt sama dia, Avda ?”
“Dia menjadi bunga kampus, apalagi dengan sikapnya yang dewasa. Dia juga dinilai banyak teman-teman sebagai wanita flamboyan. Aku sarankan kamu pdkt lagi dengan kiat yang santun, halus selembut sutra !”.
Rehas hanya diam membisu.
***
Avda, meski bukan anak seorang gedongan, tapi memiliki karakter yang santun, halus, peduli dan ringan tangan menolong siapapun. Oleh karena itu banyak sekali sokib-sokibnya yang seneng berada di dekatnya, meski belum satupun cewek mahasiswi yang mampu menjadi penambat hatinya. Karena bagi Avda “cinta” bukan selembar hasrat yang harus ditautkan dalam wujud pacaran. Avda hanya mengenal cinta dalam wujud memberikan kebaikan dengan lainnya. Maka bila dia mengantar pulang Elga, Shanty,  Elvi dan seabreg cewek lainnya, dengan sepeda motor bututnya, itulah cinta menurutnya.
Maka kala dia memberikan selorohnya untuk mengumpulkan semua sokibnya di rumahnya yang sederhana,semua sokibnyapun menyambutnya. Mereka kin tidak membuhkan temu bareng di hotel
berbintang, atau di pub, restoran dan lain sebagainya. Tetapi meski hanya rumah sederhana di batas kota mereka semua dengan ringan menyetujui kumpul bareng itu.
Rehas belum mampu melepas semua candanya pada semua teman-teman Avda yang sudah mulai gabung dengan duduk di atas tikar, sambil memusari hidangan pecel lele dan nasi hangat serta sambal yang pedas. Tidak ketinggalah daun kemangi dan irisan mentimun juga ikut menambah menu tahun baru yang sederhana.
“Avda !, kita bikin heboh aja kumpul bareng ini !” pinta Kayla.
“OK !, aku yang bawa gitar, siapa yang mau nyanyi !. Kayla please ?”
“Aku nggak bisa nyanyi,  aku bacakan puisi saja ya !, kebetulan aku bawa dari rumah,setuju !”
“Setujuuuuuu....!!!!!”
Semua kebisuan tadi kini menjadi cair, saat Kayla membacakan puisi karya dia sendiri :

Puisi Tentang Tahun Baru
Bukankah  aku  telah  simak
dengan seluruh nadi  darahku
agar  tetap mengalirkan  semua  yang  kau  pinta
lantaran  telah  hilang  lakon hidup

episoda  demi  episoda
kini  haripun bertabuh  genderang tahun  baru
biarlah  aku  hadirkan  lagi
bahasa  tubuhku  yang  lama  terbang
merengkuh  awan
biarkan  pula  langit  memberikan  senyumnya
asalkan  kita  sewarna  merah,  biru  dan  jingganya
tahun baru.

Saat  ini  tak  mau  aku  menanti  datangnya  mentari
 Lantaran telah aku basuh wajah dengan  senyum  bidadariku
 Yang telah memberikan  aku  secawa  air  pelepas  dahaga
 Biarlah  semua  tergambar jelas 
 
Akan aku   dapatkan  lagi
 Biru langit  bertepi   ormanen  warna  jingga
 Sementara  engkaupun masih menawarkan  lagi
 Sebilah hatimu  yang  telah  meranum  bahagia
  
Kayla, 4 Januari 2012.

Rehas dan Elga tak sengaja saling bertatap mata, Rehas mengawali dengan seberkas senyum gantengnya. Elgapun mambalasnya dengan sebuah bisik hati , “Rehas bila biru rindumu memberkas katakan saja, akan aku terima dengan kedua tanganku “
puspa prasasti aji
Rumah Avda yang berdinding setengah papan itu menjadi saksi pertemuan mereka berdua. Sebuah senjapun kini menyodorkan sebuah bingkai asmara untuk mereka berdua.
“Selamat Elga !, sukses selalu untuk kamu, kamu sekarang  berhasil kuliah di negeri !”
“Makasih Has !, kok tahu ada pesta kecil-kecilan di sini?. Aku dengar kamu sekarang di Medan !”
“He..eh,  setelah naik kelas XI papi dipindah ke Medan “
“Sekarang kamu kuliah di mana ?”
“Yah...beginilah aku, nggak bisa kuliah di PTN. Betul advismu dulu Elga !”
“Advis yang mana ?”
“Meski kita mau bagaimana, studi juga perlu di perhatiin untuk masa depan kita. Advismu yang seperti itu masih aku ingat betul “
“Tapi roda waktu masih berputar, kita belum tahu segalanya. Jangan putus asa dulu, Has !”
“Makasih !, kamu masih seperti dulu, Elga!. Aku dengar dari Avda kamu sekarang menjadi bunga kampus “
“Makasih juga Has “ Elga seterusnya hanya diam membisu, namun masih memberikan pesona bagi Rehas yang sedang dgrogoti rindu yang berat.
“Elga, gimana pendapatmu ?”
“Tentang apa !”
“Tahun 2012 ini aku mau kuliah di Semarang saja, papiku pun setuju. Daripada di Medan aku hanya main saja “
Tidak ada satu patah katapun yang diuntai Elga, hanya sebuah pandang mata yang sendu dan menggeleparkan jantung hati Rehas***