Jalan
peninggalan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang
melintang di pantai Utara Pulau Jawa dipenuhi debu debu liar dan tak berdaya.
Jalan yang peeuh dengan kanvas lukisan sejarah dari jaman ke jaman itu ikut
diam membisu meski sinar matahari siang
itu menerkamnya tanpa ampun. Sama
seperti beberapa puluh tahun silam ketika Anjing NICA menggerus jalan itu untuk terus melaju,
menghentakan roda roda besi untuk menghancurkan rumah rumah beratap rumbai ilalang milik inlander
inlander bermata cekung, bertubuh kurus kering dan bersorot mata menantang. Apalagi
kedatangan gemuruh roda besi dan pesawat tempur cocor merah justru terjadi
setelah Soekarno Hatta meneriakan sebuah kemerdekaan anak bangsa yang hidup
dengan separo nafas.
Jalan yang
terlihat coklat kehitaman itu terus saja menampakan raut wajahnya yang kelam, meski
anjing NICA telah menyelinap menembus Samudra Hindia untuk pulang ke negeri
Bunga Tulip itu. Jalan yang melintang di setiap kota di pantai utara itu,
sepertinya masih mengaduh kesakitan, entah karena tangan tangan kotor saudagar
VOC atau karena gigi taring tajam anak negeri yang menghisap darah darah dari
bilik jantung orang orang kecil di negeri ini.Atau karena jalan jalan itu sudah
tidak mendengar lagi lolongan Water Mantel 12,7 atau senapan otomatis Thomson milik
pejuang yang memberangus anjing penjajah, atau memberangus kebodohan serta
dinginya sorot mata mata anak negeri terhadap kepincangan, ketidakpedulian,
ketidakadilan dan tabiat kejahatan kerah putih.
Debu debu sepanjang
Jalan Daendles di saat ini berceria, renyah tersenyum dan berterbangan ringan
dan liar berhamburan dihempas angin kemarau, ditelikung panasnya sinar mentari,
tapi tetap tunduk pada kodrat gravitasi yang mencengkeramnya. Meskipun roda
roda garang dari beribu tronton, bis dan kendaraan berat lainnya
menghempaskanya ke tiap arah. Sebagian lagi hinggap di celana dan baju waita
wanita super elit yang hilir mudik menghamburkan uang di mall mall yang
menjamur. Sehingga kulit mereka yang sawo matang terlihat bertambah kusam.
Berbeda dengan
jaman Herman Willem Daendels kala masih
bercokol di negeri ini. Noni Noni Belanda dengan andong yang ditarik sepasang
kuda hilir mudik untuk menghamburkan gulden di rumah rumah makan eksotis dan
berarsitektur kincir angin sekedar mengenyangkan perut mereka dengan santapan Huzaren
Sla, Holland Kroket Bitter
Ballen atau Stamppot Met Wosrt. Beberapa gelas Netherland
Beverage telah mereka reguk dengan tangan tangan usil mereka mengibaskan
kipas artistic berbalut kain sutera.Sama sekali mereka tidak memperdulikan
perempuan inlander yang menawarkan panganan dari ketan, ubi, singkong rebus,
getuk dan panganan inlander lainnya. Meski roda delman yang ditumpanginya telah
melindas debu debu jalan milik kaum inlander yang tertunduk lesu, lunglai
lengan lenganya dan kosong sorot matanya.
***
2
Tapi itulah
jaman, haru biru, prahara yang dilahirkan selalu saja menyudutkan debu jalan Daendels untuk menjadi saksi, entah debu yang merona merah darah
lantaran percikan darah dari korban jaman yang saling diberingasi manusia
manusia yang menuntut kebenaran, mengencangkan egonya serta mengalahkan
lainnya. Termasuk juga tetesan darah pejuang yang tersungkur ditebas peluru anjing
NICA. Mereka terus menerbangkan debu Perang Diponegoro, Perang Kemerdekaan I
dan II. Bahkan beruang merah yang berniat mencengkeram lengan lengan rapuh dari
anak bangsa yang baru saja bangun dari tidurnya setelah 350 tahun bermimpi,
ikut pula memerahkan debu debu jaman di negeri tempat mandi bidadari.
Namun kawanan
debu kini lebih merapatkan satu sama lain, bukan lantaran “global warming” atau
“solar flare “ bahkan bukan pula karena “Supermoon”. Meski cuaca ekstrim telah menambah
mereka untuk lebih ringan menempel ke setiap titik tujuan dan menyampaikan
pengaduan tentang nasib mereka dan sebuah keluh kesah tentang birama kehidupan ini. Kawanan debu
menjadi bingung tujuh keliling, lantaran mereka terhempas oleh manusia manusia
yang berkulit sama, yaitu sawo matang, berhidung pesek serta berbicara denga
bahasa sama.
Debu debu jalan Daendels itu sempat
memasang telinga mereka dan menyelipkan tubuhnya pada roda becak, kaca gerobag
mi ayam, dan tempat terselip lainya untuk mengetahui teriakan nyaring manusia
manusia yang terhipnotis untuk berseteru dengan
lainya yang terus saja menghamburkan
enerji dan amarah kepada kawanan manusia lain yang serupa dan diikrarkan menjadi
musuh mereka. Musuh yang saling tidak mengetahui satu sama lainnya, mengapa
mereka lupa akan makna persahabatan.
“Bakar rumah
mereka, bakar apa saja milik mereka “ teriak salah satu manusia yang bermata
garang, sambil mengepalkan tinjunya serta berdiri di posisi paling depan.
Sementara manusia manusia lainya yang berdiri di belakangnya terus saja
melempar apa yang dimiliki ke arah manusia manusia lainya yang bergerombol di
sebrang jalan.
“Ayo maju
terus..ayo sergap mereka dan usir mereka” sebuah teriakan lantang terdengar.
“Majulah kau
manusia laknat, kami tidak takut !” jawab salah satu manusia lain di sebrang
jalan, yang bersembunyi di balik barikade dari batang pohon Akasia yang
dirobohkan, bangkai mobil yang terbakar. Sementara di atas barikade beterbangan
bom molotov dari dua arah. Semua batu dari bebagai ukuran telah mereka usung
untuk meliampiaskan kebencian dan kekecewaan pada manusia lainnya yang dianggap
jahanam dan durjana, entah dari sisi yang mana, mereka sendiri tidak tahu.
Hitam kelam warna
3
wajah mereka
semua hampir sama dengan debu debu jalan Daendels yang tak pernah diam dan selalu larut dalam
prahara yang ditebar manusia, dari jaman Majapahit hingga kini.
Debu debu jalan Daendels serentak bersama melemparkan pandang ke arah beberapa manusia yang berseragam sama, yaitu
bekemeja coklat muda dan bercelana coklat tua dengan mengibarkan bendera putih,
di belakang mereka berjalan perlahan mobil yang memuntahkan suara sirene
memekakan telinga. Terdengar suara lantang dari megaphone yang dijinjing
manusia yang berdiri di tengah.
“Hentikan,
hentikan semuanya saudaraku “
Satu dua bom
molotov berjatuhan tidak jauh dari kerumunan orang berbaju coklat itu.
Namun beberapa
saat kemudian suasana mencekam menjadi meluruh.
“Kami minta
saudara jangan menyerang kami, kami hanya mengajak saudara semua untuk
berunding. Majulah ke depanku siapa yang menjadi pemimpin kalian”
Untuk beberapa
saat hujan batu dan benda lainya berhenti, hanya teriakan dan pekikan memecah
atmosfir siang hari itu. Debu debupun kini mengendap di sembarang tempat dengan
tetap memasang telinga mereka. Debu debu jalanan kini mulai berdiri tegak lantaran telah
kembali lagi nyali mereka, yang sekian
lama terpagut prahara yang ditebar dua kelompok manusia.
“Lihat,
peperangan ini telah selesai” pekik salah satu debu.
“Belum tentu, mereka
tak segampang itu “ jawab debu lainnya.
“He,..darimana
kamu tahu ?”
“Aku lihat wajah
mereka masih merah merona” jawab debu
yang tadi.
“Ah, sudahlah
apa arti debu seperki kita yang terhempas kesana kemari tak punya daya” tutur
debu yang berada di tumpukan paling bawah.
Tak lama
kemudian semua debu debu jalanan yang mengusung seribu kebimbangan itu menjadi
terbungkam seribu kata, tatkala sekelompok manusia dari arah sebelah kiri jalan
mendatangi manusia manusia berseragam
coklat, seraya mengibaskan bendera putih. Namun debu debu itupun menjadi
tercengang tatkala pula menyaksikan
sekumpulan kepala manusia muncul dari balik barikade yang digelar di sebelah
kanan jalan. Mereka kini malah berdiri dengan sorot mata yang masih memendam
rasa amarah dan curiga kepada manusia manusia yang muncul dari sebrang jalan
mereka. Suasana kembali mencekam dan masih menghantui jalan kota yang meradang
bara permusuhan, terutama bagi debu debu yang memusari jalan itu.
Detik dan detik
terus berlari menembus atmosfer kota yang panas itu, sepanas dua kelompok
manusia yang kini berhadapan untuk saling mengumpat, memaki atau bahkan saling
menyalahkan tanpa adanya hasrat untuk bersama mencari titik temu, meski
matahari telah mulai condong ke barat. Biru langit mulai sedikit gelap, lampu lampu
kota telah mulai menyala di sepanjang jalan yang lengang bagai jalan kota mati.
Namun kedua kelompok itu masih terus menggulirkan nafsu amarah, meski semua
benda keras yang tergenggam di kedua tangan mereka telah mereka serahkan kepada
sang juru damai antara mereka. Namun entahlah, hanya matahari fajar esok hari
saja yang akan menjadi saksi esok pagi, apa mereka masih menyabung nyawa dengan
saudaranya sendiri ataukah mereka akan memulai kehidpan ini dengan damai, sedamai debu debu
jalanan yang sudah tak bertenaga lagi, lunglai dan nestapa di sepanjang jalan
mati itu***