Bersama sekumpulan burung merpati liar
merpati merpati liar itu ……
menukikan sorot mata, melipatkan
sayapnya
panas dan garangnya atmosfer tak lagi mengirim
seloroh
saat buaian panjang dari sisi
langit
sempat melebarkan sayapnya yang
berjanji takan mengoyak
sayap sayapnya yang ringan
berbalut nyanyian suka
lantas kegalauan sang bagaskara,
membuatnya lepuh semua sayapnya.
merpati di awal hari hari yang
digulirkan bumi,
tak lagi merengkuh keranjang
keranjang untuk menawan
angin tenggara, yang penuh rona
ayu
dan bergurat lukisan dewa dewi
dari negeri kahyangan
merpati membuang jauh jauh
keranjang hanya menepis terkaman
kemarau kering dari perjalanan
panjang
merpati menawarkan kicauan saat
dia merajang kasmaran
namun terdengar parau, bentangan
hidup di bumi
lebih beraut muka bengis dan
durjana ketimbang “solar flare”
merpatipun mengepak sayap,
namun hanya satu dua makna hidup
yang melintas
di benaknya yang berenda hitam
putih, kemunafikan di antara pelangi
yang membentang pada tebing
tebing menunduk wajahnya.
merpati tak tahu lagi garis
bujur
yang membedakan episode tentang
bumi ini, tapi terus lurus
menerjang batas yang dia tak
tahu artinya
merpati, menjadi tersudut dalam
ruang dan waktu bumi
jarum detik ikut menguliti semua
nanar matanya
rembulanpun hanya memberkasi
sinarnya di balik awan
merpati hanya ingin bernaung….
pada gelak tawa tak ada dusta di
pesta bulan purnama
seperti di Indrakila berhalaman
pagi bunga setaman
kala bening embun pagi, membagi
harinya
menyodorkan ssecangkir cinta
pada kekasihnya
namun hanya legam yang membalut
sayapnya,
merpati kini merentang sayap
terbang tinggi menuju istana di
balik awan
tak menyisakan lagi galau
(Semarang, 15 Mei 2012)
lantas
sebuah harap kau berikan
pada gugusan bintang gemintang
pada sekumpulan lampion kertas
warna warni ; menghantarkan
dirimu menuju “altar suci” untuk
sebuah ikrar; senja tak lagi merebah
menuangkan sisi hatinya pada
perahu layar; yang selalu mengencang
sorot matanya; ombak ombak
berdesis bisa
yang melumpuhkan lambung perahu;
kau jaga tautan perjalanan
pada empat penjuru langit, di
sana aku mengayuh angin
merapikan pematang sawah
kau masih menyisakan suara sayup
gamelan jawa yang memantul dari
sisi cakrawala tentang
tembang tembang kasmaran milik
penghuni di balik awan
awan putih bersih,
akupun hanya merasa sengau;
namun aku biarkan
semuanya bermatomorfosis dengan
ikatan bunga dan bulan
(Semarang 16 Mei 2012).
Supermoon Cinta
jangan kau tumpahkan tinta hidup
pada alunan warna warni pelangi
di belahan langit
tak pernah burung burung
menghardik
mega mega ceria di esok nanti,
kau berikan ruang hatimu dengan supermoon
hingga pelataran rumah masa
depan kau dan aku
berseri memetik sinar mentari,
pada uraian rambutmu,
supermoon
merebah, tentang kelembutan yang hidup
selama bumi berputar,
tak kan pernah usai bidadari
bernyanyi lagu merdu
kita menyisir malam demi malam…
hingga kau tautkan kereta
berkuda putih elok
bagaikan pangeran dari negeri
kaca,
aku harumi gaun malam dengan pernik pernik
yang melekat
kokoh dan memantulkan
sinar supermoonmu
dengan tujuh warna
kau degap
dengan derai senyum
aku suguhkan
dengan kereta biru senja
perlahan
menghempaskan liar degup jantung
ke atmosfer
malam, supermoon menyeringai….
kita tak
pernah kehilangan jarum waktu
meski menembus
kawanan mega hitam
atau
rengkuhan taupan bergigi tajam
kita terlepas dari rasa saling menyelinap…
kita bebas
liar memetik rambut malam
kita menukik
memungut nukilan hidup
atau kita
terbang bebas,
menjenguk supermoonmu
kita dalam
bebas….
Semarang 12 Mei
2012
Saat aku berulang tahun hari
ini
kau sajikan hidangan malam,
berdiri kokoh di pelataran
tempat harap bersanding
engkau telusuri getar dan denyut nadi,
sementara daun pandan di depan
rumah
menyimpan egonya dan meluruhkan semua
senyumnya
bintang menumpahkan salam,
rembulan menerpakan pandangnya
tak mampu lagi berkawan dengan
rasa cemburu
boulevardmu masih menyimpan bulir
bulir yang semi
di hati, nadi jantung dan rambut
hitamku
aku harumkan dalam keranjang
bulanku
sehingga kau mampu menerangi
malam ini
aku gapai tepi malam bergurat
mawar jingga
kau tangkap satu bintang
dan kau suguhkan pada halaman
depan boulevardmu
kau tesenyum,
aku menyelusuri bahumu
kau bagaikan bintang yang liar
akupu bulan yang meredup, karena
hypnotism
malam masih menghadang kita
selorohpun tehenti..sepi
(Semarang, 9 Mei 2012)
Malam sepi
malamku yang sepi ini
bagai malam milik sang pejaka,
kala menyelipkan kembang tujuh
warna,
pada daun telinga perawan desa,
yang bergelora dalam kelambu sutra
biru
bintang gemintang melentingkan
seluruh sinarnya
hingga hinggap di lazuardi bertatap
nakal
malam bertambah sepi…
ilalang bertambah merapat…
angin kemarau bertambah garang
berpusar menampakan tajamnya
gigi taring, wajah menyeringainya
membuang jauh jauh
semua babak manusia,
akupun bertambah berani…..
aku berkelana setiap sudut waktu
fajarpun hanya berhias senyum
bintang kejora
aku
kencangkan perahu malam, sang rembulan….
bertambah binar bedak gincunya
sesekali aku berikan bait prosa
tentang hidup, tentang drama dari
negeri kaca
untuk menjemputmu sang kekasih
kita dalam lakon di atas pohon
pisang
kala “blencong” kita punguti
sinarnya
kita kembalikan dalam realita
hidup,
kaulah sang lakon perjalanan
denting waktu
aku hanya diam dalam rajutan sutra
biru
aku berhias seribu bintang
(Di suatu malam 5 Mei 2012)
Kasihku
Terbanglah tinggi
menyusun awan,
aturlah nafasmu
agar langit tetap berlingkung
pagar rumah kita
halaman depan bersemi bunga
kau dalam gayutan
aku dalam senyum
(Di suatu malam 5 Mei 2012)