Kamis, 05 Agustus 2021

Heilda

Heilda terlihat asik menghabisan hari harinya seminggu ini, tak seperti biasanya dia ngeloyor pergi menjaring angin dan debu kotanya yang panas tertikam kemarau panjang. 

Kucing angora jantan tambun, berbulu hitam pekat, dengan warna bola mata kecoklatan, kini melipatkan sayap Heilda, sehingga dia hanya menyudut di kamar flamboyan pribadinya atau di sofa warna hijau lembut, untuk membelai jari jarinya di bulu hitam kucing kesayanganya itu. 

Kucing angora itupun semakin manja, di tengah pelukan cewek feminis dan gaul itu. Kucing angora itupun seakan akan tahu, bahwa cewek yang menimangnya benar benar menyayanginya, sehingga enggan baginya untuk berpisah barang sedetikpun.

***** 

Setiap Heilda berniat untuk meninggalkanya, kucing itupun mengeong manja sembari berputar putar menciumi kaki Heilda sambil sekali sekali melempar sorot matanya ke arah Heilda. Heildapun semakin gemas dan menyurutkan niatnya untuk gabung dengan sokib gaulnya yang biasa nongkrong di Russ ‘n Friend Band ’s Basecamp untuk mengasah vokalnya.
**** 
Bagi Heilda pertemuan dengan kucing angora seminggu yang lalu, adalah ibarat mendapatkan durian runtuh dari pohonya, tak terduga baginya saat hujan badai menyergap rumahnya. Heilda menemukan kucing angora hitam tambun yang mengeong kelaparan dan kedinginan di garase mobilnya, sepulang dari sekolah. Seketika itu kucing angora bakal teman barunya berhasil menyita perhatian Heilda karena lucunya. Heildapun tidak mau tahu dari mana dan milik siapa kucing lucu itu, apalagi kucing angora tak berkalung nama pemiliknya, yang jelas sekerat daging rebus yang dihangatkan olehnya berhasil membungkam celoteh kucing itu.
**** 
Rasa geli bercampur ceria, malah kini tersimpan dalam sudut jantung Heilda, karena kemanapun dia mengayunkan langkahnya, angora teman barunya terus membuntutinya. Hari itu adalah hari pertama bagi Heilda berteman dengan kucing angora di tidur siangnya. Kucing angora ikut terlelap menemani Heilda yang merajut mimpi di tengah hujan gerimis siang hari. Tanpa dia harus menelpon sokib sokibnya untuk sekedar chatting penghantar tidur siangnya, maka saat itu dia lebih baik mematikan Hpnya. 
*** 
Uring uringan memang semua sokib lengketnya, yang saban hari nempel Heilda hanya untuk sekedar happy saja, lantaran sudah hampir satu minggu ini Hp Heilda cuma molor saja. Tidak ada sms, apalagi calling. Russ si empunya band yang belum beken yang paling penasaran dengan Heilda yang hilang kaya ditelan bumi. Maka diapun langsung memberondongkan kata kata kesalnya, saat Heilda calling dia di suatu sore. 
“Mak lampir !, ke mana saja kamu, lagi bulan madu sama pacar barumu ya ?. Aduh Heilda sia sia saja aku latihan, nggak ada kamu yang ngisi vokal ! “ 
“Eh, Russ, sorry so much aku nggak ngikut latihan, anu...” “Ah ! , kamu pasti bingung nyari alasan, okelah kalau kamu nggak cocok dengan group ini, piss. Aku akan nyari vokalis lainnya.. !!!” “Ntar dulu Russ, aku belum selesai ngomong! , aku lagi fall in love dengan kucing angoraku, dia cantik sekali dan manja Russ “ nada suara Heilda merengek minta agar Russ mengerti alasanya. “Kucing ... !!!” seru Russ penasaran.. 

Heilda menjadi tak mengerti harus bagaimana dia menyakinkan dan membuat Russ, cowok ganteng pujaanya mengerti betapa dia ngebet sama kucing manja itu. Apalagi sudah lama memang adik adiknya menginginkan hadirnya kucing angora atau piaraan lainnya, yang dapat dijadikan teman mereka di rumah. Karuan saja minggu minggu ini rumah mereka menjadi hangat di tengah cuaca pancaroba.Tapi mengapa pula Heilda sampai melupakan group bandnya itu, hanya karena hadirnya kucing angora hitam mulus dan tambun, yang mengerti perasaan tuanya. Apakah ini masuk akal dan dapat di sadari Russ ?. Inilah yang membuat Heilda tersudut menanggapi sikap Russ, yang tidak mau mengerti dia. Bahkan kini giliran Russ yang sama sekali tak mau merespon calling atau sms Heilda, setelah mengalirnya sebuah sms terakhir dari Russ di tengah malam, yang isinya 

“ Hanya karena kucing..kamu melupakan aku dan group kita..Good Bye Heilda “. Heilda terasa ada kekuatan yang mendorong tubuhnyanya kebelakang, hingga dia terhuyung. Beruntung dia berdiri di sisi springbednya, sehingga dia tidak terjerambab ke lantai marmer. Heilda masih belum tahu bagaimana dia harus membalas smsnya Russ, meski Heilda tahu tanpa kehadiran Russ yang biasa lembut bersikap denganya, rasanya seperti kehilangan segalanya. 

Dalam kebimbangan itupun, Heilda teringat usul si bungsu Angie yang menyuruhnya mengup-load kucing angora itu ke facebook Angie dan diberi nama Black Diamond, pernah pula Angie menyuruhnya merekam dengan handcam saat mereka semua bercanda mesra denga Black Diamond dan meng up-load ke You Tube. Heildapun langsung berseri wajahnya, saat dia mulai merencanakan langkah itu dan di-share-kan ke twitter, FB Russ dan You Tube, lantas dia memberitahu via sms agar Russ lebih mengerti lagi. 

Terlebih lebih Russ bersedia lebih mengerti lagi bahwa Heilda hidup dengan dua adik kandungnya yang semuanya wanita. Apakah Russ masih menyimpan keras hatinya, menyaksikan tiga perempuan yang ceria bermain manja dengan Black Diamond, yang belum lama hadir di tengah mereka. *** Berkali kali Heilda, Angie dan Magie nonton tayangan You Tube saban harinya sepulang mereka dari sekolah, mereka bertiga semakin heran dengan ulah Black Diamond yang tidak seperti kucing lainnya. 

Tentunya kucing ini milik seseorang, tapi siapa pemiliknya ? tentu pula Black Diamond berharga mahal. Berkali kali pertanyaan itu silih berganti dilontarkan kepada masing masing saudara sekandung. Apalagi dengan pemberian nama Black Diamond yang keren itu, tentu saja banyak pemirsa You Tube yang terbius dengan ulah kucing angora milik mereka bertiga, termasuk juga Russ yang asyik menyaksikan tayangan You Tube tersebut. Terbukti dalam waktu hanya 1 minggu publik yang menyukai Black Diamond sudah mencapai hampir seribu. Russpun yakin, bahwa kucing angora itu pasti berharga mahal dan bukan milik orang sembarangan. 

“Heilda, ini aku Russ !” “Oh, Russ, kamu ganti nomor, ya ! “ “Iya, Heilda. Aku takut klo kamu nggak mau mengangkatnya ! “ “Kamu sudah tahu Black Diamond ?, gimana komen kamu ?” tanya Heilda dengan harapan agar Russ lebih mengerti tentang sikap dirinya. “Udah Heilda !, cuma apa belum ada orang yang menelponmu ?” “Emangnya kenapa ?” Heilda menjadi penasaran. “Ini bukan kucing angora sembarangan, ini pasti milik seorang yang melatih kucing kesayanganya itu. 

Cobalah kamu saksikan mana ada kucing yang bisa seperti itu. Tentunya pemilik kucing itu akan mencari sampai kapanpun “ “Lantas apa yang harus aku lakukan bila ketemu pemilik, diamondku sayang ?” 

“Ya kamu berikan saja, apabila dia bisa menunjukan bukti otentik. Kucing itukan bukan milik kamu! . Klo nggak bisa nunjukan bukti jangan kamu berikan !“ “Russ, kamu lihat kan , betapa adik adiku dan aku sungguh bahagia dengan kehadiran kucing lucu ini “. Heilda tetap tak mau mengendorkan niatnya agar Russ mengerti tentang dirinya dan tak lagi menjauh. “Aku mengerti Heilda, memang kamu sering bersikap seperti anak kecil dan kolokan, ya udahlah. 

Besok aku dengan gitar saja ke rumahmu, jadi band kita tidak terganggu lagi hanya karena kucing manismu “ “Trim ya Russ” *** Apa yang dibayangkan mereka bertiga, hari ini telah menjadi suatu realita. Saat sepasang suami istri yang tidak mereka kenal, tapi bertempat tinggal di blok sebelah mengunungi mereka di suatu sore. 

Mereka berdua mengaku bahwa kucing itu adalah milik mereka. Hilangnya kucing angora yang mereka beri nama Geronemo, adalah karena ada ulah pencuri yang berniat membawanya, tapi di tengah jalan 

Geronemo berhasil lari dari gendongan pencuri itu, yang tidak lain adalah sopirnya sendiri. “Maaf dari mana bapak tahu bahwa kucing ini milik bapak ?’ seru Heilda. “Dari You Tube mba Heilda sendiri, setelah kami amati, kucing Mba Heilda ternyata Geronemo “ “Maaf, pak , kalau cuma alasan itu, semua orang bisa mengakunya “ lengking Heilda merebak ke semua ruangan tamunya, karena kekesalan hatinya. “Mba Heilda , Geronemo aku beli saat masih kecil di Jakarta di agen pembiakan kucing angora unggul. Kami membawa sertifikat dari agenya, dengan tatto identitas bernomor 36 yang ditulis di telinga kiri sebelah dalam Geronemo.

 Cobalah Mba Heilda cek” Saat itu semua pipi adik adik Heilda menadi basah, karena sedih dengan perpisahan yang tidak lama lagi. Ternyata benar bahwa Black Diamond adalah Geronemo. Apalagi Geronemo terlihat agak marah bila digendong pemilik seenarnya. Karena dia lebih suka menjadi Black Diamond milik tiga saudara perempuan. Tapi tak ada yang mampu menghalangi niat pemilik Geronemo untuk membawanya pergi. 

Heilda hanya mampu menenangkan perasaan kdeua adiknya, karena Heilda tahu sesuatu yang berharga, apabila bukan milik kita, semuanya pun akan hilang dengan mudah. Heildapun terus memberikan senyum cerianya kepada kedua adiknya, dan terlebih lebih kepada Russ***

Hari Hari Sepi



Hari hari bagi Amelia adalah hari dalam kehidupanya. yang tak pernah dihiasi dengan hasrat untuk melangkah surut dalam hal apapun. Bagaikan angin kemarau yang melesat tak bisa dibendung sepanjang garis titian hidupnya, yang penuh dengan kesahajaan dan kegigihan bersama dengan bapa dan emaknya dalam mengayuh biduk kehidupan mereka. 

Meski Amelia dan keluarganya, hanya bersandar pada biduk yang lapuk dengan layar yang bertebar sayatan koyak, lantaran tertikam ganas dan kejinya kehidupan ini. Amelia tumbuh menjadi remaja yang lebih sahaja dibanding ABG lainnya di sekolah tempat dia seriusmenuntut ilmu. 

Amelia tidak pernah mengenal manis manja dan ceria seperti anak pejabat atau saudagar kaya dengan rengkuhan materi yang berkecukupan. Sehingga mereka seperti kupu kupu kertas warna warni,yang lepas bebas terbang ke tiap penjuru langit, saat hujan menghadang mereka, maka luruhlah kedua sayap yang tak seberapa kokohnya. 

 Padahal Amelia saat fajar merekah, dia sudah sibuk membantu emaknya untuk belanja sayur ke pasar pagi, untuk sekedar menyambung separo nafasnya. Dia rela bergumul dengan kabut pagi yang dingin, debu pasar yang berceria ditiup angin gunung atau peluh emak emak tua yang berebut mendapatkan sayur sayuran yang masih segar. 

Meski kadang disertai rasa kantuk, lantara Amelia sering sampai larut malam membantu emaknya di warung nasi depan rumahnya. Sementara adik adiknya sudah mendengkur menguntai mimpi indah,tak peduli emak dan kakak sulungnya, mengais sesuap dua suap nafkah. Itulah Amelia, dia harus menikam bisu hari hari indahnya sebagai ABG yang sebenarnya berwajah cantik, berkulit kuning. Apalagi bila dia berdandan seperti ABG lainnya,bercelana jeans ketat, kaos T shirt yang keren dan asesoris gaul lainnya.

Maka tampaklah selibritis yang siap bercasting di depan kamera tv swasta, setiap liuk tubuhnya yang sintal menggeliat seperti ular kobra, maka sorot mata cowok cowok jalangpun akan terus membidiknya. Maka wajar saja, bila setiap sekolahnya mengadakan perhelatan seni Amelia selalu menjadi bidikan sokib sokibnya untuk mencurahkan multitalentanya. Meski dengan sorot matanya yang sedingin salju lantaran kehidupanya yang mengalami keterpurukan, kadang kadang juga liar dan tajam pertanda dari dalam dirinya terpendam potensi sebagai ABG multitalenta. 
 *** 
 “Kau tidak pernah sedikitpun memberi aku harapan,Amel ?” bisik Rudy yang sedari pagi terus menempel Amelia, yang berpakaian seragam sudah agak kusam, karena lamaAmelia tidak mampu membeli yang baru. Amelia hanya tersenyum tipis dan tetap saja dia menyimpan salju di kedua sorot matanya. Rudypun terus saja hingga hari ini masih menyimpan sejuta penasaran, andaikan cewek ini mampu berbinar seperti ABG lainnya yang ceria, maka tidak ada perbedaan antara selebritis dengan Amelia seberkas benangpun. 

Namun Amelia hanya “keeping silent”, tanpa memandang serius apa yang selalu dia curahkan kepada dia. “Kau tak keberatan kan ?,bila aku selalu memintamu untuk menjawab ?” “Rudy ?, apa sih beratnya menjawab apa yang kamu pinta !. Tapi Rud !, aku bukan cewek seperti itu.Kehidupanku dan emak memang lagi terpuruk, bapak jarang pulang karena banyak mengejar borongan di Jakarta, aku nggak bisa sekolah dan berpacaran seperti cewek lainnya. 

Maafkan aku Rud !” Amelia tetap saja menyedot es jeruknya di kantin, di tengah klasmeeting sehabis UTS.Kedua sorot matanya,hanya asik menelisik larinya air jeruk yang turun naik sepanjang sedotan. Namun justru Rudi semakin dibuat ngap ngapan dengan ulah dingin “The Ice Girl”, yang terbujur bisu di depannya. “Tapi kau kan jomblo,Amel ?” 

 “Ya, tepatnya The Silent Jomblo !, tapi itulah aku Rud !, aku nggak peduli. Aku nggak mau setiap sokibku ikut larut dalam penderitaanku. Aku terbiasa hidup gigih di tengah turun naiknya kehidupanku. Aku dhdapkan dengan bagaimana aku dapat membantu emak dan bapaku yang setengah mati menggayutkan hidup ini. 

Kau tidak biasa dengan keadaan seperti ini,kan Rud !. Kasihanilah diri kamu sendiri, Ru!” hanya sekali ini dia mendengar suara Amelia yang nyaring, dengan mata yang datar namun siap menundukan hati siapa saja yang ada di depanya. Rudipun hanya sekilas menguliti perjalanan hidupnya, yang diseputari materi yang berlimpah. Mobil hiam mulus dari negeri Eropa selalu mengantarkan dia kemanapun pergi, doku yang diberikan mama papanya selau ludes untuk terbang dari cakrawala manja tawa satu ke lainnya. Apapun mampu dia beli, namun membeli sberkas cinta dari Amelia, ternyata dia tidak mampu sama sekali. 

 “Aku siap menerimamu apa adanya !” “Jangan konyol, Rud !, kamu tidak akan mampu berbuat apapun menghadapi peliknya hidup ini. Kau hanya menuruti emosi hati saja. Sudahlah Rud !, apa salahnya sih !, kalau kita hanya berteman saja !, piss !” kali ini sebuah senyuman tipis menghiasi wajah putih alami Amelia. Tapi bagi Rudy sebuah sayatan luka dihatinya mulai terasa pedih. Tidak ada satupun tebing yang kokoh yang mampu dijadikan curahan hatinya. Mama papanya apalagi, mereka hanya sibuk memutarkan bermilyar milyar uangnya demi sebuah kehidupan sang pemuja harta yang glamour. Sokib sokib yang selalu memusarinyapun tak akan mampu mencarikan kiat untuk bisa mendapatkan ABG yang cantik, flamboyan dan sahaja ini. 

Ruypun hanya mampu menyobek selembar kertas dari bukunya untuk sekedar menuangkan gejolak hatinya yang sedang dijauhi dewi asmara. Hanya itu yang mampu diperbuat Rudy, sementara Amelia hanya asik mencari uang recehan yang tersebar di kantong bajunya, untuk membayar es jeruknya itu. “Amel!, bacalah puisiku !, inilah gambaran hatiku, “ Amelia mampukah kau sejenak melepas.... tiap bilah guratan pedih yang menikam halaman hatimu lantas kau ulurkan kelopak mawar menembus batas langit dengan warna merah jingga, akupun mampu membentangkan rindu, kau mlempar senyum yang mampu meuntuhkan puncak Mount Everest kita bermandi di buih putih laut biru aku dalam tabir cinta, kau bersamaku menghitung hari....

Rudy “Apa artinya ini semua Rud ?” geliat tubuh Amelia, yang tadinya terbujur bisu kini nampak saat kedua tanganya membaca puisi Rudy, namun sorot mata The Silent Jomblo masih saja sedingin es. “Sebuah penantian, Amel !, tetang kau, tentang isi hati ini” Tangan kanan Rudy terus saja menempel pada dadanya sendiri. “So sorry !, Rud, puisimu tak berarti apa apa bagiku, maafkan aku ya Rud !”
 ***
 “Bapak !” 
“Amel, anaku !” sebuah pelukan luapan kangen antara bapak dan putri sulungnya mengharukan pertemuan mereka di tengah malam, saat bapak Amelia tiba kembali di tengah mereka setelah 6 bulan mereka berpisah. 

Demikian sibuknya hingga Sanoso si tukang batu baru bisa kembali dari Jakarta. Lelaki setengah baya itu, sudah kelihatan tua dibanding dengan umurnya, lantaran dia hanya sebagai pekerja kasar yang memaksakan diri demi menghidupi anak istrinya. “Bapak !, Amel minta bapak tidak usah ke Jakarta lagi. Warung kita sudah mampu menghidupi kita semua” “Tapi kamu harus kuliah, Amel !,kamu harus bisa maju, tidak harus terus menerus di warung” “Itu gampang, pak !, yang penting kita bisa berkumpul lagi, itu sudah cukup bagi Amel “ “Tapi, siapa pacar kamu, Amel ?” “Amel belum memikirkan itu, Pak !, meskipun sudah banyak cowok yang mendekati aku “ 

“Jangan begitu Amel, keadaan kita ini adalah semua salah bapak !, kamu tidak boleh ikut menderita. Biarlah semua menjadi tanggung jawab bapak. Seandainya kamu mencintai pria yang kamu pilih, janganlah kau bunuh perasaanmu sendiri. Asal kamu mampu menjaga diri. Kamu kan sudah lulus SMA, kamu harus ceria sama seperti wanita lainnya 

“. Amelia hanya tertunduk malu, dalam dirinya kini mulai terasa getaran aneh yang kemudian merambat ke semua sendi tulangnya. Sorot matanya kini mulai hidup, entahlah apa yang akan dilakukan oleh cewek ABG k ini***

Elsa

Aku perhatikan semakin ganjen saja Elsa bertingkah di depan cowok-cowok gaulnya, berpose layaknya artis sinetron menambah dunia dan seisinya maunya runtuh. 

 Apalagi bila dia melempar sedikit senyum tipis, jantung yang aku tanam dalam dada ini semakin menderu, menyuruhku untuk segera memiliki kembang mekar ini. Guratan wajah Elsapun makin jelas saja tergambar di halaman kalbuku. 

 Namun dia tetap saja Elsa, meski hati yang aku miliki tetap saja memberontak, untuk segera menikam keangkuhannya. Ataukah hanya gaya hidup Elsa saja yang selangit, yang masih asing bagiku, yang bertolak belakang dengan gaya hidup aku yang dari kota kecil. Sejauh kalbu ini merenung, akupun masih ingat betul teori Pak Burhan, dosen Pengantar Ekonomi yang suka bicara dari hati ke hati dengan semua mahasiswanya,
 “Gaya hidup modern bukannya berasal dari kota atau kampung, kaya atau miskin, tapi dari pola pikir intelektual. 

Kamu kamu semua kan komunitas intelektual. Apa nggak ada menteri lahir dari desa, hampir semua petinggi negara lahir di desa”. Sebuah kekuatan baru mulai tertetes di sanubariku yang mengering dikungkung kurangnya pd. Sesaat semua mahasiswa bersorak ceria, mirip anak TK, kala diumumukan bahwa Pak Hardiman dosen statistik tidak hadir pada sore kali ini. Sementara Elsa di tengah keceriaannya terus saja didekati sama cowok cowok beken kampus, yang nota bene bertampang gaul, gedongan dan difasilitasi mobil untuk kuliah. 

Sedangkan aku hanya ingat pesan emak, tiap aku mau berangkat ke Jakarta, setelah mudik di Purwokerto, untuk tekun belajar sehingga bisa meraih sarjana ekonomi dan dapat kerjaan yang mapan, untuk membantu studi adiku-adiku. Akupun menyadari semua itu, namun tetap saja hati, yang menggelindingkan ego yang tak tentu arahnya, menjerit untuk tetap memiliki Elsa. 

Meski hanya selintas beberapa saat hasrat itu menderu, karena aku tahu bahwa Elsa sebenarnya adalah mahasiswi yang santun, baik dan tekun belajar. Hanya aku saja yang tak mampu mendekati. Semester demi semester aku selesaikan dengan prestasi nilai yang baik, karena tekun dan aktifnya aku belajar, emakpun bertambah senang. 

Namun semakin pula aku kehilangan akal untuk mendekati Elsa, yang tambah seronok dan menorehkan bunga kampus di tengah cowok yang berlabel high-class, hampir tiap hari setelah selesai kuliah Elsa tak ubahnya piala bergilir bagi temen-temenku, yang menyodorkan mobil mewah dan doku sekedar mejeng sepanjang warna warni lampu kota Jakarta. 

Akupun menjerit pilu, semoga gadis baik dan santun itu segera mengukuhkan hatinya agar mampu membawa diri di tengah pergaulan kumbang kumbang kampus yang haus akan madu. Apakah dengan cara begini Elsa akan menemukan diri dan segera menjadi cewek dewasa, selalu saja kata hai seperti itu terselip dalam lubuk hatiku, ataukah karena aku saja yang tidak mampu membuat egonya Elsa menjadi runtuh. 

Namun tetap saja Elsa tidak mampu mengendalikan diri dan kehormatannya, bahkan sekarang menjadi buah bibir kampus, bahwa harga diri Elsa hanyalah sebatas mobil mewah dan pub bahkan hotel berbintang untuk bermalam beberapa hari. Pada siapa lagi aku harus berontak, meski amarahku telah menyetuh ujung kepala dan menyumbat tenggorokanku, namun kemana kepalan tangan aku tujukan. Akupun mulai menelisik tentang Elsa, lewat Ivan yang hanya sekedar kenal saja meski telah menjadi temen kuliahku selama 4 tahun. “Gokil mau apa kamu nanya tentang Elsa, apa mau booking. Ah kamu belajar saja yang rajin, biar jadi menteri” 
“Nggak gitu Van, Elsa kan orangnya baikan sama aku, aku hanya kasihan, dia sekarang jarang aktif di kampus” 
“Eh Rudi, kalau kamu kasihan sama Elsa, kamu nggak bakal mampu dekat dengannya, lagian Elsa nggak pernah tuh crita tentang kamu” “Jelas dia nggak bakalan crita tentang aku, karena aku sama dia nggak ada apa-apa”
 “Ya udah, ngapain kamu kasihan dan pake tanya-tanya segala !” “Jangan gitu Van, aku memang anak katro, bukan gedongan kaya kamu, tapi aku juga temen Elsa, aku berhak tahu, karena dia dulu di semester satu dan dua, satu kelompok belajar sama aku. Toh dia nggak nolak buatin tugas-tugas dosen, bahkan dia yang sering nolong aku” “Terus kamu mau nanyain apa?” “Cuma sekarang dia kok jarang di kampus, ada apa? “
 “Kamu kangen ya, udah deh nggak bakalan kamu bisa ndapetin dia, Tanya saja langsung sama Elsa, habis perkara !” 
“Ya udahlah Van, terserah kamu mau ngomong apa” “Ya udah sana pergi,”Pantas saja Elsa terasa bukan Elsa yang dulu, karena gaul dengan cowok gedongan yang angkuh. Mudah-mudahan aku bisa merubahnya dan menyadarkan, karena Elsapun bisa menjadi Elsa yang baik seperti dulu, bila ada cowok yang mampu menjadi curhat hatinya. Aku semakin yakin kalau aku bakal meruntuhkan kebinalan hatinya. Toh aku tidak lama lagi lulus dari kampus ini, sementara Elsa masih memiliki mata kuliah yang belum lulus, semoga waktu yang sempit ini bisa aku manfaatkan untuk mengembalikan Elsa yang ingin aku miliki, demikian kata hatiku terus saja membara di tengah jantung hatiku. Sore hari Jakarta diguyur gerimis sejak pagi, maka tak biasanya kota besar ini menjadi agak lengang. Mungkin sebagian besar warganya memilihj untuk tinggal di rumah ketimbang menghabiskan hari Minggu harus menembus dinginya gerimis ini. 

Hanya aku saja yang memang memiliki tekad untuk meluncur ke tempat kos Elsa, semoga saja dia belum mudik ke Bandung. Pintu kamarnya belum tertutup rapat, sehingga aku tidak repot repot untuk mengetuknya, sementara dari dalam kamarnya aku dengar senandung kecil yang dinyanyikan Elsa sempat membuat aku tak kuasa melangkah lebih dekat lagi kea rah pintu kamarnya. Beruntung Elsa telah mengetahui kedatanganku, Elsa menyambutnya dengan roman muka kaget dan masam, lantaran hanya aku yang datang. Pipinya memerah, sorot matanya tidak berani lagi memandangiku. Hanya sebuah ucapan kecil saja yang dia ucapkan, yang menyuruhku duduk di ruang tamu. “Kamu nggak mudik, Rud”

 “Ah enggak, aku mau nyiapin ujian srkipsi minggu depan “ “Selamat ya Rud, kamu hampir lulus, moga-moga aja berhasil” “Ya harapan ortuku di kampung kaya gitu” “Kok kaya dikejar hantu aja, kamu hujan- hujan gini meluncur ke sini, Rud” 

“Kamu masih nyimpen file tugas kelompok kita yang dulu enggak, Els!, aku lupa naruh dimana. Lu kan dulu rajin ngeprint. Kalau bisa aku pinjam filenya” 
“Nggak tahu di mana Rud, aku nggak pernah lagi punya file-file kaya gitu” 
“Di komputermu ?” “Entah Rud, aku jarang buka laptopku?” 
“Tapi ada kan?, coba kamu buka ?” “Nggak tahu , Rina,,dah beberapa bulan ini pinjem laptopku, coba dong di laptopmu ?”
 “Aku nggak punya laptop, aku pinjam kampus kalau butuh computer?” “Maafin ya Rud, kamu jauh-jauh ke sini nggak bawa hasil”
 “Kamu nggak punya salah kok Els, aku masih punya buku di rumah” “Oh ya kamu mau minum apa?” “Kok repo-repot , nggak usahlah aku cuma sebentar, Kamu masih baikan sama aku ya Els, kok kamu jarang datang ke kampus lagi” “Nggak tahu tuh Rud, aku sekarang malas untuk kuliah” “Ah kamu bohong sama aku, aku yakin lantaran kamu sekarang banyak bergaul dengan temen-temen gedongan yang norak itu, kan ?”

 “Apa aku salah bergaul dengan mereka Rud” “Kamu udah tahu jawabanmu dari dalam hatimu sendiri, maafin aku Els, aku nggak mau nyampuri privasimu, tapi aku cuma kasihan melihatmu” “Emangnya ada apa denganku, Rud !, aku baik baik saja kok Rud” 
“Ya sukurlah kalau kamu baik-baik saja, makanya paling tidak kamu bisa wisuda bareng aku, kalau kamu serius belajar. Aku Cuma menyayangkan lho Els, dulu kamu satu kelompok belajar denganku. Di perpustakaan kamu paling aktif, sampai nilaimu lebih baik dari aku. Aku mengakui kamu lebih segalanya dibanding temen cewek lainnya, tapi sekarang kamu kedodoran. Maafin aku ya Els, ini hanya sekedar saran dari temen kamu” 

“Ah nggak apa-apa Rud, aku nggak marah. Sebenarnya aku juga sering ditanya papa dan mama, kapan aku wisuda, tapi karena aku punya kesibukan lain” “Yah orang memang punya kesibukan sendiri-sendiri Els, aku juga nggak nyalahin sama kamu. Udahlah Els, aku tak pulang dulu” “Kamu punya acara penting kok buru-buru !”

 “Nggak,, aku Cuma mau pinjam tugas kita yang dulu dan aku Cuma pengin nulung kamu, kalau bisa kita wisuda bareng sama seperti kita dulu d perpus aktif bareng” “Ya tunggu sebentar to Rud, aku pengin curhat sama kamu, siapa lagi temenku yang peduli sama aku” “Tapi kamu banyak acara kan?” “Ya banyak” “Itulah yang aku takuti Els, aku takut ngganggu acara kamu” “Kamu mau kan ngantar aku jalan jalan hari ini ke mana aja. Please Rud !” 

“Aku nggak bawa kendaraan, Els, aku naik bis kota tadi “ “Pakai motor aku aja, kita pergi entah kemana terserah kamu aja” “Kok tumben, apa something wrong Els” “Yah begitulah, Rud. Aku mulai panik, temen-temenku udah mau wisuda, padahal, kreditku masih banyak yang belum aku selesaikan” “Nah itu baru Elsa, yooo kita berangkat” Aku cuma menuruti selera Elsa saja kala dia minta kita ngobrol di rumah makan khusus bakso kesukaan dia, tempatnya sungguh romantis. Cocok buat curhat si Kembang Wangi tambatan hatiku, yang selama ini aku hanya bertemu dengan Elsa di episode mimpi hidupku. Aku tahu pasti, bahwa Elsa adalah bunga layu, yang telah direguk sari madunya oleh banyak kumbang liar. 

Namun Elsa tetap elsa, aku tidak perduli apapun keadaanya. Karena dia juga manusia, toh yang penting dia mau menyadari masa lalunya dan masih memiliki niatan yang baik untuk menggapai masa depan dia entah dengan siapa dia melangkah. Sepatah demi sepatah kata curhat dari mulut Elsa mengalir bagitu saja, tapi aku sama sekali tidak mendengarkan, karena aku tahu semua sebelumnya, dan menyadari semua penderitaan hatinya. Hanyalah harapan yang begitu besar untuk memiliki yang membuat Elsa tanpa sedikitpun noda di depanku. 

“Mungkin saja kamu muak mendengar curhatku,,,atau kamu telah mendengar tentang aku dari temen temen kampus, Rud” “Nggak tahu Elsa, bagiku kamu curhat apa nggak itu sama aja” “Maksu kamu” “Kamu masih tetap Elsa yang dulu, temenku yang sering nulungku, kamu sering ngeprinkan tugas untuk aku dan banyak kebaikan lainnya, karena aku nggak punya computer, karena aku mahasiswa dekil dari udik yang nggak punya apa-apa, kamulah yang paling tahu keadaan ini. Sekarang kalau kamu seperti ini, akupun tidak memandang lain tentang kamu” 



“Ah yang bener aja Rud, jarang aku temui pria seprtimu, aku kehilangan kau Rud, kalau kau wisuda dan kembali ke Purwokerto “ Elsa menyampaikan kepediahan hatinya sembari bergayut di pundaku. “Tapi masih ada yang kurang Els” “Apa itu Rud” 

“Kamu nggak bisa aku miliki, nggak mungkin kamu mau dengan cowok dekil kaya gini” Elsapun hanya meredupkan matanya, wajahnya disodorkan di hadapakanku, dan sebuah ciuman kecil aku dapatkan. Mesti selintas namun berarti bagiku, inilah Elsa yang bertahun aku dambakan. Aku bisikan ke telinganya “ Els, aku sayang….Belum sempat aku selesaikan, Elsapun membalasnya dengan ciuman yang lebih bergairah.