Kamis, 05 Agustus 2021

ARINI

Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. 

Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?. 

Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku. 

”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku.. 
“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. 

Betapa aku tidak mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas pnggang. Namun dibalik keindahan wajahnya, tersembunyi hati yang keras sekeras batu karang di lautan. 

 “Mengapa, apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu. Aku manusia biasa lho Rin, apalah artinya Septian ? 
“ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan ketidaktahuanku. 
“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! 
“. Sekali lagi aku coba, mungkin ini kata-kataku yang terakhir kali. ”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
 ”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku disampingmu ”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” . 

 Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut. Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu akupun melangkah pergi, sempat mungkin yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini. 

 Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini. Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu menundukan kehidupan ini, akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan.
 
 Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . 

Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini demi kebahagiaan Arini. Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku terima. 
Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun dibalik itu semua tersimpan hikmah yang begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri ini. Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti bulan dan datanglah waktu hampir satu tahun . 
Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang sebuah kata maaf yang dia tulis dari rumah sakit. Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras.
 Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama kali masuk SMA. Kini dia terbaring lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi. Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini hanyalah tatapan kosong untuk menerima kenyataan ini.
 Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini. 
 ” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . 
 Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata. ”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup Arini ”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa membesarkan hatinya. ”Aku tidak pernah merasakan perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ” ” Benar, Yan ” ” Sungguh ” ” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ” ” Tapi keadaanku begini, Yan ” ”Tapi, kau tetap Arini ” ” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta perpisahan ini, 
Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ” 
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita tentunya masih bisa berbuat salah ” ” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !, aku minta kau menungguiku ” ” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ” Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. 

Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali. ” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati. ” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”. Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan pertanda bahwa operasi berlangsung. Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.

 Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang hidupku hampir tak berujung

Bagas

Hampir 5 tahun ini Bagas belum pernah melihat wajah Bella yang kini entah kemana. Sejak perpisahan mereka di awal tahun 2009 , keduanya nggak pernah facebookan bareng, apalagi untuk jumpa. 

 Meski mereka berdua pernah menorehkan berkas cinta yang berbungkus keindahan . Namun mereka ternyata belum mampu untuk meletakan egonya di hati masing masing. Karena itu diantara mereka berdua hanya ada saling benci. 

Maka keduanyapun memilih untuk saling berpisah. Namun bagi Bagas perpisahannya dengan Bella mungkin sebuah jalan yang terbaik ketimbang mereka berdua terus berantem nggak pernah ada ujungnya.

 Namun heran juga buat Bagas, selama lima tahun dia dekat cewek sana sini, selalu saja dia gagal di tengah jalan. Selalu saja ada alasan bagi dia dan ceweknya untuk membenahi jalan hidup mereka masing-masing. Tapi lepas dari itu semua Bagas kini bukan Bagas yang dulu, lantaran dari banyaknya menghadapi cewek yang ego, kematangan pribadinya udah mulai tumbuh. Suatu senja di Bulan April 2010, 

 Bagas mencoba untuk tetap setia sama sohib kentalnya Fikqi , dengan mememenui undangan ultahnya yang ke – 25. Meski mereka berdua udah nggak bareng lagi d bangku SMA, namun itu nggak membuat mereka saling melupakan. 

 “Oke deh Fic, aku Cuma bisa ngucapin met ulang tahun, semoga lu nggak sableng lagi kaya dulu dulu lagi“ . Bagas segera mengulurkan tangan persahabatan, dan Fikqipun membalas dengan pelukan haru. Lantara dari seabreg sohib yang dimilinya, hanya Bagaslah yang paling tahu tentang dia, Bagas pula tempat dia curhat bila punya nganjalan hati. 

 ”Trims ya friend, aku lihat lu tambah dewasa aja ”. Sahut Fikqi sambil melepaskan pelukannya terhadap Bagas., namun tangannya masih saja bergayut di pinggang Bagas, seraya menariknya ke meja perjamuan yang udah siap berbagai macam food and softdrink. 
 ”He, Gas lu lihat nggak Bella ? ” tanya Fikqi ”Bella !....kok bisa dia datang di sini. Emangnya lu undang. ?. Ah dimana dia. Aku Cuma pengin denger kabarnya ”
 ”Tuh di ruang dalam. Dia tadi lagi asyik ngobrol ama temen-temennya. Aku nggak ngundang dia, tapi dia tahu dari Kak Sylvie kalau hari ini aku ultah.
 
 Dia kan kini banyak main bareng ama Kak Sylvie 
 ” Bagaspun segera meluncur ke ruang dalam, tak lama kemudian dua matapun sesaat saling bertemu. Bella kamu tambah cantik dan anggun aja. Tambah caem dan mempesona penampilanmu, apa lantaran aku banyak memandangimu dengan kebencianku dulu. Karena kamu selalu berbeda pendapat denganku. Sehinnga dulu hanya ada rasa benci. 

Demikian bisik hati Bagas yang tambah menguat menggumpal di sudut hatinya. Apalagi setelah dia melihat senyum manis dari Isabella Marciana yang sempat dulu merobohkan jantungnya. Namun cinta adalah sekumpulan prosa keindahan yang penuh warna. Serasa tidak ada keindahan lain selain merengkuh apa yang namanya cinta. 

Kebencian yang begitu dalam seakan akan hanya timbul karena rasa cinta itu sendiri. Untuk itu agar cinta tetap bersemi di benak manusia, kita harus pandai menyimpan kebencian itu rapat-rapat di relung hati ini.Bagaspun menyadari akan hal itu, namun entah apa yang ada dsuduthati Bella Bagaspun tidak tahu. 

Hanya saja saat pertemuan ini di rumah Fikqi, Bagaspun merasakan ada segumpal perasaan aneh yang menguliti hatinya , bahkan tenggorokan yang tadi dibasahi softdrink kini mengering kembali. Demikian juga Bella yang memberikan senyuman manis dengan pipi yang merona dan sorot tatapan mata yang menyimpan sesuatu. Entah ada perasaan bagaimana antara mereka berdua, yang pasti sepertnya mereka telah tahu isi hati masing-masing, Bellapun segera menarik tangan Bagas untuk duduk berdua mengambil tempat di beranda rumah Fikqi, seperti dulu mereka pernah curhat satu sama lain.

 Barangkali saja kursi itu akan menjadi saksi lagi, tentang dua hati yang sama sama hampa hatinya.
”Kamu tega !, lama nggak ngasih kabar sama aku, Gas ! ”
 ”Emang aku udah lama di Jakarta, tapi aku sekarang balik ke Semarang lagi, Aku sekarang kerja di konsultan bareng sama Mba Sylvie kakaknya Ficki. Aku tahu ultah Fikqi dari Mba Sylvie ” 
 ”Ah...ya udah yang penting kabar kamu baik – baik aja, Seneng dong Bell kamu bisa kerja sekarang. Selamat ya.. .! ” 
”Makasih Gas, kamu sendiri sekarang kerja di mana ? ”

 ”Ngaak tahu Bel, aku bulan kemarin emang diwisuda lulus dari Arsitek Unika. Tapi aku belum dapat job yang cocok. Doa, in aku dong Bel. Biar cepet dapat kerja ” 
Hanya senyuman manis yang menghias wajah yang jelita dan menawan itu. Sekali sekali Bella menggapai tangan Bagas, lantaran mungkin menyimpan seabreg rasa rindu yang menggrogoti bilik jantungnya. Namun Bellapun tahu, bahwa Bagas sekarang udah bukan miliknya lagi, demikian juga dirinya . Meski silih berganti cowok ganteng yang pernah singgah di hatinya, Namun tidak ada yang seindah kehadiran Bagas di hatinya dulu. 

”Aku juga denger dari Mba Sylvi e kalau kamu bulan kemarin wisuda ” ” Kok kamu juga nggak ngasih ucapan selamat ” ”Aku takut kalau Rossi cemburu. Aku denger juga kau dulu bareng ama Rossi” ”Rossi sekaranmg udah marriage dengan Anton dan kini udah hidup bahagia di Bandung. Itulah kehidupan Bell, selalu saja ada pertemuan dan perpisahan. kamu sendiri gimana . aku dulu sempat denger dari temenmu kalau kamu mau marriage ?. Aku tunggu undanganmu Bel !. 
 ”Itulah masalahnya Gas, maka aku nggak mau bareng Papa dan Mama di Jakarta. Aku lebih memilih di Semarang. Aku baru balik ke Jakarta kalau aku udah marriage ’
 ” Emangnya ada apa ? ”
 ”Papa dan Mama orangnya kolot, aku dianggapnya Siti Nurbaya yang seenaknya saja dijodohin sama temen bisnis Papa yang kaya raya. Dia sering menolong Papa kalau lagi ada masalah bisnisnya. Nama Om Chandra dan dia seorang duda beranak dua. Aku belum siap dan lagian aku masih pengin bebas sendiri ” 

”Ah masa papa seperti itu Bell, padahal dulu aku kenal papamu adalah ortu yang baik ” ”Seperti yang kamu bilang tadi, itulah kehidupan. Manusia bisa saja berbuat apa saja untuk menuruti egonya ” ” Sekarang kamu tinggal dimana ”
 ”Ya masih di rumah papi dulu, kamu enggak pernah mampir kan. Sepertinya kamu sengaja menghindariku ” ”Ah sama aja kamu Bel !, aku yakin kamu pasti juga punya niat nggak akan pernah ketemu aku lagi.

 Sepertinya aku juga sengaja ingin melupakan perpisahan dengan kamu dulu. Lama memang aku enggak ngasih kabar ama kamu lantaran aku pengin melupakan kamu” ” Jadi kamu menyesal kalau sekarang ketemu aku, maafin aku ya Gas ”. 
 Bagas menjadi tak tahu harus menjawab apa, karena selama lima tahun berpisah dengan Bella, malah bertambah menumpuk rasa rindunya. Meski niatan dia untuk melupakan Bella sungguh kuat sekali. Bahkan rasa rindunya itu enggak bisa hilang meski telah silih berganti cewek yang ada di sampingnya termasuk juga Rossi. 

” Ah... kau tambah cantik Bel dan pula tambah dewasa, enggak seperti dulu lagi ”Bella hanya menundukan wajahnya, matanya kini mulai berkaca-kaca, sebentar-sebentar dia menadahkan wajahnya untuk memberi senyuman mesranya kepada Bagas. Bagaspun menjadi penasaran tentang sikap Bella. ” Maafin aku ya Bell, malam ini aku janji nggak akan nyakiti kamu lagi, anggak seperti dulu dulu lagi ”

 ” Nggak Gas, kamu enggak nyakiti aku. Aku hanya haru, udah lama aku nggak denger kata kata itu lagi ! ”. 
” Udah malam Bel, yuuk aku antar kamu pulang ” Bella hanya memberi anggukan kecil, kini kedua remajapun saling bergandengan tangan untuk menuju ke ruang tengah guna berpamitan . 

 Sekali sekali Bagas memberi ciuman mesra pada cewek pujaannya itu dan Bellapun membalasnya dengan pelukan yang lembut, sepertinya suatu pertanda dia tidak mau kehilangan Bagas lagi. Malam itu telah menjadi saksi dua hati yang lama berpisah, dan mengering di kesunyian kini menambatkan hatinya kemba

Bu Guruku


Entah apa sebabnya aku begini ???? ” berkali kali, entah sudah berpuluh kali pertanyaan itu selalu menggelitik hati Anisah.

 Bukan tentang hadirnya sang doi di hatinya, atau sorot mata Ikang yang selalu dihujamkan padanya, tiap mereka berdua bertemu di setiap sudut sekolah itu. 

 Atau bukan pula tentang beberapa teman cewek sekelasnya yang selalu melipat bibir mereka sendiri karena cemburu bila menyaksikan setiap langkah Anisah. 

Tetapi selalu saja pertanyaan itu timbul bila dia berhadapan dengan Ibu Hamidah yang selalu menuliskan angka di papan whiteboard di pelajaran matematika yang paling dia benci. Angka angka dan serangkaian huruf capital atau hiruf kecil terus saja memenuhi whiteboard di depanya, yang semakin membuat ubun ubun Anisah seakan mau pecah. 

 Apalagi bila angka-angka itu saling membagi atau mengalikan bersama dengan serangkaian huruf kecil atau capital. Apalagi bila sang guru manis berambut panjang itu, berteriak melengking, besorot mata tajam seakan melihat hantu di sudut kelas, sambil memukul-mukulkan penghapus pada papan whiteboard, Bu Hamidahpun kerap berteriak “ Ini bahan ajar untuk UN, kalian harus mencermati materi ini. 

Kalau tidak bisa gimana kamu mau lulus ?. Padahal UN sudah dekat ?”. Anisah terperangah di tengah perasaan sedih, mengapa otaknya tidak setajam pisau, menagapa Tuhan menganugerahi otak kerbau kepada aku. Kata kata Bu Hamidah “ Gimana mau lulus UN ? …. Gimana mau lulus UN?.... Gimana mau lulus UN ?..” terus saja menempel di hati dan telinganya. 

Hari itu tatapan matanya bertambah meredup, rasa takut memenuhi setiap nadi jantungnya. UN kini menjelma menjadi hantu menakutkan, sebengis wajah Bu Hamidah yang cantik dan lajang itu. *** “He..first lady…ratu jagad yang kaya Kate Midlleton, tumben kamu melipat wajah hari ini. Apa ada angin tenggara yang menculik hatimu “ teriak Burhan di beranda kelas usai terdengar bel panjang, pertanda mereka bisa pulang di tengah gerimis musim hujan ini. 

“Makasih friend, atas rayuan gombalmu. Mana ada first lady, yang bodo seperti aku ?” jawab Anisah dengan sorot mata yang masih kelihatan layu ditikam perasaan pd-nya yang pas pasan. “Aduh , emak !, sedikit senyum dong !. Mesti kamu habis disemprot Bu Hamidah, iya kan ?” 2 “Ya memang gitu, aku malu dan bingung” “Kenapa ? “ 
 “Aku selalu tidak bisa mengerjakan, bila Bu Hamidah menyuruhku maju ke depan. Entah Burhan !, aku sendiri sering bingung kalau mengerjakan matematika, apalagi soal soal UN, tolong ajari aku, friend !” sahut Anisah memelas.

 “Kamu bisa kok !, asal kamu teliti dan sering latihan “ “ Ya itu sih sudah pasti, friend !, aku sudah belajar tapi ya seperti inilah !. Dasar IQ-ku zero !”

 “Gimana kamu bisa, kamu sendiri sudah pesimis seperti itu. Cobalah lebih akrab dengan matematika. He, beautiful !!!, aku sudah kenal kamu sejak kita di SMP, aku tahu kamu alergi terhadap matematika. Beruntung Bu Hamidah yang cantik, luwes dan simpatik. Coba kalau yang ngajar Pak Aditya, masti kamu lebih stressss…” jawab Burhan yang berjalan di sisi The Nice Girls Anisah hingga sampai di pintu gerbang sekolah. “Makanya ajari aku ya Han ?”
 “Percuma !” 
“Kenapa, percuma !”
 “Kamu sendiri sudah membenci matematika !!!”
 “Ah, entahlah ! “, Anisah membanting wajahnya pada jalan-jalan aspal yang mulai basah dijatuhi titik hujan. Anisah kini tenggelam dalam hujan. Sementara angin yang bertiup kencang melempar tiap percik air hujan ke semua penjuru. Tubuh Anisah sudah tak kelihatan lagi. 

 *** 
 “Pap, aku mau ikut bimbingan tes matematika, boleh pap ?” pinta Anisah pada papanya di suatu sore di beranda rumah gedong yang berhalaman luas. “Lho, papakan tidak pernah melarang kamu ikut kegiatan positip seperti itu. Cuma papa mau tanya !. Mengapa tiba tiba kamu minta bimbingan tes matematika ?’ 3 “UN sudah dekat, pap !” “Kenapa tidak dulu dulu ? “

 “Pap, Anisa tidak bisa matematika, padahal UN sudah dekat !”

 “Anisah !, papa tahu UN sudah dekat. Tapi mengapa baru sekarang kamu ribut ikut bimbingan tes. Papa tahu, sejak SD kamu malas belajar matematika, yang kamu anggap seperti momok. Inilah salahnya kamu, Anisa !”. 

Sebenarnya seberrsit harapan kini mulai tumbuh di hati Samsudin. Sebuah harapan agar Anisah mulai rajin belajar hingga mampu kuliah di jenjang perguruan tinggi. Guratan panik di wajah Anisah mulai jelas kelihatan. Maka sore itu dia hanya melentingkan sorot matanya yang hampa di hamparan rumput jepang yang tertata apik di halaman rumahnya. 

Hati kecilnya masih selalu saja mengutuk mengapa dia harus belajar angka angka setan, mengapa pula harus ada UN matematika, mengapa Bu Hamidah selalu menyudutkan dia dan kini papanya juga ikut memberikan vonis bersalah padanya. 

Samsudinpun tahu persis watak dan ego putri kesayanganya itu. “Anisah !, apa bimbingan tes bisa menyulap kamu menjadi pandai matematika, hanya dalam beberapa minggu ?” “Papa gitu, sih !. Malah membuat Anisah panik !” “Bukan itu maksud papa, kamu bisa siap UN, kalau diri kamu sendiri yang menyiapkan, bukan bimbingan tes “ 
“Papa malah ngaco !, apa papa keberatan biaya daftarnya ?”
 “Aduh !!!, Anisah sayang !, papa dan mamamu tidak pernah keberatan mengeluarkan biaya untuk kemajuan kamu, paling berapa, sih biaya bimbingan tes ?. Tapi maksud papa kamu mulai sekarang belajar matematika sendiri yang rajin. Mesti kamu bisa ?. 
seberapa sulitnya sih, matematika SMA ?’
 “Papa !, untuk Anisah, matematika memang sulit, pap !, Anisaj tidak punya bakat pinter matematika !’ “Yang sulit bukan matematikanya, tapi diri kamu sendiri !”
 “Sulit bagaimana pap ?”
 “Kamu yang memang tidak punya kemauan untuk pinter matematika. Itu papa tahu sejak dulu, sekarang jadikan matematika sebagai teman akrabmu, bukan lagi seperti angka angka setan yang membuat kepalamu puyeng “ 
“Ah..caranya bagaimana, pap !” 
“Ya itu tadi, kamu belajar yang tekun dan rajin mengerjakan soal soal matematika. Jangan pernah lagi kamu anggap matematika seperti angka angka setan “
 
*** 

“Matematika tidak sulikan, Anisah ?” dengan senyum renyah Bu Hamidah mencoba berbicara dari hati ke hati pada Anisah di ruang guru, saat Anisah meminta nilai try out terakhir pada Bu Guru yang cantik itu.Anisah hanya tersenyum dalam derai yang dihiasi lesung pipitnya. “Jadi kamu sekarang siap menghadapi UN pelajaran matematika ?
”. Pertanyaan Bu Hamidah dibalas dengan senyum canda Anisah, yang mengisaratkan bahwa matematika bagi dirinya bukan lagi ANGKA ANGKA SETAN ***