Minggu, 06 Desember 2009

Pesta Tari Sintren

Suara kenong, gong , titil, kecapi dan kendang yang rancak telah membahana ke seluruh ruang pesta. Lenggak lenggok penari sintren serasi dengan luget suara kendang. Seluget teh poci yang dinikmati sebagian tamu, sambil berdendang dan mengangkat kedua tangan tinggi – tinggi

Sementara hanya terlihat hadirin bapak dan ibu yang rata – rata sudah setengah baya ikut juga larut dengan tabuhan gamelan itu. Meski tidak sehinga bingar solo organ yang kini lebih banyak diminati di panggung hiburan, terutama kawula muda yang bisa lepas berjoget dengan lagu – lagu kontemporer.

Sintren pernah eksis di tengah masyarakat Tegal bersama – sama dengan Wayang Golek Tegalan serta Rebana Tegalan ( Balo – balo, Terbang Kencer dan Terbang Jawa ). Kala itu sintren sering ditampilkan pada acara 17 Agustus, pesta perkawainan ataupun pesta khitanan atau pula kegiatan penting lainnya.

Berbeda dengan Wayang Golek , Sintren hanya didukung oleh sekitar 20 pemain, yang termasuk niyaga, sinden, dancer dan dalang yang memimpin segala sesuatu yang berhubungan dengan pentas Sintren. Bahkan lebih specifik lagi berhubungan dengan supranatural yang turut menyemarakan pentas Sintren.

Memang inilah sintren, sebuah bentuk budaya tegalan yang kini musnah di telan jaman. Sintren meski salah satu unsure budaya yang berasal dari Jawa Barat, dengan menu Cirebonan, dahulu memang banyak digandrungi masyarakat Tegal, baik tua, maupun muda bahkan mampu menjadi arena hiburan bagi anak – anak, yang kala itu belum terkontaminir berbagai media elektronik , seperti play station, dan televisi.

Ciri specifik Sintren dibanding dengan unsur budaya Tegalan lainnya, adalah unsur magis yang melekat kental pada kesenian ini. Meskipun fenomena ini sifatnya hanya subyektif belaka. Namun demikian rata – rata masyarakat Tegal meyakini fenomena ini. Betapa tidak, kesenian sintren diawali dengan tampilnya dancer, ke tengah panggung hiburan dengan pakaian casual melenggok – lenggok dengan gayangan pinggul gaya jaipongan.

Setelah cukup sudah goyang pinggul penari Sintren tersebut, dengan dibimbing sang dalang yang konon kabarnya seorang ahli spranatural, masuklah penari tersebut kedalam kurungan yang tertutup kain warna – warni dengan hiasan renda yang eksentrik bercorak tegalan, Setelah sebelumnya kurungan tersebut dipertontonkan kepada penonton, yang menyaksikan dengan jelas tiada sebuah bendapun berada di dalamnya. Besar kurungan tersebut tidak lebih hanya sebatas ukuran tubuh dengan posisi jongkok.

Selama sang Penari Sintren berada di dalam kurungan dilakukanlah acara ritual yang dipimpin langsung oleh Sang Dalang untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selama berlangsungnya pentas kesenian Sintren mereka dan para penonton tidak mendapat halangan suatu apapun. Sementara itu selama berlangsungnya acara ritual suara gamelan masih etap membahana si tengah para penonton.

Penontonpun terus asyik menikmati rancaknya kendang Cirebonan, kadang mendayu kadang pula terdengar rancaknya kendang jaipongan. Hal ini jelas membuat para penonton mengabaikan apa yang terjadi dengan penari yang ada di dalam kurungan. Lantas bagaimana nasib penari dalam kurungan tadi ?, yang menurut legenda Tegalan syarat utama menjadi Penari Sintren adalah seorang bocah perempuan yang belum akil baligh ( belum mengalami menstruasi ).

Ditengah hingar bingarnya pesta Sintren tersebut, dengan selalu dibimbing Sang Dalang, keluarlah Penari Sintren dengan performan yang mencengangkan penonton. Kini jelaslah di depan mereka seorang wanita cantik dengan dandanan model tradisional dan menggunakan kacamata hitam sebagai ciri khas penari sintren.

Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan hingga sekarang, bagaimana Sang Penari Sintren bisa berdandan di dalam kurungan tersebut. Padahal sebelum dimulainya acara Pesta Tari Sintren semua penonton telah menyaksikan sendiri, bahwa tiada selembar kainpun yang ada di dalam kurungan tersebut. Barangkali kita bisa saja berpendapat, bahwa fenomena ini hanyalah trik belaka atau karena kekuatan magis belaka.


Namun fenomena tersebut hingga sekarang telah diabaikan begitu saja oleh masyarakat Tegal. Lantaran Sintren sebagai kekayaan Budaya Tegalan berusaha hanya mengetengahkan unsur dinamika budaya saja, bukan untuk mengedepankan Show of The Master. Hal ini
memang patut dimaklumi lantaran Budaya Tegalan, adalah budaya bentukan asimilasi antara budaya Sunda dan Jawa. Terlebih lebih Sintren adalah salah satu unsur budaya yang lahir dari Peradaban Timur, yang nota bene sarat dengan mistik. Sehingga dalam hal ini tidak ada yang patut dipersalahkan.

Yang patut digarisbawahi dengan Pesta Tari Sintren adalah salah satu kekayaan budaya yang lahir dari dinamika kehidupan Orang Pesisiran sebagai salah satu bentuk Social Multiculture yang terus mengalami social changes di tengah ratusan budaya lain yang hidup di Bumi Nusantara ini.

PUISIKU

DISUDUT LANGITMU

Biar aku punguti lembar demi lembar,
akan untaian bunga yang mekar bersemi, meniti di lubuk jauh di hati aku tengadahkan ke dua tangan harap
agar gurantanya dipenuhi wangi bunga

Aku persembahkan do΄a,
agar bertaut dengan halus dan lembut kasihMU adakah masih ada seberkas senyum yang KAU kirim dari langitMU yang berpintu kesabaran Maafkan aku wahai yang menyimpan segala keindahan
berilah aku secercah makna
di balik ini bila sebening embunpun
engkau beri makna
apakah jiwa yang telanjang ini
akan mongering di tengah lautan hidup



SAYAPKU YANG PATAH
Kurenggut hatiku dari hidupku sendiri.,
bukankah bulan yang bundar dan ayu
akan tertawa memperoloku
bukankah matahari akan malas mandi
di ufuk timur

Akan kupatahkan jua semai malam yang mengulum mimpi,
yang kususun sendiri jauh di balik sana ,
adakah engkau perdulikan ini ?
adalah ibarat mekar bunga yang terkikis
angin barat yang nakal menghujam
Sayap ini telah sarat dengan haru biru sayap
inipun masih enggan menembus awan biru
patah dan merobek
apa saja yang ternaung dalam biru langit

TAK JUGA ENGKAU INGIN JUMPA

Bila aku langkahkan
kaki telanjang ini di relung hidup
kupijakan satu demi satu asa yang terbelenggu
lalu apakah engkau akan datang padaku
menyodorkan rembulan

apakah jua engkau rangkai
suara alam dalam kemasan yang indah
semenatara satu sisi saja hidupmu
belum aku baca satu baitmu
telah terbawa oleh gumpalan awan
yang terbang di atas tubuhku
yang terbujur menahan gejolak hati
apakah masih ada bahuku yang legam
mampu menggapai jemarimu yang mungil

ataukah hanya harap harap cemas
menunggu sang sutradara membuka layar permainanmu,
yang tidak pernah aku jangkau,
karena telah kutelanjangi apa yang kumiliki
ataukah telah nanar batas pandangku
untuk mencuri hatimu atau sejuta lagi
ketidakmampuanku
yang masih ada dalam sisi bayang diriku sendiri

inikah yang engkau niati
bila mencibir senyum padaku
yang sedang merenda nafas
dan kekuatan untuk engkau gantungi
dengan kemaunmu sendiri
yang tajam dan garang
biarkan aku renda saja
untuk diriku sendiri
atau juga aku letakan wajahmu
di luar batas pandangku
selamat malam....sunyi

BAYANG-BAYANG KERTAS
Saat aku lupa membelai rambutmu,
manis senyumu akan kau tunda
kau simpan dalam bingkai mimpiku
saat burung pagipun tidak berirama
kau tanggalkan warna bunga
di gelap wajahmu Lantas bila aku lupa tidak mengecup keningmu akan kau keringkan semai..... di dadamu
lantas pula bila sejuta
aku lupakan karena diriku sendiri
akan kau robohkan langit biru
lantas kemana lagi akan kau semayamkan
benih bara ini

Bila semua sendiku
akan berkata penat
lantas akan pula cinta
hanya kau selipkan dari kantong bajumu saja,
atau bayang tipis ini telah semarak
dengan lakon dan sunyi

ANGIN TENGGARA
Angin tenggara saat itu ikut
melepas kepergianmu tiada semilir
yang membawa kesejukan
hanya tulang-tulang yang lemah ini
ikut serta menjadi saksi
taktala seberkas misteri
telah tersapu tamak dan egonya jaman

Angin tenggara,
apakah jua kau bawa
badai yang menerbangkan
kehangatan yang tadinya terpagut kuat di maghligai ini
aku orang kecil yang mengayuh biduk
jangankan melawan badai angin tenggara
menahan ombak pantai yang menepipun
sudah sarat dengan peluh dan nafas yang berat

Angin tenggara,
jangan kau datangi
aku lagi biarkan aku yang berdiri kaku
pada kemampuanku
jangan kau ulangi lagi bila mata ini
telah terpejam tak mau lagi melihat
biduk kecil yang retak dihempas
ombak ketidakpastian

ENTAHLAH , MAU BERKATA APA ?
Kita sendiri mau berkata apa bila dalam diri
manusiia mengalir darah membara hingga ingin
melontarkan kekesalan hati dengan lontaran merah
dan membaranya mesiu Jangan kau
berkata benar, bila tangan kirimu sendiri

tidak mau menyaksikan tubuh yang terbakar
dan bau anyir darah tulang yang remuk
menjadi korban kebekuan hati
sudahlah mari kita gandeng
hidup dengan goresan warna
kesejukan bukan dengan lantang dan
garangnya mesiu
Sehingga aromanya mengotori kedamaian

bukankah Parto si tukang becak
juga punya catatan hidup di halaman belakang
buku hariannya,
atau Udin si tukang es ,
juga punya hak untuk memintarkan anaknya,
bahkan Warjo si tukang bangunanpun
telah punya caranya sendiri untuk menggapai hidup

Bukan kamu saja yang memiliki kodrat di tanah ini
untuk membenahi rumah dan hidupmu sendiri,
lantas berlalu lalang dengan asap yang tak kenal belas kasihan ataukah telah berhenti jantung hatimu sehingga
sorot matamu hanya terbatas pada
dinding kamarmu yang pengap,

lusuh dan gelap

REMBULAN DI HATIKU
Ingin hatiku melontarkan senyumku
jauh ke dalam jendela hatimu walau terhalang
beribu debu di padang gersang halaman rumahmu

Aku janji pada diriku sendiri
untuk persembahkan lagu indah
penuh makna diiringi nyanyi belalang
dari sawah ladang tempat emak dan bapaku menanam padi

Biarlah semua keindahan yang engkau
miliki menjadi sisi lain dari diriku
sisi di mana aku hanya mengenal mimpi.

PRAHARA BUMI INI
ada kalanya mansia harus berkata apa
bila langit mendung, tapi tiada rintik hujan
bila angin kembara
menerbangkan debu keangkuhan,
hingga tepi senja,
telah dicuri merah merona
awan derita jangan sekalian
engkau pernah menghujat bumi
yang tiada pernah merekah senyumnya

bila engkau kan ganti arah berputarnya
jangan kau harap masih ada segelas
nafas yang bersih bila padang tang kering
tak pernah kau tetesi embun pagi hari
gemercik sungai keci telah kau akrabi
dengan kotoran jiwa hingga bau busukpun
telah mengudara membentur
dinding langit membasuh wajah mentari
hingga kelam,
meradang semua yang bersemayam di bumi ini

KAWAN MASIH ADAKAH PAGI
Duduk di beranda wajahmu pagi
aku perhatikan telah tiada lagi
nyanyian burung penawar air sejuk
hanya ada bara api, dari hati manusia
yang menjulurkan kelu lidahnya sampaikan walau dada ini
hangus untuk mengajak mereka
agar berlapang dada untuk menghijaukan

kembali kebun buah yang ada di pelataran samping rumah
jangan ada lagi,
pohon besar yang malang
yang roboh dengan daun
yang berserakan sedangkan udara pagi
telah pengap dihujam perrih dan panasnya
nafsu manusia bilakah masih ada embun damai
yang menengok sudut hatimu
itupun masih menyisakan seberkas
kata yang tiada akan pernah bergeming
lantaran kicau burung telah terbungkam
oleh membaranya nafsu manusia.

Semarang, 8 Nopember 2009

CARUT MARUT TATANAN Sosial



Adalah berita yang menggembirakan bagi kitya semua, setelah dikeluarkannya SKKP No. Tap 01 / 01 . 14 / FD.1 / 12 / 2009, tanggal 1 Desember, atas nama Chandra M. Hamzah dan Tap 02 / 01. 1 4 / FD. 1 / 12 / 2009 AN Bibit R. Riyanto oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan , yang merupakan pertanda bergulirnya angin kedamaian yang selama 3 bulan di penghujung tahun 2009, terjadi kisruh opini publik, perseteruan antara lembaga negara, serta memanasnya silang pendapat antara elit –elit politik.

Namun belum juga kita lega, baru saja kita mengipasi kegerahan fenomena sosial dan hukum atau mungkin juga muatan politik bagi pihak yang berkepentingan, kita dihadapkan lagi dengan kasus Bang Century yang bergulir berbarengan dengan kasus Bibit Chandra. Dan nampaknya Kasus Bang Century juga tidak kalah panasnya dengan kasus yang mendahuluinya. Bahkan ada suatu analisis dari media massa yang menyimpulkan, bahwa kasus Bibit Chandra telah mendomonir sorotan pers sebanyak 75 persen dan Bang Century sebanyak 25 persen, pada dekadi 3 bulan yang lalu, namun angka tersebut sekarang telah berubah sebaliknya.

Bahkan tidak tanggung –tanggung lagi permasalahan praktek money loundering di Bang Century inipun berkembang semakin melebar, apalagi penyimpangan pengucuran dana ini
disikapi dengan keteledoran lembaga autoritas moneter dengan melepas bail out sebesar 6, 7 trilyun rupiah. Meskipun menurut audit BPK , Bang Century tidak layak menerima dana talangan tersebut. Sebab kondisi bang tersebut memang tidak layak beroperasi, sesuai dengan advice dari BI.

Namun dengan alasan karena terjadi krisis perbangkan, sehingga Bang Century masih dibiarkan hidup, tetapi dengan naungan dan pengawasan Lembaga Penjamin Simpanan, yang ditunjuk pemerintah pada tanggal 21 November 2008. Meski dalam menjalankan fungsinya LPS ini pernah mengucurkan dana sebesar 4 trilyun pada Bang Century tanpa persetujuan DPR. Bukankah kebijakan ini akan menambah runyamnya kemelut di bang itu, yang dewasa itu berperan sebagai kendaraan pihak tertentu.

Nampaknya tidak hanya dengan penyelesaian kebijakan moneter saja terhadap kasus ini. Namun lembaga tinggi negarapun, yaitu DPR lebih peka dalam meneropong kasus ini, bahkan lebih jauh lagi memandang pada sisi yang lebih urgent lagi. Terbukti dengan lahirnya
2
Tim Sembilan dikalangan anggota DPA, yang berkiprah sebagai Tim Pengusung Hak Angket kasus Bang Century, yang berdiri sejak 22 Oktober 2004 itu.

Kita bisa berbangga hati, ternyata pengajuan Hak Angket di pembahasan Paripurn
DPR, pada tanggal 1 Desember lalu telah mendapat persetujuan dari 503 anggota dewan. Hal ini berarti praktek bail out t ersebut di atas akan bergulir menjadi tontonan politik publik yang menarik. Betapa tidak, karena setiap permasalahn hukum yang dimuati politik dan kriminalisasi suatu institusi yang dimuati politik jua, dewasa ini telah menjadi sarapan kedua bagi publik. Tentunya setiap permasalahn di atas tadi , jelaslah dilansir oleh semua media massa, baik cetak, elektonik dan dunia maya. Yang pada gilirannya nanti tentunya akan menginternalisasikan sikap mental skeptis dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai Lermbaga Tinggi Negara, DPR memang diberi kewenangan untuk mengevaluasi serta minitoring pemerintah dalam penerapan setiap regulasi yang telah disepakatii bersama dan dengan fasilitas Hak Angket inilah semoga saja lembaga ini mampu mengurai benang kusut, yang hingga kini belum bisa ditemukan bagian mana yang harus menjadi awal penyelesai konflik yang menggumpal ini.

Hanya saja sementara ini telah muncul keraguan publik tentang netralitas lembaga ini. Apabila keraguan ini benar terealisir di panggung kancah politik, yang mestinya bagi anggota lembaga ini lebih mementingan partainya. Maka penyelusuran dengan senjata Hak Angketpun akan menemui jalan buntu. Tetapi apabila mereka mendahulukan ikatan moral yang menjadi penghubung aspirasi rakyat, inilah yang kita harapkan.

Yang paling mengkhawatirkan kita semua sebagai anak bangsa yang mengimpikan tercapainya tatanan sosial- politik yang demokratis, serasi, mengedapankan supremasi hukum di Bumi Nusantara ini akan jauh panggang dari api, bila konflik sosial dan politik yang menerpa akan terus mendera para elit, pemimpin dan elemen – elemen pemerintah lainnya. Tentu lebih jauh lagi, kondisi seperti ini secara gradually akan membentuk sikap mental masyarakat yang pesimis, skeptis dan asusila terhadap nilai dan norma sosial yang seharusnya tertanam kuat di tiap kehidupan sosialnya.

Salah satu tanda akan terjadinya disintegrasi sosial yang akan mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah timbulnya konflik sosial yang berkepanjangan. Meski upaya yang intensif dan terintegrasi terus dilakukan oleh autoritas, namun bila akar

3
konflik yang berupa nation building statement telah meluruh dan tercabik-cabik, maka upaya itu akan percuma begitu saja.

Beberapa diantara ciri khas terjadinya gejala disintegrasi sosial yang terkuak dipermukaan adalah adanya perubahan tatanan sosial akibat diadopsinya nilai sosial yang menyimpang dari tatanan semula. Sementara itu terdapat komunitas sosial yang menentang pergeseran nilai ini. Adanya sebagian oknum pejabat yang memperkaya diri dengan memanipulir jabatan dan telah membudaya, jelas akan menciptakan jurang pemisah dengan lainnya, yang cenderung mempertahankan nilai sosial yang lama tertata.

Harapan kita satu –satunya adalah kembalinya pandangan moral bagi yang telah lepas kontrol dari pranata sosial yang kita miliki. Sebab tanpa adanya gerakan moral tersebut, maka akan terbukalah jurang pemisah antara nilai luhur yang banyak dianut, yang akan berhadapan
dengan nilai dan norma baru yang tidak kita harapkan. Sebagaimana kita ketahui dari meruaknya kasus korupsi dan manupulasi jabatan tersebut, nampaknya telah menjadi budaya yang merambah pada setiap lapisan. Fenomena tersebut diatas sudah barang tentu akan menampilkan social-disequilibrium atau juga merupakan gejala carut marutnya tatanan sosial

Ilustrasi tersebut diatas adalah contoh terjadinya pergeseran nilai sosial di tanah air kita yang bila terus melebar akan menciptakan disintegrasi social, bila semua pihak yang terlibat di dalamnya tidak segera membenahi diri. Minimal sebagai langkah awal adalah penerapan supremasi hukum pada pihak yang menciderai perasaan rakyat. Namun apakah supremasi hukum yang kita gembar-gemborkan dapat berhasil guna untuk melawan rapatnya mafia segala lini di kehidupan para elit atau hanyalah isopan jempol belaka.

Hal inilah yang telah mengaburkan pandangan kita semua, seperti yang disinyalir oleh Ketua Komisi Hukum Nasional, Prof, J,E, Sahetapy tentang pesimistisnya dalam menegakan hukum
melawan tindakan mafia hukum. Pernyataan itu tentunya memberi gambaran kepada kita, tentang beratnya gerakan tajam melawa mafioso hukum yang telah merusak tatanan sosial.

Telah diketahui bersama bahwa apabila suatu masyarakat sudah menampikan hukum yang menjadi social - control yang telah diakui dan diterima bersama, maka carut marut sosial yang kronis tinggal tunggu waktu saja. Ini berarti segala jerih payah anak bangsa dalam mengukir prestasi yang mencakup segala sektor akan lenyap begitu saja. Sebab bila telah terbentuk people power yang mengkristal, sama saja kita menghadapi suatu bola liar yang menggelinding liar tak tentu arah.
4

Bagaimana tidak, supremasi hukum yang digunakan sebagai senjata tajam untuk memotong praktek – praktek penodaan bangsa dan negara telah tumpul lantaran praktek – praktek asusila oknum pejabat yang seharusnya jadi teladan anak bangsa lainnya. Mereka gampang saja mendapatkan uang dalam hitungan milyaran dan tidak semua perangkat hukum berhasil membuat mereka jera. Sementara itu di masyarakat sosial lainnya telah mengalami perjuangan hidup mati untuk bisa sekedar hidup layak.

Oleh karena itu, sebelum nasi menjadi bubur, maka hendaklah kita melakukan self-control bersama-sama. Yang menjangkau lintas sektoral, status, jabatan dan lain sebagainya. Sehingga kita bisa dengan serasi bahu membahu mampu mewujudkan prestasi dalam mengejarkan ketinggalan dari negara – negara dalam semua hal. Sebelum timbulnya cultural lag yang akan menimbulkan disintergrasi bangsa.
































PENULIS
1. NAMA LENGKAP : Ir. BAMBANG SUKMADJI
2. TEMPAT/TGL. LAHIR : TEGAL, 19 SEPTEMBER 1962
3. ALAMAT : Jln. KETILENG I , RT O1/25
SENDANG MULYO
SEMARANG 5 0 2 7 2
4. ALAMAT KANTOR : MA FUTUHIYYAH – 1
JL. SUBURAN BARAT,
MRANGGEN DEMAK ,
TELP 024-6773289
Email : bangsuk51@gmail.com