Kamis, 03 November 2011

Sepenggal Kisah tentang Pejuang


Lelaki  tua itu telah redup sorot matanya,
mengais  angin sejuk,  menyisir  duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki,  berbaju compang camping
milik anak jaman                                 
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam  howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya

dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”

di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha”  yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya

dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit

(Semarang, 3 November 2011).

Sebuah Epos Yang Hilang

Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk  menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku  menggenggam pilu
Aku  mengencangkan urat nadi

2
tidakah kau tahu  pula,  anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru

Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya  bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih

Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu,  agar tetap terjaga

(Semarang, 4  November 2011).


Manifesto Untuk Hantu Berkerah Putih

Altar  yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam”  
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu  laras untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.

Dan  mengusung awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,
3

Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi

Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di sepanjang  kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan

Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel”  menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki            

 (Semarang, 4  November 2011).

Selasa, 01 November 2011

Bulir Bulir Padi


Sawah ladang yang mulai basah telah menjadi saksi, saat mereka harus sigap dengan  langkah kaki ke depan, lantaran mereka semua adalah petani kecil yang hanya mampu menitipkan hidupnya pada perguliran musim, Saat Angin Muson Barat mendera, mereka segera membenamkan seluruh kaki kakinya pada air sawah. Sehingga mereka yang  berdagang di kota besar, segera meninggalkan kotanya, untuk segera menyemai penghidupan dengan butir butir padi di sawah mereka yang tidak begitu luas. Namun bila sawah mereka diterkam kemarau panjang, merekapun segera balik lagi ke kota untuk berdagang mi ayam, mi bakso, panganan untuk anak anak SD dan apapun yang mereka mampu lakukan. Saat itu angin tenggara melempar mereka jauh jauh dan entah kemana mereka akan terdampar. Seperti biji biji ilalang yang kecil dan ringan kala terhempas angin kemarau.
Inilah nafas hidup desa tempat kelahiran  mereka,  meski tidak seluruh penghidupanya dikemas di desa ini. Mereka  yang tidak mengenal pangkat dan jabatan, tidak mengenal jenjang karir apalagi gaji ke 13 atau tunjangan prestasi dan apapun yang dimiliki oleh pekerja-pekerja kantoran. Aalagi korupsi uang negara. Mereka hanya akrab dengan lenguh sapi perahan dengan Kolonjono yang tumbuh di pekarangan samping rumahnya.       
Saat ini kembali angin Barat  menjenguk penghuni desa itu dengan titik titik hujan yang terusung,  sehingga pagi mulai berkabut, jalan dan pematang yang malang melintang di tengah sawah mulai ramai. Deru knalpot traktor  menyalak ,  namun burung burung bangau yang ada di seputarnya tidak memperdulikanya. Mereka lebih peduli pada yuyu dan ikan ikan kecil unuk sekedar mengganjal perutnya. Seakan mereka tahu persis apa yang dilakukan oleh petani petani itu dan merekapun menirunya. Namun yang mampu dilakukan oleh burung burung itu hanyalah memburu musim hujan. Meski beberapa tahun belakangan ini mereka menjadi tak mengerti,  lantaran mereka sering menjumpai hujan yang berkawan dengan badai, atau hujan di tengah kemarau, bahkan mereka juga pernah menjumpai kawanan ulat bulu yang menghabiskan semua dedaunan hijau.
Namun mereka masih bisa terenyum lega,  saat menyaksikan manusia masih terus mengolah tanah yang sudah banyak ditimbuni zat kimia, dengan tanah seperti itu burung burung banagu itu  kini tidak bisa melahap cacing cacing tanah dengan lebih rakus lagi, tidak sperti beberapa tahun silam.
Terminal bus yang lusuh dan berdebu dengan jalan jalan aspal yang menganga di sana sini siap dengan rakus  menelan tubuh tubuh yang terperosok di dalamnya. Terminal bus itu  berada di sudut desa dan mulai terlihat lebih ramai ketimbang hari biasanya.Kerumunan orang tua dan muda bahkan terlihat juga anak anak  yang mulai bereksotis di terminal bus tersebut. Mereka semua adalah petani yang kembali ke desa, untuk memburu secercah hidup dari sawah sawah mereka.
Ciri khas yang tidak bisa disembunyikan dari mereka, adalah kulit yang hitam melegam dengan bahu yang kekar. Namun raut wajah yang pasrah masih terus melekatnya. Diantara mereka adalah suami istri Hananto dan Kadarwati.
***

2
Belahan langit yang mengungkungi desa itu semalam telah mengirim titik hujan hingga pagi, kembang api alam terus saja silih berganti memagut desa itu. Kini pagi telah menyingkap mendung mendung gelap, sehingga keluarga muda petani Hananto dan istrinya Kadarwati sigap berseri mengawali kehidupan ini.
Sudah beberapa ratus meter jalan desa yang berbatu telah mereka lalui, tanpa suatu alas kakipun.  Sementara jalan yang terhampar di depanya kini hanyalah jalan pematang, yang malang melintang membelah sawah menjadi petak petak yang rapi, senyum beberapa karib, kawan sepermainan selalu menghiasi wajah mereka yang tumpah di sawah itu. Hananto yang baru pagi ini, menapakan kakinya di sawahnya yang terletak di tengah hamparan sawah yang nampak tak bertepi, segera melemparkan senyum rindu pada teman teman sepermainan. Teman yang dahulunya sering bermain  “wayang orang dan gamelan jawa” di tengah padang gersang, kala kemarau memagutnya. Di bawah bulan purnama adalah saat yang hidup untuk anak anak desa bermain wayang orang tersebut.
Hananto yang di Jakarta biasa bergelut dengan peluh-peluh pengap, mengais hidup di bawah tenda tenda plastik di pinggir jalan, menawarkan jasa menjadi buruh permak jean dan Kadarwati yang menjual bensin eceran disampingnya, kini bagaikan anak ingusan yang berada di tengah petani petani yang menenggelamkan diri dengan lumpur sawah, kerbau, gerimis dan terkaman matahari.
Sawah Hananto hanya berisi ilalang kering yang terbakar ganasnya kemarau panjang dan disana sini terlihat ilalang yang mulai menghijau di sela tubuh ilalang lainya  rebah.
“Tanah ini tentunya harus mulai aku balik, mumpung hujan mulai menghidupi sawah kita”. Seberkas  harapan mulai menebal di bilik jantung Hananto, Kadarwati hanya mengangkat kedua tanganya,  suatu isayarat agar suaminya sigap memulai  memunguti kehidupan mereka yang jauh dari sorot sorot mata yang garang,  di tengah knalpot mikrolet Jakarta yang hitam dan menyesakan dada. Kadarwati masih menyodorkan senyuman tawar, meski kehidupan mereka yang masih  terbawa “angin kembara”, bagaikan debu tak berdaya diterbangkan angin padang.
***
“Apa kamu sudah siap menyandarkan hidupmu pada sawah sawah kita, Wati ?”. Sepotong keinginan tahu Hananto dilontarkan pada Kadarwati, yang masih menyapu semua penjuru sawah dengan sorot mata yang masih kelihatan beku dan dingin. Sedingin beranda rumah sederhana mereka yang cukup lama ditinggalkan dan kini tembok tembok dindingnyapun masih menyimpan sepi. Hananto masih saja menunggu jawaban istrinya dengan wajahnya yang diarahkan padanya, meski dia tahu bahwa istrinya telah akrab dengan benturan benturan hidup sejak kecil.
“Itu tergantung kita, Mas !”, seraya merebahkan badanya di kursi bambu, Kadarwati memberikan jawaban.
Hananto tambah mengecil hatinya, berkali- kali dia meneguk kopi hangat yang sekian lama belum tersentuh. Berkali kali pula jantung hatinya berdegup, karena ketidakmampuan Hananto menangkap isarat dari  istrinya. Senja itu Hananto menjadi terpingit dalam ketidaktahuan tentang jawaban istrinya. Kebisuan itu akhirnya membuat dia tersudut , namun
3
semilir angin dingin musim hujan memberinya bisikan, agar dia lebih berani lagi menghadapi resiko apapun.
“Kalau aku gagal panen atau rugi ?”.
“Kapan dirimu berhasil ?, Bukankah kegagalan lebih akrab dengan dirimu, Mas ?”. Hananto terlempar hingga jauh ke ujung langit, sayap sayapnya yang tadinya sudah ditutup rapat rapat. Kini Kadarwati telah merentangkanya, sayap-sayap itu telah membawa Hananto pada kenangan di Bengkulu kala ikut transmigrasi, kala Hananto menjadi nelayan dan episode episode kelam kini hadir di dalam benaknya.
Angin senja musim hujan semakin memagutkan dingin beranda rumah papan itu, bahkan kini lebih berani lagi  mengibaskan rambut Kadarwati yang dibiarkan terurai sebatas pinggang. Hanantopun menjadi terkapar dalam angan berada dipelukan wanita berkulit sawo matang dan berwajah oval itu. Tak lagi senyap dalam jantung Hananto dan kini mulai tumbuh bara asmara milik dewa dewi  kahyangan. Seberkas harapanpun mulai tumbuh dalam benak Hananto.
“Semoga kita berhasil menjadi petani di sini,  seperti semangatku kala aku meninggalkan Jakarta yang pengap, lusuh dan garang”. Hananto mencoba tampil layaknya lelaki gagah dan kekar dan mampu menggendong pujaan hatinya itu hingga  ke tengah peraduan mereka.
“Cobalah bekerja keras seperti teman-temanmu, mereka tak takut hidup menjadi petani, mereka tak takut lagi dengan kegagalan. Karena mereka terbiasa dengan kegagalan, tapi kalau dirimu Mas ! sudah merasa gagal, maka separo dari usahamu telah gagal”
“Tapi apa engkau siap hidup menjadi petani?” . Kembali Hananto menyelipkan sebuah pertanyaan.
“Mengapa tidak kau tanya saja!, apa aku siap menjadi istri seorang menteri ?”. Hananto merasakan sejak saat itu bumi telah berputar terbalik, jawaban istrinya telah memisahkan dirinya dengan apa yang tersimpan dalam lubuk hatinya. Dia sebenarnya tidak takut dengan sebuah kegagalan, tapi dia tidak ingin kegagalan terus saja bergayut di kehidupan isrinya.  Meskipun dia tidak pernah merasakan bangku perguruan tinggi, namun benang benang sutra yang halus dan lembut, tetapi kokoh telah menautkan kedua hati mereka. Maka diapun  berhasrat untuk menyaksikan istrinya selalu hidup bermandikan bunga warna warni.
“Maksud kamu bagaimana, Wati ?”
“Bila manusia diberi kebebasan untuk memilih takdirnya, maka aku akan memilih jadi istri seorang mentri atau gubernur atau sekalian menjdi ibu negara. Tetapi karena suratan takdir yang harus kita jalani seperti ini. Tidak ada jalan lain kecuali aku harus siap dengan yang aku mampu jalani “
Rembulan yang tadinya berada di ketiak awan, kini berwajah bundar di pusari angin malam. Rumah papan itupun menjadi sepi.
***

4
Entah sudah berapa ratus kali cangkul Hananto dan beberapa buruhnya membentur dan membalikan tanah dan lumpur sawah yang berwarna kecoklatan karena bercampur dengan jerami yang mengering di musim kemarau silam. Tiada lagi deru debu menerpa tubuhnya yang tiada seberapa kokohnya. Hanantopun terus bercengkerama dengan Angin Muson yang mengirimnya hujan, guna mengokohkan bahtera rumah tangganya dengan Kadarwati.

Teh Tawar Hangat


Semenjak  beberapa bulan silam  Sasmito ditinggal istrinya menghadap Illahi,  lelaki muda itu terus saja mengunci mulutnya. Tiap hari, pagi pagi benar dia sudah menyapu halaman rumahnya yang cukup luas dari sampah plastik, daun mangga kering dan bungkus makanan anak anak yang dibuang begitu saja oleh anak anak tetangganya.  Dia tetap mengunci mulut, sorot mata dan senyumnya.
Namun belakangan ini, dia berubah sikapnya lantaran dia melihat semakin banyak sampah yang menumpuk  di halaman rumahnya. Maka pagi hari ini  lelaki muda itu menyapu dengan agak membanting bantingkan tangkai sapu lidinya dan menjadi sering memaki kepada banyak  orang.
“Kamu buang saja bungkus makananmu ke tempat sampah di sebrang jalan sana !” sesekali lelaki tua itu menunjamkan keberanganya kepada anak anak tetangganya yang kerap main di halaman  rumahnya yang hanya beralas tanah liat yang mengeras, dengan disana sini masih ditumbuhi ilalang yang meranggas.
Tapi memang dasar anak, betapapun lelaki kesepian itu dongkol dan marah, tetap saja mereka masih anak anak. Mereka itu adalah sosok yang mampu menyerap segala sesuatu dengan pembelajaran yang berkelanjutan dan sedikit demi sedikit.
***
“Apa perlu aku buat papan pengumuman yang besar, agar semua anak anak itu tidak membuang sampah di halaman rumah saya, Pak RT ?” . Suatu pagi, Pak RT mendapat giliran menjadi sasaran makian , setelah beberapa hari lalu beberapa warganya sudah kena getahnya.
“Ah, tidak perlu repot repot Pak  Sas !, hanya masalah sepele seperti itu cukup dengan pendekatan kekeluargaan saja, agar tidak menimbulkan dendam  tetangga “
“Aku sudah tak sabar lagi !”
“Jangan emosi dulu Pak Sas!, semuakan bisa dirembug, mereka cuma anak anak !”
“Tapi ini sungguh keterlaluan, mereka semakin berani saja dengan aku”
“Ini hanya perasaan Pak Sasmito saja, mereka kan belum tahu kalau Pak Sas marah. Lagian selama ini Pak Sas kan tidak pernah  menegur mereka. Pak Sas hanya diam membisu setiap kali di tengah mereka dan tetangga kita semua”
Mata lelaki muda itu perlahan meredup,  jaket lusuh yang kerap menutupi tubuhnya kini dilepas dan tak lama dia menyandarkan seluruh punggungnya di sofa berkulit hijau di ruang tamu rumah Pak RT. Pak RT masih terlihat menyunggingkan seberkas senyum di wajahnya yang sudah mulai dipenuhi kulit yang melonggar. Sebuah  senyuman yang mampu menyihir wajah laki laki muda itu tidak seperti semula, yang membara ditusuk bara api.
Serpihan bara api kini sudah terlumat ditelikung angi pagi di Hari Minggu kala itu, Pak RT segera mempersilakan Pak Sas untuk meneguk teh tawar hangat yang berada persis di depanya. Singkong rebus berwarna agak keruh, lantaran sudah agak tua, kini masih mengepulkan asapnya, bersma dengan teh hangat tawar kini mampu menjadi kawan mereka . Kabut pagi yang semula menyamarkan pandangan mereka kini berganti dengan kuning sinar mentari. Namun dalam hati laki laki muda itu, masih saja terselip rasa rindu yang berat pada istrinya yang kini sedang bermandi air bunga di cakrawala senja.
“Pak Sas, sedang  galau karena rindu, kan ?” Sepotong kalimat dari Pak RT meluncur begitu saja hingga jauh menunjam ke jantung Pak Sas. Namun tiada sedikitpun Pak RT takut bila Pak Sas terluka hatinya dengan pertanyaanya itu. Lantaran beberapa tahun silam dia juga pernah ditinggal istrinya menghadap Illahi. Kala itu Pak RT ingin segera meruntuhkan langit biru atau menghentikan perputaran bumi, agar semua manusia merasakan penderitaan sama seperti dirinya.
“Pak Sas, aku juga pernah merasakan seperti anda, dan kini rindu itu belum semuanya sirna. Apalagi bila aku berada di tengah anak anaku. Tapi mau apa lagi kita, hanya tulang dan daging yang tak berdaya menghadapi suratan takdir.
Sasmito mulai menyemaikan bunga berseri di hatinya, ketimbang beberapa saat yang lalu, hatinya hanya dipenuhi belukar yang mernggas. Diapun mulai menemukan kawan curhat, untuk menyiram bara api rindu  yang membakar dinding  jantungnya, beberapa teguk teh hangat tawar kini sudah memenuhi tenggorokanya.