Di Tepi Malam Jalang
Langkah malam, yang bermuka durjana,
Dengan langkah yang berat, terus saja menunjam……
Hingga sebentar sebentar fajarpun harus menyurutkan kakinya kebelakang
Ataukah memang ada setumpuk rajutan duri…
Yang tumbuh liar di beranda…kala harus ada “Smarandana” hidup
Dari yang terselip di haluan biduk,
Yang hampir retak dimakan deru dan debu.
“Sang Wiku” yang mencoba memetik bintang di langit
Dengan kidung sakti yang mencoba menggapai lazuardi
Sempat pula menorehkan gundah dan gulana,
Tentang bahasa dan ungkapanya, yang tak lagi mampu
menyudutkan bumi…masih tersisa dalam “Munjuk Aturnya”
yang digulirkan pada lidah yang basah
Bukit dan tebing yang memusar, baiarkan saling bertaut
Selangkah dengan rona mawar merah dalam relung ini
Ketika sejuta sayap, menerbangkan tubuh
Hingga ke ujung- ujung malam, yang kemudian menjadi jalang
Biarkan saja satu dua pelita yang ada di ketiak ini
Mampu menghardik rembulan
Yang tak kunjung menjulurkan tangga hingga ke jendela langit
Untuk sekedar memandang bunga yang tumbuh
Di pelataran sorga untuk wangi tubuh sang bidadari
“Sang Resi Maha Guru”, telah pula mengerlingkan matanya
Lantaran rajutan yang kubawa di keranjang sutera
Belum sepenuhnya menjaring angin kebaikan
Atau kubiarkan saja,aku menjadi pengelana malam jalang
Hingga ketawa cengkerik dan belalang
Memenuhi telinga sang guru itu
Aku menjadi pemberani di malam jalang ini……..
Hingga aku susun sekerat kue,
Dengan bunga sederhana di tepinya, namun masih
Berharum semerbak aroma dusun, berpagar susun bambu
Biar saja malam jalang ini miliku
Hingga kulepas gurat hati dalam lelapku
Semarang, 2 April 2011, Pondok Sastra HASTI Semarang
Di Sisi Langit Biru
Jendela jendela kamar pengantin kita…..
Tak pernah meredup, meski sejuta tangan merengkuh
Hingga sesak tersengal birama nafas kita, jangan kau buang…
jauh jauh pandang mata yang tajam menikam,
hingga bersepih hati kamu, terberai menawarkan
segelas teh hidangan, agar kita mampu mereguk hingga batas nafas
Sudahkah kau selipkan nyanyi pagi,
Tentang sejuta kutilang dengan nada melengking
Hingga cakrawala pagi tak segan untuk mengemas arti hidup
Saat gaun pengantin berenda garis garis semai senyum
Aku berikan juga detak jantung mirip orkestra Mozzart
Yang mampu membelah pagi, dan menyuguh buah apel manis
Memberi semerbak cita yang kau genggam,
Dengan hiasan di ruang tamu, berdinding papan kokoh
Meski tak kau temukan tungku penghangat udara malam
Namun inilah prosa saat Sembodro menuai cinta dari Arjuna
Lantas Sang Burisrowo menjadi murka dengan angin tenggara
Yang bercerai berai, mengadu hitam pekatnya hidup
Pada Sang Mahameru,
Masihkah kau tertegun dengan Supraba, di langit bitu
Saat tatap kedua matamu menukikan merah pipimu
Istriku, di langit biru kugambar namamu
Semarang, 3 April 2011-Pondok Sastra HASTI Semarang
PUISI DIREPRO DARI MALAM PENGANTINKU
Minggu, 03 April 2011
Rabu, 23 Maret 2011
Tentang Negeri SAKURA
Seharusnya bika kau temui bersahajanya Fujiyama
Kau tunfukan muka pada Sang Ufuk
Agar benang halus terus saja memberi
Gambaran akan guratan saat Kobe dan Kanton-pun memberi kabar, saat pula
Bumi memberikan sebelah wajahnya yang berdebu
Lalu lalang ketiak bumi kembali menjengukmu
Sehingga kelopakmu telah rontok dibawa angin kembara
Persisnya di Bulan Maret, saat semua jendela rumah terbuka
Sakuraku telah melipatkan bunga yang berharum kembang setaman
Bukankah semua kemurahan yang ada di beranda langit
Telah dicurahkan, saat Sang Ufuk berniat melepas lelah
Di lembah, bukit, hutan tempat Iwojima dan Saidan
Berbenah laksana perawan, bersuka ria
Di sore hari ketika telah halus sutera sang mentari
Jangan kau jinjing lagi kepulan mesiu
Pada tahun 45, kala semua mata terbelalak
Kala Hiroshima dan Nagasaki mengumpat kata
Dan menyambung tangga hendak meraih jendala langit
Damailah sakura bungaku
Semarang 23 Maret 2011. Pondok Sastra HASTI Semarang
Selasa, 22 Maret 2011
Negeri Bara Di Tengah Karunia ILLAHI
Seorang pemerhati kemanusia telah mengatakan bahwa “ Bumi telah bergoncang hebat dan dibarengi dengan tsunami beberapa saat sebelumnya, di sebuah negeri yang sebagian besar rakyatnya telah akrab denngan bencana alam. Negeri itu tidak lain adalah Jepang (The world is reacting with shock at the huge quake and tsunami that has devastated Japan, but people there have learnt to expect natural disasters).
Kala itu semua gelas gelas minum berhamburan, menumpahkan isinya persis seperti terhempas angina badai, padahal di ruang perjamuan itu tidak terasa satu hembusan anginpun. Semua terbungkam seribu bahasa, meski semua hasrat hati belum tertumpahkan.
Salah satu hadirin berteriak nyaring,” Gempa ! “, matikan tabung gas,!!!”
Saat itu baru pertam kali kami merasakan gempa yang begitu mengguncang, dan kami merasakan betapa kuatnya sebuah gempa yang menerpa kami. Meski baru beberapa hari kami tinggal di negeri Sakura. Rasa bimbang menyelimuti kami, apakah kami harus berlari keluar kamar perjamuan atau harus berlindung di bawah meja. Hanya beberap detik setelah itu, semua saluran TV menayangkan baru saja telah terjadi gempa lengkap dengan kekuatan dan epicentrumnya.
Gempa ini cukup besar dan orang orang Jepangpun sudah tahu sebel;umnya bakal terjadi gempa. Lantas timbul pertanyaan kapan gempa itu akan berlangsung. Secara tradisional, mereka akan tahui datangnya sebuah gempa bila ikan ikan di kolam/tambak/lautan akan berloncatan ketakutan. Bahkan Pemerintah Jepangpun masih melakukan penelitian tentang monitoring kapan kedatngan suatu gempa.
Masyarakat Jepang telah akrab dengan bencana alam dan mampu sedikitnya melakukan tindakan penyelamatan terhadap kedatangan bencana alam seperti, banjir, badai, kebakaran atau bencana yang paling sering, yaitu gempa bumi dan ombak besar yang diakibatkan gempa tersebut (tsunami).
Hidup di Neraka ?
Kepulauan Jepang terletak di atas Gunung Fuji. Sehingga sering kita temui adanya banyak uap yang menyembur dari retakan batuan, dan menyebabkan fenomena musim semi yang hangat. Pemandangan seperti ini sungguh sangat menakjubkan. Di Kota Beppu kita dapat menyaksikan kolah yag dipenuhi air belerang yang tersimpan di perut bumi. Dengan dasar kolam berwarna hitam kemerahan. Orang Jepang menamakan kolah ini dengan Jigoku ( Neraka). Setiap orang Jepang tahu, bahwa sewaktu waktu kekuatan bumi akan tiba.
Gempa Besar Kanto, 1923.
Api menerjang semua perumahan yang terbuat dari kayu, yang diakibatkan gempa besar dan menewaskan 140.000 warga Jepang. Sejak saat itu perkembangan populasi penduduk di Kanto bahkan bertambah pesat dan jajaran kota kota yang tumbuh di atas gunung yang terletak di bawah laut. Semua warga Jepang tahu bahwa tekanan antara lempengan bumi di bawah mereka, sewaktu waktu akan mengeluarkan tenaga.
Oleh karena itu semua warga telah siap setiap waktu, baik anak sekolah maupun pekerja selalu mengikuti latihan menghadapi gempa. Lantas bagaimana gempa dan tsunami yang menerjang mereka tanggal 11 Maret 2011 silam, yang ditandai dengan perhatian dunia internasional pada dampak bencana alam tersebut, yaitu bocornya pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi, karena timbulnya panas yang berlebihan.12,645 hilang.
Salah seorang saksi mata, yaitu Martin Mckeown, dari Ishinomaki menjelaskan bahwa sebuah sekolah dasar di Ishinomaki, bagian Utara Jepang telah luluh lantak diterjang gempa dan tsunami. Dia dan seluruh keluarganya terseret tsunami yang tingginya lebih dari 1 meter, saat dia dalam perjalanan pulang ke rumah.
Martin Mckeown berasal dari Otley sebelah Barat Yorkshire, dia hidup di Jepang karena istrinya berasal dari Jepang. Selanjutnya dia melaporkan bahwa Ishinomaki adalah kota yang termasuk cukup parah diterjang bencana itu. Setelah kejadian itu dia bersama keluarganya yag selamat tidur di mobil untuk beberapa hari.
Setelah kejadian itu dia memanjat bukit yang ada disekitarnya dan menyaksikan bahwa kota Ishinomaki telah rusak total dan hilang. Padahal sebelumnya mereka menyaksikan kota itu masih dipenuhi bangunan. Oleh karena itu mereka bersyukur bahwa mereka baru saja selamat dari sapuan gelombang raksasa yang menerjang kota mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)