Selasa, 01 November 2011

Teh Tawar Hangat


Semenjak  beberapa bulan silam  Sasmito ditinggal istrinya menghadap Illahi,  lelaki muda itu terus saja mengunci mulutnya. Tiap hari, pagi pagi benar dia sudah menyapu halaman rumahnya yang cukup luas dari sampah plastik, daun mangga kering dan bungkus makanan anak anak yang dibuang begitu saja oleh anak anak tetangganya.  Dia tetap mengunci mulut, sorot mata dan senyumnya.
Namun belakangan ini, dia berubah sikapnya lantaran dia melihat semakin banyak sampah yang menumpuk  di halaman rumahnya. Maka pagi hari ini  lelaki muda itu menyapu dengan agak membanting bantingkan tangkai sapu lidinya dan menjadi sering memaki kepada banyak  orang.
“Kamu buang saja bungkus makananmu ke tempat sampah di sebrang jalan sana !” sesekali lelaki tua itu menunjamkan keberanganya kepada anak anak tetangganya yang kerap main di halaman  rumahnya yang hanya beralas tanah liat yang mengeras, dengan disana sini masih ditumbuhi ilalang yang meranggas.
Tapi memang dasar anak, betapapun lelaki kesepian itu dongkol dan marah, tetap saja mereka masih anak anak. Mereka itu adalah sosok yang mampu menyerap segala sesuatu dengan pembelajaran yang berkelanjutan dan sedikit demi sedikit.
***
“Apa perlu aku buat papan pengumuman yang besar, agar semua anak anak itu tidak membuang sampah di halaman rumah saya, Pak RT ?” . Suatu pagi, Pak RT mendapat giliran menjadi sasaran makian , setelah beberapa hari lalu beberapa warganya sudah kena getahnya.
“Ah, tidak perlu repot repot Pak  Sas !, hanya masalah sepele seperti itu cukup dengan pendekatan kekeluargaan saja, agar tidak menimbulkan dendam  tetangga “
“Aku sudah tak sabar lagi !”
“Jangan emosi dulu Pak Sas!, semuakan bisa dirembug, mereka cuma anak anak !”
“Tapi ini sungguh keterlaluan, mereka semakin berani saja dengan aku”
“Ini hanya perasaan Pak Sasmito saja, mereka kan belum tahu kalau Pak Sas marah. Lagian selama ini Pak Sas kan tidak pernah  menegur mereka. Pak Sas hanya diam membisu setiap kali di tengah mereka dan tetangga kita semua”
Mata lelaki muda itu perlahan meredup,  jaket lusuh yang kerap menutupi tubuhnya kini dilepas dan tak lama dia menyandarkan seluruh punggungnya di sofa berkulit hijau di ruang tamu rumah Pak RT. Pak RT masih terlihat menyunggingkan seberkas senyum di wajahnya yang sudah mulai dipenuhi kulit yang melonggar. Sebuah  senyuman yang mampu menyihir wajah laki laki muda itu tidak seperti semula, yang membara ditusuk bara api.
Serpihan bara api kini sudah terlumat ditelikung angi pagi di Hari Minggu kala itu, Pak RT segera mempersilakan Pak Sas untuk meneguk teh tawar hangat yang berada persis di depanya. Singkong rebus berwarna agak keruh, lantaran sudah agak tua, kini masih mengepulkan asapnya, bersma dengan teh hangat tawar kini mampu menjadi kawan mereka . Kabut pagi yang semula menyamarkan pandangan mereka kini berganti dengan kuning sinar mentari. Namun dalam hati laki laki muda itu, masih saja terselip rasa rindu yang berat pada istrinya yang kini sedang bermandi air bunga di cakrawala senja.
“Pak Sas, sedang  galau karena rindu, kan ?” Sepotong kalimat dari Pak RT meluncur begitu saja hingga jauh menunjam ke jantung Pak Sas. Namun tiada sedikitpun Pak RT takut bila Pak Sas terluka hatinya dengan pertanyaanya itu. Lantaran beberapa tahun silam dia juga pernah ditinggal istrinya menghadap Illahi. Kala itu Pak RT ingin segera meruntuhkan langit biru atau menghentikan perputaran bumi, agar semua manusia merasakan penderitaan sama seperti dirinya.
“Pak Sas, aku juga pernah merasakan seperti anda, dan kini rindu itu belum semuanya sirna. Apalagi bila aku berada di tengah anak anaku. Tapi mau apa lagi kita, hanya tulang dan daging yang tak berdaya menghadapi suratan takdir.
Sasmito mulai menyemaikan bunga berseri di hatinya, ketimbang beberapa saat yang lalu, hatinya hanya dipenuhi belukar yang mernggas. Diapun mulai menemukan kawan curhat, untuk menyiram bara api rindu  yang membakar dinding  jantungnya, beberapa teguk teh hangat tawar kini sudah memenuhi tenggorokanya.

Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi untuk Indonesiaku


Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun masih kentara, menghitami
hamparan sawah ladang, dan menenggelamkan
kuning permadani padi, dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah perut  mereka yang meradang
seakan menggenggam hasrat, untuk membelah
dinding perut mereka sendiri.....
di tengah mereka itulah Indonesiaku berdiri kokoh

Telah beberapa lama pagi itu, mereka
yang bertopi “caping” dan bercelana kumal
telah lalai membenahi  pagi, dengan sarapan nasi hangat
dan sajian teh manis.

Namun mereka malah bersikokoh untuk
menghempaskan pagi dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah mereka mentah mentah
bukankah gubug bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat bersemayam ilalang
yang ada di  Ibu Pertiwi

Mengapa atap rumbai rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan “Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan “Timika” bersatu dalam seduhan
cincin api....lantas akan kau ubah
menjadi naga-naga bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja korban”  dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris bulu kuduk.....

Saat  relung  waktu masih  melilit perjalanan panjang kita
hingga berada tepat  di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun masih  menggapai kedua tanganya
lantaran  atmosfer  di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah garang, tanpa berdandan ramah
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Meniti Awan- Awan Hitam

Kita rapikan awan- awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang gendang telinga
pada lidah lidah kelu,  yang berkerah putih
dan bersepatu “pantofel” dengan senyum “perlente”

Di tengah perhelatan sumbang
dari anak negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata menghadap rumah berarsitek
negeri impian, mereka sempat bergumam
biar saja sang abang becak menghangus diterkam
panasnya mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam kubangan lumpur menghitam


Kita adalah anak negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada “Puncak Jaya Wijaya”
namun kita harus  tetap mentautkan benang sutra titian
menuju cakrawala yang ditengahnya berdiri
rumah sederhana namun kokoh
tempat bermain anak anak kita..

Jangan kita  surutkan apa yang kita miliki
hanya karena  awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita terpagut pada asa yang samar
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Takan Pernah Usai

Bergeraklah dan terus bergerak
daun nyiur di tepi pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai, pada muara sungai sungai
bening beraroma khatulistiwa

Teruslah melejit seperti anak panah
pergantian arah angin muson
karena dari sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah mengusung teriakan panjang
yang tak pernah membusung dada kita

kita takan pernah berhenti......
menghembuskan iklim sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di sawah ladang,
tanpa prahara dan suara burung sumbang.
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Jumat, 21 Oktober 2011

Butir Hujan Di Pegunungan Padas


Arah  angin belum menunjukan arah yang ramah, hanya terlihat daun daun kering Akasia yang beterbangan di tiup angin kemelut di padang bukit padas Rowosari. Sebuah desa yang dilingkungi bukit bukit padas gersang, berpagar hijaun yang meranggas. Mata para penambang batu padas saling membanting sorot mata mereka masing-masing, lantaran mereka menjadi tanpa peduli dengan nasib semua yang ada disekelilingnya.

Matahari siang ini kembali menelan mereka hidup hidup, tanpa mengenal kasihan pada kulit yang telah melegam gelap. Namun mereka semua harus mengakrabi dengan sinar matahari yang tajam menghunjam tubuh mereka. Meski sebagian mereka berkali kali menyeka keringat  yang membasahi kening dan kedua mata mereka. Bahkan  kayu jambu kusam pegangan cangkul mereka kinipun telah basah, entah telah beberapa kali cangkul mereka menunjam bukit cadas, dan berkejaran dengan jarum waktu agar mampu menelan semua bukit padas Rowosari, yang menghidupi mereka.

Bledeg dan kilat berkejaram  muncul hampir sepanjang tadi malam. Sudah saatnya minggu minggu ini, bukit padas menjadi basah.” Dari dalam gua padas yang digempurnya, Karmo berteriak nyaring dengan nafas tersengal. Suatau ungkapan yang terlontar dan menggema ke seluruh dinding gua padas. Namun mereka semua masih nampak terdiam, yang tinggal  hanyalah  mereka berusaha untuk mengatur nafas, agar hidup yang ditopang dengan nafas mereka yang panjang masih mampu direngkuhnya. Sebentur sebentur terdengar dengusan nafas panjang, lantaran cangkul dandang mereka kerap membentur batu padas yang keras.

“Hei, Karmo, bukan hujan yang menjadi perhatian kita, tapi jalan jalan di desa kita yang berubah menjadi “kubangan kerbau” bila hujan turun, itulah yang harus kita pecahkan bersama.  Jangan seperti di  musim hujan tahun kemarin ,  kita semua harus melangkah surut”. Kasno sengaja mencuri waktu untuk memunguti nafasnya kembali, yang telah dibuangnya sejak pagi tadi. Dandang yang menjadi saksi semangat hidupnya, kini dia letakan di sampingnya. Tidak berapa lama mengepulah asap tembakau racikan yang memenuhi mulut gua.

Kini semua penambang itu menjadi tergelitik hatinya untuk gabung. Awan hitam mulai berdatangan dari arah barat, asap tembakau yang terbakar mulai menusuk hidung mereka masing, isapan demi isapan tak terasa terus menjadi karib mereka dalam menguntai cocktale party antara mereka yang menyelipkan hidup di tengah tebing bukit padas yang curam.

“Kalau bisa tahun ini kita tidak usah melangkah surut lagi” Tegas Kasan ditengah kerumunan penambang padas, yang asik melakukan konferensi kecil kecilan, demi sehelai nafkah mereka yang tidak ditebas rusaknya jalan tanah yang melintang di tengah Desa Rowosari itu.

“Ah, tapi apa daya kita, San !, hanya sekumpulan ilalang yang tidak punya tulang untuk berdiri”. Memelas di raut wajah Rofi’i terlihat jelas di tengah guratan wajahnya yang sudah uzur, namun dia masih membiayai sekolah beberapa anaknya.

“Ya, gimana lagi Kang Rofi.i, upaya kita hanya bisa menyampaikan pada Pak Lurah. Pak Lurahpun hanya bisa menyampaikan pada Pak Bupati”. Mereka semua sekarang menjadi anggota konferensi yang hanya mampu saling pandang, setelah mendengar penuturan Kasan.

“Yang jelas aku sudah tidak mau lagi merantau ke Jakarta, disana nasibku juga tidak lebih baik dibanding di desa ini. Berapa sih penghasilan penambang pasir di kota yang kejam itu?”.   lenguh nafas panjang dari Kasmo mencabik semua jantung penambang padas yang hadir di tengah hari itu, lantaran mereka juga bernasib sama dengan Kasmo, yang berusaha menundukan kekejaman hidup mereka. Keluhan itu juga melenting menyergap beberapa penambang padas yang sedang menciut hatinya, menghadapi rusaknya jalan desa bila hujan kembali mencabik jalan desa itu.


2
“SPP untuk anak kita serta kebutuhan lainnya, tidak mengenal hujan dan kemarau. Apa mereka semua mengerti nasib kita?. Apa bupati, pak lurah atau pimpinan partai mengerti nasib kita ?, yang bergantung dengan jalan desa ini?”. Hamzah berteriak dengan membanting banting dandangnya pada dinding gua padas.

“Sudahlah, Hamzah !. Percuma saja kamu mengutuk nasibmu sendiri. Yang penting bagaimana kita bisa menemukan cara untuk mengaspal jalan Rowosari ini. Sehingga dumptruck bisa masuk ke bukit ini, meskipun di tengah musih hujan “

“Lantas, bagaimana cara kita ?” sahut Kasno.

Mendung hitam tambah menyelimuti langit bukit padas Rowosari, tapi mereka semua tidak terpengaruh dengan datangnya mendung itu,Mereka kini mulai memeras otak demi sebuah langkah. Langkah mereka yang berusaha menimbun kerikil pada lobang kubangan kerbaupun sia-sia diterpa butir hujan tahun kemarin. Kubangan kerbau itupun semakin hari semakin luas, padahal hujan pada tahun kemarin tidak mau tahu nasib ilalang yang tumbuh di bukit padas. Butir butir hujan satu tahun penuh telah meluluhlantakan harapan.Merekapun hanya mampu melangkah surut, melihat jalan itu bagai ladang ditumbuhi belukar. Hingga akhirnya mereka hanya menggantungkan dandang dengan wajah pucat dan lidah kelu.

***
Jarum detik tanpa mau menoleh ke belakang terus memagut jam, hari dan minggu. Butir hujan masih malu untuk menelanjangi wajah bukit padas Rowosari, tiap hari masih banyak dumptruk yang mengantarkan sesuap nasi bagi ilalang bukit padas itu, meski dumptruk itu mulai terseok ditelan beberapa kubangan yang mulai menganga. Konferensi penambang padaspun sudah digelar tiap hari, saat mereka melepas lelah sembari menghabiskan bekal makan siang yang sederhana. Namun keluh hati merekapun belum bisa menembus gendang telinga pejabat daerah ataupun petinggi partai. Meski mereka kesal namun merekapun sadar, bahwa tidak selamanya hidup yang mereka usung  semata ditentukan oleh dandang mereka sendiri.

            Sekali sekali mereka harus menautkan bilah ilalang itu satu sama lainnya demi berputarnya cakrawala kehidupan mereka sendiri. Hingga akhirnya merekapun kini bisa menghadirkan pak lurah dengan staf  kecamatan untuk bersama membungkam kubangan kerbau.

            “Semua keluh kesah sudah bertahun aku dengar, maka sayapun berkali menanyakan pada Pak Bupati untuk segera mengalokasikan dana. Nampaknya hingga saat ini belum ada kepastian pengerasan jalan” tutur Pak Luah dengan suara berat tetapi datar, suatu tanda bahwa diapun sudah cukup lelah dalam memperjuangkan nasib warganya.

            Semua penembang pasir yang hadir hanya mampu melempar sorot mata kepada Pak Lurah, sebagian lagi hanya menggeserkan tempat duduk mereka karena menyimpan kegalauan hati yang mendalam.

            “Pak Lurah !, apa kami harus menganggur selama hujan terus mendera desa kita ?. Untuk kerja di Kota Semarang atau Jakarta kamipun tidak punya ketrampilan apapun?”
           
            ‘”Sabar, Kang Rofi’i !, kita masih punya cara lain asal saudara saudara setuju”
            “Maksud Pak Lurah bagaimana ?” Kasan menukas ucapan Pak Lurah
            “Kita harus mampu melakukan pengerasan jalan dengan swadana, bagaimana bapak bapak ? , setuju ????“. Wajah Pak Lurah mulai dihiasi dengan senyuman yang ramah.
            “Kami semua warga yang tidak mampu, tentunya program Pak Lurah memerlukan dana yang besar, terus terang saja kami tidak mampu” sahut Kasno.
            “Untuk makan saban hari saja kami kelimpungan” Kasmo meneruskan
            “Biaya program itu memang besar, tapi dana itu tidak kami ambilkan langsung dari kantong  bapak  bapak. Oleh karena itu  program ini memerlukan tempo yang lama. Bapak bapak harus sabar, tegar dan tetap bergotong royong, baik tenaga, waktu dan pikiran” Pak Lurah kembali lagi menyakinkan mereka semua.

3

            “Ah, Pak Lurah jadi nggak serius ?” Kasan mencoba untuk mengerti lebih jelas ucapan Pak Luah.
            “Lantas kami harus bagaimana, Pak Lurah ?” jawab Hamzah.
            “Terus terang saja, Pak !. Agar kami mengerti maksud Pak Lurah” sahut Kasmo.
            “Sebentar lagi musim hujan Pak !, kami sudah tidak main main lagi” potong Hamzah. !. Agar kami mengerti maksud Pak Lurah"us mengangkat tanganya agar semua [eserta konferensi ilalalng buki

Mereka saling celoteh seperti celoteh jalak, kutilang, derkuku di pasar burung. Sehingga Pak Lurahpun harus menghentikan pidatonya, sambil terus mengangkat tanganya agar semua peserta konferensi ilalang bukit padas mau menahan diri.

            “Kalau bapak bapak tidak bersedia sabar, gimana saya bisa menyelesaikan ini semua. Sabar dulu tho, pak !. Maksud swadana itu, bapak bapak bisa mendapatkan dana dengan cara menurunkan harga padas. Bila biasanya 1 drumtruk padas kita hargai seratus lima puluh ribu, cobalah diturunkan menjadi seratus empat puluh ribu, dengan catatan yang sepulur ribu dimasukan kas”

            “Wah..wah..wah..betul juga Pak Lurah “
            “Wow…mengapa tidak dari dulu Pak Lurah tidak mengusulkan demikian !”
            “Pak Karmo !, dulu kita kan dijanjikan Pak Bupati kala dia kampanye nyalon bupati, sekarang setelah jadi, mana janjinya !!!”.
            “Ya… sudahlah, kalau masalah janji bukan hanya pak bupati saja, banyak caleg yang kala itu juga berjanji membantu nasib kami. Tetapi setelah 2 tahun mereka duduk di dewan, mana janjinya ?. Yang penting segera saja Pak Lurah mulai menyiapkan ini semua. Kami semua orang tidak makan bangku sekolah, jadi kami tidak bisa banyak berbuat” seru Kasan.
            “Tapi program ini akan makan waktu lama, Pak Lurah !. Padahal minggu minggu depan  hujan  mulai deras. Terus bagaimana ini ?” Tanya Kang Rofi’I kepada semua anggota konferensi.
            “Kang Rofi’I, dana yang sudah masuk, langsung kita gunakan untuk menyemen jalan yang berlubang, secara bergantian  terus menerus akhirnya kita akan memiliki jalan desa permanen dengan semenisasi “
            “Kapan ini dimulai , Pak Luah ?”
            “Secepatnya, Pak Kasno !, kita kan harus mengedarkan surat pemberitahuan pada semua sopir dumptruk, proposal pada Pak Camat dan menyiapkan tenaga penarikan restribusi dari kelurahan. Pokoknya dalam minggu minggu ini, program kita bisa dimulai,  saya janji !”
           
Wajah beringas, lusuh dan bertatap mata dingin, kini telah berubah menjadi wajah yang sejuk setelah mereka semua menyepakati, berdiri di kaki sendiri untuk mencari secercah pengharapan di bukit padas Rowosari. Butir hujan yang selama ini meluluhlantkan jalan desa satu satunya , kini tidak lagi mereka takuti.