Arah
angin belum menunjukan arah yang ramah, hanya terlihat daun daun kering
Akasia yang beterbangan di tiup angin kemelut di padang bukit padas Rowosari.
Sebuah desa yang dilingkungi bukit bukit padas gersang, berpagar hijaun yang
meranggas. Mata para penambang batu padas saling membanting sorot mata mereka
masing-masing, lantaran mereka menjadi tanpa peduli dengan nasib semua yang ada
disekelilingnya.
Matahari siang ini kembali menelan
mereka hidup hidup, tanpa mengenal kasihan pada kulit yang telah melegam gelap.
Namun mereka semua harus mengakrabi dengan sinar matahari yang tajam menghunjam
tubuh mereka. Meski sebagian mereka berkali kali menyeka keringat yang membasahi kening dan kedua mata mereka.
Bahkan kayu jambu kusam pegangan cangkul
mereka kinipun telah basah, entah telah beberapa kali cangkul mereka menunjam
bukit cadas, dan berkejaran dengan jarum waktu agar mampu menelan semua bukit
padas Rowosari, yang menghidupi mereka.
“Bledeg dan kilat berkejaram muncul hampir sepanjang tadi malam. Sudah
saatnya minggu minggu ini, bukit padas menjadi basah.” Dari dalam gua padas
yang digempurnya, Karmo berteriak nyaring dengan nafas tersengal. Suatau
ungkapan yang terlontar dan menggema ke seluruh dinding gua padas. Namun mereka
semua masih nampak terdiam, yang tinggal
hanyalah mereka berusaha untuk
mengatur nafas, agar hidup yang ditopang dengan nafas mereka yang panjang masih
mampu direngkuhnya. Sebentur sebentur terdengar dengusan nafas panjang,
lantaran cangkul dandang mereka kerap membentur batu padas yang keras.
“Hei, Karmo, bukan hujan yang menjadi perhatian
kita, tapi jalan jalan di desa kita yang berubah menjadi “kubangan kerbau” bila
hujan turun, itulah yang harus kita pecahkan bersama. Jangan seperti di musim hujan tahun kemarin , kita semua harus melangkah surut”. Kasno
sengaja mencuri waktu untuk memunguti nafasnya kembali, yang telah dibuangnya
sejak pagi tadi. Dandang yang menjadi saksi semangat hidupnya, kini dia
letakan di sampingnya. Tidak berapa lama mengepulah asap tembakau racikan
yang memenuhi mulut gua.
Kini semua penambang itu menjadi
tergelitik hatinya untuk gabung. Awan hitam mulai berdatangan dari arah barat,
asap tembakau yang terbakar mulai menusuk hidung mereka masing, isapan demi
isapan tak terasa terus menjadi karib mereka dalam menguntai cocktale party antara
mereka yang menyelipkan hidup di tengah tebing bukit padas yang curam.
“Kalau bisa tahun ini kita tidak usah
melangkah surut lagi” Tegas Kasan ditengah kerumunan penambang padas, yang asik
melakukan konferensi kecil kecilan, demi sehelai nafkah mereka yang tidak
ditebas rusaknya jalan tanah yang melintang di tengah Desa Rowosari itu.
“Ah, tapi apa daya kita, San !, hanya sekumpulan
ilalang yang tidak punya tulang untuk berdiri”. Memelas di raut wajah Rofi’i
terlihat jelas di tengah guratan wajahnya yang sudah uzur, namun dia masih
membiayai sekolah beberapa anaknya.
“Ya, gimana lagi Kang Rofi.i, upaya kita
hanya bisa menyampaikan pada Pak Lurah. Pak Lurahpun hanya bisa menyampaikan
pada Pak Bupati”. Mereka semua sekarang menjadi anggota konferensi yang hanya
mampu saling pandang, setelah mendengar penuturan Kasan.
“Yang jelas aku sudah tidak mau lagi
merantau ke Jakarta, disana nasibku juga tidak lebih baik dibanding di desa ini.
Berapa sih penghasilan penambang pasir di kota yang kejam itu?”. lenguh
nafas panjang dari Kasmo mencabik semua jantung penambang padas yang hadir di
tengah hari itu, lantaran mereka juga bernasib sama dengan Kasmo, yang berusaha
menundukan kekejaman hidup mereka. Keluhan itu juga melenting menyergap
beberapa penambang padas yang sedang menciut hatinya, menghadapi rusaknya jalan
desa bila hujan kembali mencabik jalan desa itu.
2
“SPP untuk anak kita serta kebutuhan
lainnya, tidak mengenal hujan dan kemarau. Apa mereka semua mengerti nasib kita?.
Apa bupati, pak lurah atau pimpinan partai mengerti nasib kita ?, yang
bergantung dengan jalan desa ini?”. Hamzah berteriak dengan membanting banting
dandangnya pada dinding gua padas.
“Sudahlah, Hamzah !. Percuma saja kamu
mengutuk nasibmu sendiri. Yang penting bagaimana kita bisa menemukan cara untuk
mengaspal jalan Rowosari ini. Sehingga dumptruck bisa masuk ke bukit
ini, meskipun di tengah musih hujan “
“Lantas, bagaimana cara kita ?” sahut
Kasno.
Mendung hitam tambah menyelimuti langit
bukit padas Rowosari, tapi mereka semua tidak terpengaruh dengan datangnya
mendung itu,Mereka kini mulai memeras otak demi sebuah langkah. Langkah mereka
yang berusaha menimbun kerikil pada lobang kubangan kerbaupun sia-sia diterpa
butir hujan tahun kemarin. Kubangan kerbau itupun semakin hari semakin luas,
padahal hujan pada tahun kemarin tidak mau tahu nasib ilalang yang tumbuh di
bukit padas. Butir butir hujan satu tahun penuh telah meluluhlantakan harapan.Merekapun
hanya mampu melangkah surut, melihat jalan itu bagai ladang ditumbuhi belukar.
Hingga akhirnya mereka hanya menggantungkan dandang dengan wajah pucat dan
lidah kelu.
***
Jarum detik tanpa mau menoleh ke
belakang terus memagut jam, hari dan minggu. Butir hujan masih malu untuk
menelanjangi wajah bukit padas Rowosari, tiap hari masih banyak dumptruk yang
mengantarkan sesuap nasi bagi ilalang bukit padas itu, meski dumptruk itu mulai
terseok ditelan beberapa kubangan yang mulai menganga. Konferensi penambang
padaspun sudah digelar tiap hari, saat mereka melepas lelah sembari
menghabiskan bekal makan siang yang sederhana. Namun keluh hati merekapun belum
bisa menembus gendang telinga pejabat daerah ataupun petinggi partai. Meski
mereka kesal namun merekapun sadar, bahwa tidak selamanya hidup yang mereka
usung semata ditentukan oleh dandang
mereka sendiri.
Sekali sekali mereka harus menautkan bilah ilalang itu
satu sama lainnya demi berputarnya cakrawala kehidupan mereka sendiri. Hingga akhirnya
merekapun kini bisa menghadirkan pak lurah dengan staf kecamatan untuk bersama membungkam kubangan
kerbau.
“Semua keluh kesah sudah bertahun aku dengar, maka
sayapun berkali menanyakan pada Pak Bupati untuk segera mengalokasikan dana.
Nampaknya hingga saat ini belum ada kepastian pengerasan jalan” tutur Pak Luah
dengan suara berat tetapi datar, suatu tanda bahwa diapun sudah cukup lelah
dalam memperjuangkan nasib warganya.
Semua penembang pasir yang hadir hanya mampu melempar
sorot mata kepada Pak Lurah, sebagian lagi hanya menggeserkan tempat duduk
mereka karena menyimpan kegalauan hati yang mendalam.
“Pak Lurah !, apa kami harus menganggur selama hujan
terus mendera desa kita ?. Untuk kerja di Kota Semarang atau Jakarta kamipun
tidak punya ketrampilan apapun?”
‘”Sabar, Kang Rofi’i !, kita masih punya cara lain asal
saudara saudara setuju”
“Maksud Pak Lurah bagaimana ?” Kasan menukas ucapan Pak
Lurah
“Kita harus mampu melakukan pengerasan jalan dengan
swadana, bagaimana bapak bapak ? , setuju ????“. Wajah Pak Lurah mulai dihiasi
dengan senyuman yang ramah.
“Kami semua warga yang tidak mampu, tentunya program Pak
Lurah memerlukan dana yang besar, terus terang saja kami tidak mampu” sahut
Kasno.
“Untuk makan saban hari saja kami kelimpungan” Kasmo
meneruskan
“Biaya program itu memang besar, tapi dana itu tidak kami
ambilkan langsung dari kantong bapak bapak. Oleh karena itu program ini memerlukan tempo yang lama. Bapak
bapak harus sabar, tegar dan tetap bergotong royong, baik tenaga, waktu dan
pikiran” Pak Lurah kembali lagi menyakinkan mereka semua.
3
“Ah, Pak Lurah jadi nggak serius ?” Kasan mencoba untuk
mengerti lebih jelas ucapan Pak Luah.
“Lantas kami harus bagaimana, Pak Lurah ?” jawab Hamzah.
“Terus terang saja, Pak !. Agar kami mengerti maksud Pak
Lurah” sahut Kasmo.
“Sebentar lagi musim hujan Pak !, kami sudah tidak main
main lagi” potong Hamzah. !. Agar kami
mengerti maksud Pak Lurah"us mengangkat tanganya agar semua [eserta
konferensi ilalalng buki
Mereka saling celoteh seperti celoteh
jalak, kutilang, derkuku di pasar burung. Sehingga Pak Lurahpun harus
menghentikan pidatonya, sambil terus mengangkat tanganya agar semua peserta
konferensi ilalang bukit padas mau menahan diri.
“Kalau bapak bapak tidak bersedia sabar, gimana saya bisa
menyelesaikan ini semua. Sabar dulu tho, pak !. Maksud swadana itu, bapak bapak
bisa mendapatkan dana dengan cara menurunkan harga padas. Bila biasanya 1
drumtruk padas kita hargai seratus lima puluh ribu, cobalah diturunkan menjadi
seratus empat puluh ribu, dengan catatan yang sepulur ribu dimasukan kas”
“Wah..wah..wah..betul
juga Pak Lurah “
“Wow…mengapa
tidak dari dulu Pak Lurah tidak mengusulkan demikian !”
“Pak
Karmo !, dulu kita kan dijanjikan Pak Bupati kala dia kampanye nyalon bupati,
sekarang setelah jadi, mana janjinya !!!”.
“Ya…
sudahlah, kalau masalah janji bukan hanya pak bupati saja, banyak caleg yang
kala itu juga berjanji membantu nasib kami. Tetapi setelah 2 tahun mereka duduk
di dewan, mana janjinya ?. Yang penting segera saja Pak Lurah mulai menyiapkan
ini semua. Kami semua orang tidak makan bangku sekolah, jadi kami tidak bisa
banyak berbuat” seru Kasan.
“Tapi
program ini akan makan waktu lama, Pak Lurah !. Padahal minggu minggu
depan hujan mulai deras. Terus bagaimana ini ?” Tanya
Kang Rofi’I kepada semua anggota konferensi.
“Kang
Rofi’I, dana yang sudah masuk, langsung kita gunakan untuk menyemen jalan yang
berlubang, secara bergantian terus
menerus akhirnya kita akan memiliki jalan desa permanen dengan semenisasi “
“Kapan
ini dimulai , Pak Luah ?”
“Secepatnya,
Pak Kasno !, kita kan harus mengedarkan surat pemberitahuan pada semua sopir
dumptruk, proposal pada Pak Camat dan menyiapkan tenaga penarikan restribusi
dari kelurahan. Pokoknya dalam minggu minggu ini, program kita bisa
dimulai, saya janji !”
Wajah beringas, lusuh dan bertatap mata dingin,
kini telah berubah menjadi wajah yang sejuk setelah mereka semua menyepakati,
berdiri di kaki sendiri untuk mencari secercah pengharapan di bukit padas
Rowosari. Butir hujan yang selama ini meluluhlantkan jalan desa satu satunya ,
kini tidak lagi mereka takuti.