Selasa, 01 November 2011

Bulir Bulir Padi


Sawah ladang yang mulai basah telah menjadi saksi, saat mereka harus sigap dengan  langkah kaki ke depan, lantaran mereka semua adalah petani kecil yang hanya mampu menitipkan hidupnya pada perguliran musim, Saat Angin Muson Barat mendera, mereka segera membenamkan seluruh kaki kakinya pada air sawah. Sehingga mereka yang  berdagang di kota besar, segera meninggalkan kotanya, untuk segera menyemai penghidupan dengan butir butir padi di sawah mereka yang tidak begitu luas. Namun bila sawah mereka diterkam kemarau panjang, merekapun segera balik lagi ke kota untuk berdagang mi ayam, mi bakso, panganan untuk anak anak SD dan apapun yang mereka mampu lakukan. Saat itu angin tenggara melempar mereka jauh jauh dan entah kemana mereka akan terdampar. Seperti biji biji ilalang yang kecil dan ringan kala terhempas angin kemarau.
Inilah nafas hidup desa tempat kelahiran  mereka,  meski tidak seluruh penghidupanya dikemas di desa ini. Mereka  yang tidak mengenal pangkat dan jabatan, tidak mengenal jenjang karir apalagi gaji ke 13 atau tunjangan prestasi dan apapun yang dimiliki oleh pekerja-pekerja kantoran. Aalagi korupsi uang negara. Mereka hanya akrab dengan lenguh sapi perahan dengan Kolonjono yang tumbuh di pekarangan samping rumahnya.       
Saat ini kembali angin Barat  menjenguk penghuni desa itu dengan titik titik hujan yang terusung,  sehingga pagi mulai berkabut, jalan dan pematang yang malang melintang di tengah sawah mulai ramai. Deru knalpot traktor  menyalak ,  namun burung burung bangau yang ada di seputarnya tidak memperdulikanya. Mereka lebih peduli pada yuyu dan ikan ikan kecil unuk sekedar mengganjal perutnya. Seakan mereka tahu persis apa yang dilakukan oleh petani petani itu dan merekapun menirunya. Namun yang mampu dilakukan oleh burung burung itu hanyalah memburu musim hujan. Meski beberapa tahun belakangan ini mereka menjadi tak mengerti,  lantaran mereka sering menjumpai hujan yang berkawan dengan badai, atau hujan di tengah kemarau, bahkan mereka juga pernah menjumpai kawanan ulat bulu yang menghabiskan semua dedaunan hijau.
Namun mereka masih bisa terenyum lega,  saat menyaksikan manusia masih terus mengolah tanah yang sudah banyak ditimbuni zat kimia, dengan tanah seperti itu burung burung banagu itu  kini tidak bisa melahap cacing cacing tanah dengan lebih rakus lagi, tidak sperti beberapa tahun silam.
Terminal bus yang lusuh dan berdebu dengan jalan jalan aspal yang menganga di sana sini siap dengan rakus  menelan tubuh tubuh yang terperosok di dalamnya. Terminal bus itu  berada di sudut desa dan mulai terlihat lebih ramai ketimbang hari biasanya.Kerumunan orang tua dan muda bahkan terlihat juga anak anak  yang mulai bereksotis di terminal bus tersebut. Mereka semua adalah petani yang kembali ke desa, untuk memburu secercah hidup dari sawah sawah mereka.
Ciri khas yang tidak bisa disembunyikan dari mereka, adalah kulit yang hitam melegam dengan bahu yang kekar. Namun raut wajah yang pasrah masih terus melekatnya. Diantara mereka adalah suami istri Hananto dan Kadarwati.
***

2
Belahan langit yang mengungkungi desa itu semalam telah mengirim titik hujan hingga pagi, kembang api alam terus saja silih berganti memagut desa itu. Kini pagi telah menyingkap mendung mendung gelap, sehingga keluarga muda petani Hananto dan istrinya Kadarwati sigap berseri mengawali kehidupan ini.
Sudah beberapa ratus meter jalan desa yang berbatu telah mereka lalui, tanpa suatu alas kakipun.  Sementara jalan yang terhampar di depanya kini hanyalah jalan pematang, yang malang melintang membelah sawah menjadi petak petak yang rapi, senyum beberapa karib, kawan sepermainan selalu menghiasi wajah mereka yang tumpah di sawah itu. Hananto yang baru pagi ini, menapakan kakinya di sawahnya yang terletak di tengah hamparan sawah yang nampak tak bertepi, segera melemparkan senyum rindu pada teman teman sepermainan. Teman yang dahulunya sering bermain  “wayang orang dan gamelan jawa” di tengah padang gersang, kala kemarau memagutnya. Di bawah bulan purnama adalah saat yang hidup untuk anak anak desa bermain wayang orang tersebut.
Hananto yang di Jakarta biasa bergelut dengan peluh-peluh pengap, mengais hidup di bawah tenda tenda plastik di pinggir jalan, menawarkan jasa menjadi buruh permak jean dan Kadarwati yang menjual bensin eceran disampingnya, kini bagaikan anak ingusan yang berada di tengah petani petani yang menenggelamkan diri dengan lumpur sawah, kerbau, gerimis dan terkaman matahari.
Sawah Hananto hanya berisi ilalang kering yang terbakar ganasnya kemarau panjang dan disana sini terlihat ilalang yang mulai menghijau di sela tubuh ilalang lainya  rebah.
“Tanah ini tentunya harus mulai aku balik, mumpung hujan mulai menghidupi sawah kita”. Seberkas  harapan mulai menebal di bilik jantung Hananto, Kadarwati hanya mengangkat kedua tanganya,  suatu isayarat agar suaminya sigap memulai  memunguti kehidupan mereka yang jauh dari sorot sorot mata yang garang,  di tengah knalpot mikrolet Jakarta yang hitam dan menyesakan dada. Kadarwati masih menyodorkan senyuman tawar, meski kehidupan mereka yang masih  terbawa “angin kembara”, bagaikan debu tak berdaya diterbangkan angin padang.
***
“Apa kamu sudah siap menyandarkan hidupmu pada sawah sawah kita, Wati ?”. Sepotong keinginan tahu Hananto dilontarkan pada Kadarwati, yang masih menyapu semua penjuru sawah dengan sorot mata yang masih kelihatan beku dan dingin. Sedingin beranda rumah sederhana mereka yang cukup lama ditinggalkan dan kini tembok tembok dindingnyapun masih menyimpan sepi. Hananto masih saja menunggu jawaban istrinya dengan wajahnya yang diarahkan padanya, meski dia tahu bahwa istrinya telah akrab dengan benturan benturan hidup sejak kecil.
“Itu tergantung kita, Mas !”, seraya merebahkan badanya di kursi bambu, Kadarwati memberikan jawaban.
Hananto tambah mengecil hatinya, berkali- kali dia meneguk kopi hangat yang sekian lama belum tersentuh. Berkali kali pula jantung hatinya berdegup, karena ketidakmampuan Hananto menangkap isarat dari  istrinya. Senja itu Hananto menjadi terpingit dalam ketidaktahuan tentang jawaban istrinya. Kebisuan itu akhirnya membuat dia tersudut , namun
3
semilir angin dingin musim hujan memberinya bisikan, agar dia lebih berani lagi menghadapi resiko apapun.
“Kalau aku gagal panen atau rugi ?”.
“Kapan dirimu berhasil ?, Bukankah kegagalan lebih akrab dengan dirimu, Mas ?”. Hananto terlempar hingga jauh ke ujung langit, sayap sayapnya yang tadinya sudah ditutup rapat rapat. Kini Kadarwati telah merentangkanya, sayap-sayap itu telah membawa Hananto pada kenangan di Bengkulu kala ikut transmigrasi, kala Hananto menjadi nelayan dan episode episode kelam kini hadir di dalam benaknya.
Angin senja musim hujan semakin memagutkan dingin beranda rumah papan itu, bahkan kini lebih berani lagi  mengibaskan rambut Kadarwati yang dibiarkan terurai sebatas pinggang. Hanantopun menjadi terkapar dalam angan berada dipelukan wanita berkulit sawo matang dan berwajah oval itu. Tak lagi senyap dalam jantung Hananto dan kini mulai tumbuh bara asmara milik dewa dewi  kahyangan. Seberkas harapanpun mulai tumbuh dalam benak Hananto.
“Semoga kita berhasil menjadi petani di sini,  seperti semangatku kala aku meninggalkan Jakarta yang pengap, lusuh dan garang”. Hananto mencoba tampil layaknya lelaki gagah dan kekar dan mampu menggendong pujaan hatinya itu hingga  ke tengah peraduan mereka.
“Cobalah bekerja keras seperti teman-temanmu, mereka tak takut hidup menjadi petani, mereka tak takut lagi dengan kegagalan. Karena mereka terbiasa dengan kegagalan, tapi kalau dirimu Mas ! sudah merasa gagal, maka separo dari usahamu telah gagal”
“Tapi apa engkau siap hidup menjadi petani?” . Kembali Hananto menyelipkan sebuah pertanyaan.
“Mengapa tidak kau tanya saja!, apa aku siap menjadi istri seorang menteri ?”. Hananto merasakan sejak saat itu bumi telah berputar terbalik, jawaban istrinya telah memisahkan dirinya dengan apa yang tersimpan dalam lubuk hatinya. Dia sebenarnya tidak takut dengan sebuah kegagalan, tapi dia tidak ingin kegagalan terus saja bergayut di kehidupan isrinya.  Meskipun dia tidak pernah merasakan bangku perguruan tinggi, namun benang benang sutra yang halus dan lembut, tetapi kokoh telah menautkan kedua hati mereka. Maka diapun  berhasrat untuk menyaksikan istrinya selalu hidup bermandikan bunga warna warni.
“Maksud kamu bagaimana, Wati ?”
“Bila manusia diberi kebebasan untuk memilih takdirnya, maka aku akan memilih jadi istri seorang mentri atau gubernur atau sekalian menjdi ibu negara. Tetapi karena suratan takdir yang harus kita jalani seperti ini. Tidak ada jalan lain kecuali aku harus siap dengan yang aku mampu jalani “
Rembulan yang tadinya berada di ketiak awan, kini berwajah bundar di pusari angin malam. Rumah papan itupun menjadi sepi.
***

4
Entah sudah berapa ratus kali cangkul Hananto dan beberapa buruhnya membentur dan membalikan tanah dan lumpur sawah yang berwarna kecoklatan karena bercampur dengan jerami yang mengering di musim kemarau silam. Tiada lagi deru debu menerpa tubuhnya yang tiada seberapa kokohnya. Hanantopun terus bercengkerama dengan Angin Muson yang mengirimnya hujan, guna mengokohkan bahtera rumah tangganya dengan Kadarwati.

Teh Tawar Hangat


Semenjak  beberapa bulan silam  Sasmito ditinggal istrinya menghadap Illahi,  lelaki muda itu terus saja mengunci mulutnya. Tiap hari, pagi pagi benar dia sudah menyapu halaman rumahnya yang cukup luas dari sampah plastik, daun mangga kering dan bungkus makanan anak anak yang dibuang begitu saja oleh anak anak tetangganya.  Dia tetap mengunci mulut, sorot mata dan senyumnya.
Namun belakangan ini, dia berubah sikapnya lantaran dia melihat semakin banyak sampah yang menumpuk  di halaman rumahnya. Maka pagi hari ini  lelaki muda itu menyapu dengan agak membanting bantingkan tangkai sapu lidinya dan menjadi sering memaki kepada banyak  orang.
“Kamu buang saja bungkus makananmu ke tempat sampah di sebrang jalan sana !” sesekali lelaki tua itu menunjamkan keberanganya kepada anak anak tetangganya yang kerap main di halaman  rumahnya yang hanya beralas tanah liat yang mengeras, dengan disana sini masih ditumbuhi ilalang yang meranggas.
Tapi memang dasar anak, betapapun lelaki kesepian itu dongkol dan marah, tetap saja mereka masih anak anak. Mereka itu adalah sosok yang mampu menyerap segala sesuatu dengan pembelajaran yang berkelanjutan dan sedikit demi sedikit.
***
“Apa perlu aku buat papan pengumuman yang besar, agar semua anak anak itu tidak membuang sampah di halaman rumah saya, Pak RT ?” . Suatu pagi, Pak RT mendapat giliran menjadi sasaran makian , setelah beberapa hari lalu beberapa warganya sudah kena getahnya.
“Ah, tidak perlu repot repot Pak  Sas !, hanya masalah sepele seperti itu cukup dengan pendekatan kekeluargaan saja, agar tidak menimbulkan dendam  tetangga “
“Aku sudah tak sabar lagi !”
“Jangan emosi dulu Pak Sas!, semuakan bisa dirembug, mereka cuma anak anak !”
“Tapi ini sungguh keterlaluan, mereka semakin berani saja dengan aku”
“Ini hanya perasaan Pak Sasmito saja, mereka kan belum tahu kalau Pak Sas marah. Lagian selama ini Pak Sas kan tidak pernah  menegur mereka. Pak Sas hanya diam membisu setiap kali di tengah mereka dan tetangga kita semua”
Mata lelaki muda itu perlahan meredup,  jaket lusuh yang kerap menutupi tubuhnya kini dilepas dan tak lama dia menyandarkan seluruh punggungnya di sofa berkulit hijau di ruang tamu rumah Pak RT. Pak RT masih terlihat menyunggingkan seberkas senyum di wajahnya yang sudah mulai dipenuhi kulit yang melonggar. Sebuah  senyuman yang mampu menyihir wajah laki laki muda itu tidak seperti semula, yang membara ditusuk bara api.
Serpihan bara api kini sudah terlumat ditelikung angi pagi di Hari Minggu kala itu, Pak RT segera mempersilakan Pak Sas untuk meneguk teh tawar hangat yang berada persis di depanya. Singkong rebus berwarna agak keruh, lantaran sudah agak tua, kini masih mengepulkan asapnya, bersma dengan teh hangat tawar kini mampu menjadi kawan mereka . Kabut pagi yang semula menyamarkan pandangan mereka kini berganti dengan kuning sinar mentari. Namun dalam hati laki laki muda itu, masih saja terselip rasa rindu yang berat pada istrinya yang kini sedang bermandi air bunga di cakrawala senja.
“Pak Sas, sedang  galau karena rindu, kan ?” Sepotong kalimat dari Pak RT meluncur begitu saja hingga jauh menunjam ke jantung Pak Sas. Namun tiada sedikitpun Pak RT takut bila Pak Sas terluka hatinya dengan pertanyaanya itu. Lantaran beberapa tahun silam dia juga pernah ditinggal istrinya menghadap Illahi. Kala itu Pak RT ingin segera meruntuhkan langit biru atau menghentikan perputaran bumi, agar semua manusia merasakan penderitaan sama seperti dirinya.
“Pak Sas, aku juga pernah merasakan seperti anda, dan kini rindu itu belum semuanya sirna. Apalagi bila aku berada di tengah anak anaku. Tapi mau apa lagi kita, hanya tulang dan daging yang tak berdaya menghadapi suratan takdir.
Sasmito mulai menyemaikan bunga berseri di hatinya, ketimbang beberapa saat yang lalu, hatinya hanya dipenuhi belukar yang mernggas. Diapun mulai menemukan kawan curhat, untuk menyiram bara api rindu  yang membakar dinding  jantungnya, beberapa teguk teh hangat tawar kini sudah memenuhi tenggorokanya.

Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi untuk Indonesiaku


Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun masih kentara, menghitami
hamparan sawah ladang, dan menenggelamkan
kuning permadani padi, dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah perut  mereka yang meradang
seakan menggenggam hasrat, untuk membelah
dinding perut mereka sendiri.....
di tengah mereka itulah Indonesiaku berdiri kokoh

Telah beberapa lama pagi itu, mereka
yang bertopi “caping” dan bercelana kumal
telah lalai membenahi  pagi, dengan sarapan nasi hangat
dan sajian teh manis.

Namun mereka malah bersikokoh untuk
menghempaskan pagi dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah mereka mentah mentah
bukankah gubug bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat bersemayam ilalang
yang ada di  Ibu Pertiwi

Mengapa atap rumbai rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan “Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan “Timika” bersatu dalam seduhan
cincin api....lantas akan kau ubah
menjadi naga-naga bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja korban”  dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris bulu kuduk.....

Saat  relung  waktu masih  melilit perjalanan panjang kita
hingga berada tepat  di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun masih  menggapai kedua tanganya
lantaran  atmosfer  di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah garang, tanpa berdandan ramah
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Meniti Awan- Awan Hitam

Kita rapikan awan- awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang gendang telinga
pada lidah lidah kelu,  yang berkerah putih
dan bersepatu “pantofel” dengan senyum “perlente”

Di tengah perhelatan sumbang
dari anak negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata menghadap rumah berarsitek
negeri impian, mereka sempat bergumam
biar saja sang abang becak menghangus diterkam
panasnya mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam kubangan lumpur menghitam


Kita adalah anak negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada “Puncak Jaya Wijaya”
namun kita harus  tetap mentautkan benang sutra titian
menuju cakrawala yang ditengahnya berdiri
rumah sederhana namun kokoh
tempat bermain anak anak kita..

Jangan kita  surutkan apa yang kita miliki
hanya karena  awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita terpagut pada asa yang samar
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Takan Pernah Usai

Bergeraklah dan terus bergerak
daun nyiur di tepi pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai, pada muara sungai sungai
bening beraroma khatulistiwa

Teruslah melejit seperti anak panah
pergantian arah angin muson
karena dari sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah mengusung teriakan panjang
yang tak pernah membusung dada kita

kita takan pernah berhenti......
menghembuskan iklim sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di sawah ladang,
tanpa prahara dan suara burung sumbang.
(Semarang, 23 Oktober, 2011).