Kamis, 29 Desember 2011

Hujan Terus Bersambung


sang ilalang
Semua harta kekayaanya kini telah habis dilipat demi sebilah hidupnya. Sel-sel organ tubunya yang “usil dan nakal” tidak mau bercermin pada Sutedjo, yang hanya mampu mengayuh roda becaknya di atas jalan aspal berlobang, dikupas roda-roda beringas truk dan tronton. Sedikiit demi sedikit uang hasil penghasilan sebagai abang becak dan kerja sambilan lainnya, bertahun tahun dia kumpulkan semata untuk membeli sebidang tanah. Sedangkan istrinya yang telah ikut berkulit legam, tergigit matahari karena tiap hari berjualan makanan lauk pauk di Pasar Mranggen Demak, ikut pula menyisihkan sebagian penghasilanya.
Sel sel sumsum tulangnya yang merasa pengap kini mengajukan protes pada diri Sutedjo, agar bisa terbang ke atmosfer, hdup menerjang apa saja, bebas dan lepas. Sedangkan diri sutedjo tak mampu menekan amarah Sel-Sel Beta yang ada di pankreasnya, sehingga tubuh Sutedjo mengalah dan lebih memilih menguruskan diri.
Sedangkan untuk mengayuh becak lagi Sutedjo kini tak mampu lagi, karena tubuhnya yang lemas dan lunglai menyergapnya. Sutinah istri yang setiapun tidak pernah mengeluh meski setiap hari dia bermandi peluh. Sementara putranya yang paling kecil masih bersekolah di SMP,  kakak-kakaknya juga masih sekolah di SMK dan si sulung sudah tiga tahun ini kuliah di perguruan tinggi negeri. Untuk biaya anak anaknya itu, kini separo tanah milliknya telah Supardo jual pada Haji Imron dengan harga nego.
Meski Sutedjo sudah habis air matanya, tapi hatinya telah tergayut pilu dan galau, yang ikut pula menusuk tubuhnya hingga sering merasa gemetar.
sahaja
***
Remang malam   dan dinginya Bulan Januari tahun ini membalut sepi pekarangan rumahnya, namun di dalam ruang tamu beralas tanah, udara malam terasa lebih hangat meskipun hanya diterangi lampu 10 Watt.  Suedjo rebah di kursi panjangnya dengan bantal bersusun dua, wajahnya pucat di bibirnya sudah tak ada senyuman lagi.
“Bapak, aku berhenti kuliah saja ?”
“Jangan berkecil hati Burhan. Selesaikan kuliah kamu !. Percuma bapak mengeluarkan biaya bila kau berhenti di tengah jalan. Sebentar lagi kan kamu lulus ?”
“Tapi, aku rela pak !,aku anak sulung. Aku ingin kerja untuk adik-adiku “
“Burhan !, emak kan masih jualan di pasar!. Emak masih mampu membiayai kamu. Karena harapan satu-satunya emak dan bapakmu kini hanya tinggal kamu. Selesaikan sekolahmu !”
“Bapak akan menjual semua tanah dan rumah satu-satunya ini bila perlu, Burhan !. Asalkan hidup anak-anaku tidak seperti bapak dan emak. Kamu mampu lancar kuliah di fakultas tehnik, berarti kamu pandai. Jangan putus asa !”
Burhan beranjak dari duduknya di kursi bambu disamping bapaknya yang kurus kering. Burhan menatap jauh jauh malam yang diguyur gerimis sejak pagi. Terkadang diselingi hujan deras bahkan sore tadi hujanpun turun disertai badai.
“Tapi aku sudah tidak kuat lagi pak !, aku kasihan sama bapak dan emak !”
“Boleh kamu berperasaan seperti itu,  bila perasaan bapak dan emakmu
 menderita. Tapi Burhan !, bapak dan emak adalah anusia yang “sugih” rasa syukur pada Illahi. Sekarang bapak dicoba karena bapak pernah dilimpahi nikmat. Lihatlah hujan itu, sekarang deras saat lainnya dia akan berhenti dan bumipun kerontang. Untuk saat ini memang bapak dan emak sedang mendapat banyak cobaan dariNYA, seperti hujan yang terus bersambung “
Burhan dan emaknya hanya dia membisu, sementara kedua adiknya sedang merajut mimpi di tengah malam dipenuhi hujan***

Teh Manis Cinta untuk Tahun 2012


sekar kusuma adji
Sketsa Hidup di Awal Tahun

Barangkali hanya ini, yang aku mampu hidangkan.....
Senampan hidangan makan malam,  dengan menu tergigit
angin malam dari tebing jaman.
Sementara otot tubuhku telah terlipat kerasnya
jalanan hidup, tempat abang becak mengayuh hidup.
Padahal engkau di puncak “Langen Sari”  berteman “Dewi Supraba,
Gagarmayang, Tunjungbiru dan Dewi Lenglengmulat”.

Tapi jangan dulu kau tepiskan sebuah makna
yang telah kau benahi rapi dalam keranjang berbalut
kain sutra,  meski jalan tanah liat menuju untaian pelangi.
Telah basah oleh geimis pagi “berkuku tajam”
Namun masih ada sehelai benang kuning dari “Sang Bagaskara”
yang menusuk celah rumah kita yang tersayat pilu.

Aku dan kau, kasihku....
Dalam Naungan yang Maha Perkasa
Bersemayam di balik tirai tipis,  setipis antara bilik jantung
yang saling bersebrangan, namun sorot mataNYA menyodorkan
berjuta tangan lembut untuk meluruskan tulang-belulang kita.
Bila engkau berhasrat menanam bunga bunga jiwa
Dalam tetumbuhan “Arcapada”,  tempat kau bermandi keluh
Tersayat sembilu galau dan risau.

Halaman rumah kita, biarkan saja menghitung hari
Memburu setiap detik, menyelingkuhi dirimu dalam cibiran bibir
Bukankah kita masih memiliki taman bunga
Di rongga dada, yang kau taburi dengan wewangian
pengantin baru. Kala angin malam kau jadikan pena untuk
mengambar sumpah serapah kita.

Luruskan benang putih hingga ke jendela langit
Sementara tembang parau kau letakan saja di halaman
rumah gubug kita, terpungut jaman lantas kau biarkan saja
terpelanting oleh angin kembara dari “Negeri Prahara”
yang menguncimu hingga tesengal nafasmu.
Aku masih memiliki lengan yang kokoh,
Sekedar mencandamu bersama nyanyi Kenari dan Derkuku
Hingga pagi nampak elok berdandan  gincu bibir.

Janganlah kau genapi wajahmu dengan ornamen awan gelap
Bila sorot lampu jalan menyilaukan kedua mata .

Jangan pula kau cemburu dengan sepatu kaca
Di etalase rumah berarsitektur romawi

Sementara bila kau dan aku terhuyung pada tepi langit
Maka akan aku gunakan seribu sayapku
Agar kau mampu kuterbangkan ke “Jonggring Saloko”.
Tempat yang ramah, hingga kita lepas bebas
dan menggulai hari dengan bumbu yang renyah
Tempat kita juga mampu menanam ubi dan palawija.

(Semarang, 31 Desember 2011- Di Malam Tahun Baru 2012).


Di Beranda Tahun 2012

Dalam dinding hidupku yang “berkanvas” hitam putih,
Saat terselip sepotong noktah warna,
biru tergambar menyongsong tiap aku buru
jarum waktu dan saat kusisir rambut kasihku
dengan seribu cerita mengenai cinta.

Tuhanku, dia bukan “Dewi Ullupi” dari “Lembah Naga”
Tapi dia adalah sebuah alasan......
Sehingga akupun “Sang Permadi” yang bertegur sapa
dengan “Sang Korawya”, hingga dia mengulurkan tangan
akulah yang membelai rambut “Sang Gambiranom”.

Satu titian telah aku kokohkan agar kasihku mampu mengenyam
dan menyelorohkan sebuah ikatan bunga......
Kasihku, kau telah  mengalungkanya,
pada leher dan bahuku yang melegam
namun hadir pula sepenggal sembilu dan mampu menyayat
sebidang asa yang menyebar dalam sawah hidupku,
Namun kita adalah ilalang dari negeri nestapa
Yang berakar kuat dan sekokoh hasrat sebuah hidup

Dalam deru waktu, sang ilalang pun terus menjulang ke
Langit dan mengabarkan pada bidadari, agar memenuhi
sayap-sayap mereka, akan hidangan secawan anggur cinta,
Sehingga “Kahyangan Kaideran” bermandi kembang warna warni
Disini pula aku mendapakan pagi dan serambi beralas
saling pengertian, kau suguhkan seribu makna
yang aku telan dan memenuhi ruang dadaku
akupun menggelepar dalam lakon rindu

Seperti dua remaja yang bertegur sapa dalam pantun
Di pesta panen, dengan kaki telanjang dan kulit ditikam
garangnya sinar mentari, kau ikat rambutmu dengan jerami
dan “baju sari” berornamen “Parang Kusuma”, mengabarkan
ketidakmampuan kita dalam menyongsong hidup
namun kita mampu memejamkan mata,
dalam tidur malam berteman angin malam
meski dengan sepotong ubi rebus
dan sayur kacang panjang, kau sedu teh cinta

selamat pagi kekasihku
aku dan kau dalam bilik tahun 2012......

 (Semarang,  27  Desember, 2011)




Rabu, 28 Desember 2011

Langit Di Atas Serayu



Langit hitam tak ubahnya selaput jelaga yang menghitami bagian bawah  dan pinggang sebuah tempayan,  gulungan-gulungan awan hitam mengerikan mengkaitkan kaki langit di empat penjuru cakrawala. Angin pergantian musim sangat menggigit kulit, meski selama ini belum pernah ada gerimis barang setetespun yang jatuh ke bumi.
Ki Gede Haryo Pragolo, mendesirkan dalam hatinya sebuah kekhawatiran tentang badai disertai hujan yang bisa saja turun menerjang perdikan yang dia pimpin. Padahal telah setengah tahun ini sawah sawah kawula perdikannya terbengkelai dalam kerontang. Mereka membiarkan jerami-jerami yang menguning tergelar seluas sawah sawah mereka.

Dari kejauhan terlihatlah debu mengepul dihempas beberapa ekor kuda yang menerobos udara siang Bumi Perdikan Patikraja yang meranggas.  Ki Gede Haryo Pragolo segera beranjak dari kursi bambunya, yang sedari pagi menghisap tubuhnya. Beberapa prajurit perdikan berhamburan keluar untuk menyambut tamu petinggi Kraton Kabupaten Banyumas  , yang merupakan duta dari Sinuwun Bupati Yudonegoro petinggi nomor satu di Kabupaten Banyumas.

Mereka semua masih dikungkung langit berjelaga, langit yang mengabarkan bakal turunya hujan apabila awan-awan hitam yang mengusung butir-butir air tidak tersapu angin pancaroba yang mulai mengganas. Maka di seputar Kraton Ki Gede Haryo Pragolo semua dedaunan hijau menyodorkan sebuah tarian ceria dengan gendang alam yang bertalu, menggesekan tubuh daun satu dengan lainnya. Bumi Pedikan Patikraja menjadi bertambah gelisah. Hanya doa yang dapat dihaturkan kepada Sang Penguasa Alam tetap meindungi mereka semua penghuni Bumi Perdikan Patikraja.

Semua emban Bumi Perdikan Patikraja, menjadi sibuk hilir mudik guna menyuguh tamu agung dari Kraton Harjo Mukti   lengkap dengan pengawal Prajurit Patang Puluhan. Mereka semuapun terlihat mengusung sebuah kekhawairan tentang kemungkinan turunya hujan badai yang menerjangnya. Kekhawatiran yang datangnya dari bencana beberapa puluh tahun silam, kala Kadipaten Banyumas menjadi korban kemarahan Sungai Serayu yang merenggut ribuan kawula kabupaten Banyumas.

***
“Mohon ampunan yang tak terkira!, kami menyambut kedatangan petinggi kabupaten tanpa persiapan yang terlebih dahulu,  Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo !”. Tegur sapa Ki Gede Patikraja disodorkan dengan penuh santun dengan gambaran wajah yang was-was masih begayut di wajahnya.

“Oh, tiada mengapa Ki Gede !, akulah yang mohon maaf karena kunjungan kami tanpa mengirim nawolo terlebih dahulu. Kunjungan kami sangat mendadak karena Kanjeng Bupati Yudonegoro mengutus kami juga secara mendadak, lantaran beberapa hari ini langit Bumi Kabupaten Banyumas berjelaga, seperti enggan menampakan wajahnya yang biru ceria. Kanjeng bupati merasa kahawatir dengan meluapnya serayu “
“Betul katamu Kanjeng Tumenggung, banjir bandang yang terjadi beberapa tahun silam telah menghantui kami semua. Kami selalu khawatir bila mendung bergayut setebal ini. Padahal tidak lama lagi tiba musim hujan. Semoga saja musim hujan kali ini mampu membwa berkah kawula  semua,  setelah delapan bulan lebih kami tidak bertani “.

puspa prasasti aji
Semua petinggi Kabupaten Banyumas yang sekarang bertamu menjadi bertambah pilu hatinya, bahkan semua Warongko Ndalem Bumi Perdikan Patikraja kini hanya tertunduk lesu. Hanya sorot mata Ki Gede Haryo Pragolo yang masih tajam menerobos tirai waktu ke depan dengan selaksa asa yang ada di pundaknya. Sebuah tantangan dari seorang pemimpin perdikan yang memikul tanggung jawab yang berat yang diamanahkan padanya dari Kanjeng Sinuwun Bupati Yudonegoro.

“Lantas apa yang akan Adi lakukan mengatasi masalah ini semua?, inilah yang akan kami laporkan pada kanjeng bupati ! “
“Mohon maaf kanjeng tumenggung !, kami hanya merencanakan tindakan sesuai kemampuan sebuah bumi perdikan. Kami semata-mata hanya mampu merencanakn untuk menebar beberapa pos jaga siang dan malam di sepanjang bantaran Kali Serayu,  di semua dusunpun telah kami tugaskan peronda yang siap dengan titirnya, apabila petugas bantaran memberi tanda Serayu meluap “

“Hmmm..,memang repot bila kita  menhadapi alam! “.  Keluh sang tumenggung menggema ke selruh pendopo agung bumi perdikan itu. Sebagian wajah menampakan gambaran keputusasaan sebagian lain hanya berpasrah apapun kejadianya. Sedangkan sebagian lain hanya tersenyum kecil, mengganggap lucu tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi bahaya alam ini. Karena tidak ada manusia yang sanggup melawan alam,  yang bisa di lakukan manusia hanyalah mengusung sebuah persahabatan manis dengan alam.  

“Mohon maaf Ki Gede ?” . Dengan suara yang lantang pemimpin prajurit patang-puluhan menghaturkan sebuah permintaan.
“Ada apa Ki Lurah tamtama !”
“Kami prajurit kabupaten juga diperintahkan Sinuwun Kanjeng Bupati Banyumas untuk ikut jaga di perdikan ini “
“Oh, matru nuwun atas segala kebaikan Sinuwun Yudonegoro . Kebetulan kami juga sering mengkhawatirkan tindak pidana dari kawula yang tidak bertanggung jawab bila banjir datang. Mereka seenaknya mengambil hewan ternak, emas dan harta lainnya. Namun karena prajurit perdikan hanya sedikit jumlahnya, maka tindak culiko seperti ini tidak mampu kami atasi “
“Bagus Ki Lurah, aku harapkan bukan saja kalian para prajurit Kabupaten Banyumas mampu menjaga ketertiban, namun sekarang juga segera menentukan jalur pengungsian kawula menuju dusun yang tinggi. Betul begitu Adi Haryo ?”

“Betul sekali Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo. Kami menyaksikan sendiri betapa paniknya kawula saat bandang datang. Mereka tidak tahu harus mengungsi kemana, mereka hanya berlarian tanpa arah. Hanya berdoa kepada Sang Pencipta Alam Marcapada, yang bisa kami lakukan seperti beberapa tahun silam “,  jawab Ki Gede Haryo Pragolo. 

Banjir bandang datang tiba-tiba di tengah malam gulita karena hujan menerpa perdikan itu bebera hari lamanya. Memang banjir sudah menjadi gejala alam yang mengakrabi kawula perdikan itu, namun biasanya hanya sebatas paha paling tinggi. Namun Gusti Ingkang Makaryo Jagad menghendaki alam ini berbicara lain. Terjangan air Kali Serayu justru melimpah di luar batas kebiasaan. Sehingga tanggul alam yang kokoh akhirnya dilumat tak berdaya oleh air bah yang tinggi.  Banyak rumah penduduk yang hanyut, karena rata-rata bandang mencapai atap rumah tingginya. Teriakan pilu dan histeris terdengar di mana-mana, meratapi nasib sanak saudaranya yang hilang terbawa bandang liarnya Kali Serayu. Meski Ki Gede Haryo Pragolo dan seluruh keluarganya selamat, namun dia hanya mampu menangis pilu yang selama satu minggu tidak makan dan tidur, “Duh Gusti !, berilah ketabahan dan kekuatan hati kami semua dalam menghadapi musibah ini. Terimalah disisiMU semua kawula perdikan ini yang terbawa arus Serayu “. Tiada henti sang petinggi Bumi Perdikan Patikraja berdoa kepada Sang Penguasa Alam.
Ki Gede Haryo Pragolo, terbius dalam angan yang menggetirkan hatinya.
“Aku turut bersedih dengan kejadian itu “ seru Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo.
“Nuwun sewu Adi !, jangan lupa harus Adi persiapkan lumbung lumbung padi yang ada. Kanjeng Bupati akan segera mengirim beberapa pedati padi” tawaran Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo betul betul membawa angin segar bagi hati sanubari pemimpin Perdikan Patikraja yang semula tertutup mendung tebal, setebal jelaga yang kini menyelimuti langit Bumi Perdikan Patikraja. 

Bumi Perdikan Patikraja sudah beberapa bulan ini dirundung paceklik yang sangat menusuk sanubarinya.  Selama ini Ki Gede Haryo Pragolo  tidak tahu harus berbuat apa, untuk mengumpulkan upeti dari dusun-dusun yang berada di kekusaan bumi perdikan jelas tidak mungkin. Kawulanya sendiri saat ini sedang menggelepar  melawan paceklik, bagaikan melawan teror hantu yang menyeluruh menteror kawula perdikan baik siang maupun malam. Sedangkan cadangan padi di lumbung perdikan sudah menipis.  

Karena banyak kawula yang berhari-hari tidak makan nasi ataupun palawija, maka kriminalitas di perdikanya juga turut menteror kawulanya, rampok di siang hari bolong menjadi hal yang biasa. Bahkan merekapun tidak segan melawan prajurit perdikan yang jumlahnya tidak seberapa. Maka Ki Gedepun hampir tiap malam mendengar pekik titir yang bertalu mengabarkan adanya perampokan sekaligus isyarat tentang kawulanya yang meninggal akibat kelaparan.

“Baiklah Adi Pragolo,karena hari sudah merambat sore kami mohon diri “,Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo segera merapatkan tubuhnya untuk memeluk Ki Gede Haryo Pragolo  yang telah dirundung kesedihan hati.
“Dengan segala kerendahan hati kami menghaturkan selamat jalan dan mohon disampaikan Salam Taklid kami kepada Njeng Sinuwun Yudonegoro, kami Bumi Perdikan Patikaraja  siap menjunjung semua titahnya “.
“Baik Adi Pragolo, mohon bimbinganya pula untuk semua prajurit kabupaten agar mereka semua mampu menentramkan perdikan ini dan mampu menjalankan tugas bila bandang menerjang perdikan ini. Kami pamit, Adi !”.
***
Angin Barat masih setia membawa gulungan awan hitam. Terkadang mereka hanya memberikan gerimis yang membasahi bumi perdikan ini. Kadang pula mereka membawa hujan lebat disertai badai. Namun semakin hari semakin tebal awan hitam itu menjenguk Bumi Perdikan Patikraja, Kali Serayupun mulai bertambah meruah airnya, hingga mendekati batas tanggul. Melihat gejala seperti ini semua kawula Bumi Perdikan Patikraja belum bergairah menyemai padi di sawah. Apalagi kini mereka telah bersiap mengungsi bila pertanda titir dari prajurit dan punggawa kraton telah bergema. Barang barang berharga telah dikemas untuk siap di bawa ke arah yang telah ditentukan oleh Lurah Tamtama Lembu Seto yang akan memimpin pengungsian.
Senja itu Ki Gede Haryo Pragolo   sudah berada di Kawedanan Purwokerto untuk mempersiapkan barak pengungsian dan menjemput Kanjeng Tumenggung Hardi Susetyo yang memimpin langsung puluhan pedati yang membawa bantuan bahan makanan dari Njeng Sinuwun Yudonegoro. Gerimis masih setia membasahi wajah bumi ini,  semua prajurit dan punggawanya masih pula sibuk mempersiapkan bantuan bahan makanan.
Seorang punggawa perdikan dengan berlari kecil dan nafas terengah-engah segera menghadap  Ki Gede Haryo Pragolo , “Mohon maaf Kanjeng !, bandang telah datang sore tadi, seluruh Dukuh Kebasen telah hanyut, mohon maaf dan nyuwun dawuh !”. Ki Gede menjadi bersungut sungut wajahnya,  dia segera beranjak dari tempat duduknya, wajah yang tegang masih menghiasi dirinya  “ Semua kawula sudah diungsikan ?”.
“Perintah Kanjeng telah kami laksanakan mulai beberapa hari lalu !”
“Berapa banyak korban jiwa yang ada ?”
“Mohon maaf Kanjeng kami belum menghitungnya, tadi sore jenasah korban yang meninggal telah kami kumpulkan di pendopo perdikan. Namun hanya sedikit Kanjeng !”
Sorot mata yang tajam dari Ki Gede Haryo Pragolo kini mulai ditutup oleh tabir air mata. Hanya doa yang dipersembahkan pada Tuhan yang Kuasa disodorkan oleh petinggi itu. Semoga arwah kawulanya yang menjadi korban keganasan Serayu diterima di sisiNYA. ***