Kamis, 01 Maret 2012

Protes Daun Akasia pada UN


Meski jarak pandang mereka dengan Pak Guru Hananto cukup jauh, tetapi sorot mata mereka seakan enggan lepas dari tubuh guru penuh kasih itu. Pagi itu memang hari pertama pelaksanaan UN yang mendebarkan bahkan mampu memungut rasa percaya diri dari sanubari mereka semua. Terbukti tiada satupun dari mereka yang berwajah ceria, “Enjoying always” seperti pada hari-hari biasa.

Siska yang genit, Bra yang selalu kelihatan renyam senyum, Sylvie yang berbibir tipis dan tak kerap diam membisu. Kini semuanya terdiam dalam hipnotis pohon Akasia yang memayungi halaman sekolah mereka. Entah apa hari ini bumi seakan akan menghisap dalam-dalam ke dua kaki mereka.Sementara itu dengan egonya daun daun Akasia berguguran meski merelakan dirinya berjatuhan di bumi, untuk digantikan dengan pucuk yang semi.

“Inilah hidup anak-anaku “ seru sebuah daun pada manusia manusia belia yang dipagut gelisah. Daun itu belum kelihatan  kering benar, tapi dia merelakan dihisap gravitasi bumi.

“Jangan kau usung pepatah seperti itu pada manusia ! “ jawab daun lainnya yang lama tergeletak dan membiarkan dirinya bergelimpangan diterpa angin awal musim kemarau.

“Apa alsanmu ?”

“Hanya kita yang mampu berbuat demikian. Mereka manusia yang beribu pengharapan selalu mereka pinta, agar mampu hidup seribu tahun lagi “

“Dari mana kau tahu ?” tanya daun lainya yang kini mulai berkumpul dalam keranjang bambu di halaman sekolah.

“Lihat saja mereka hari ini gelisah!, mereka enggan menghadapi tantangan sekecil apapun. Berlainan dengan kita yang hanya pasrah dikibas angin pancaroba. Kita hanya mampu meliukan badan kekanan dan kekiri. Tapi ketika  bumi menyelingkuhi kita, kitapun tetap tenang” seru daun tadi yang baru saja menggeletak di bumi.

Tak satupun dari siswa itu yang memperdulikan ocehan daun-daun yang selalu berbahagia di kala pagi dan sore, ataupun siang dan malam. Mereka para siswa hanya mampu membiarkan degup jantung yang memburu jarum waktu yang terus bergerak detik demi detik menunggu monster yang dipanggil UN.

“Ah..apakah mereka sedang menunggu datangnya monster garang ?” seru daun muda yang belum kering, tetapi  karena hempasan angin beliung beberapa hari silam dia jatuh di bumi ini.

“Betul kawanku, entah apa bentuk monster itu, apakah bertaring  ?, bersayap lebar ?, wajah penuh luka atau apa ?” seru sebuah daun yang sudah mulai pongah tubuhnya dimakan rintik hujan.

“Bukankah manusia sudah mampu menggapai atmosfer yang paling tinggi, mampu mendatangkan hujan bahkan mampu merobohkan rumah istana kita. Tapi mengapa manusia-manusia muda itu kelihatan takut sekali ?”

“Entahlah !!!! “ jawab sebuah daun.

“Kapan mereka merasa puas ?” seru daun yang ada di dasar keranjang bambu.

“Mereka memang makhluk yang ego, dahulu daerah ini penuh rumah istana kita. Tetapi entah dengan egonya mereka mencabut dan dibawa kemana aku tak tahu ! “. Daun yang paling tua diantara mereka mencoba memaparkan sifat  manusia.

Tidak beberapa lama terdengar suara “Teeeeet….Teeet…Teeet”. Semua daun Akasia itu menolehkan wajahnya ke arah manusia manusia muda itu yang memasuki ruangan dengan terbungkam seribu bahasa, diantara mereka ada yang berkeringat dahinya, sebagian menundukan wajahnya, sebagian lain memucat wajahnya. Sebagian kecil hanya meluruskan sorot padang mereka lurus ke depan dengan tatapan yang kosong.
***
“Tidak perlu UN ini dijadikan momok bagi kalian !” seru Pak Hananto di suatu pagi di depan kelas XII yang sedang diberi pengarahan.

“Tapi, saya sudah belajar banyak. Selalu saja saya merasa kesulitan menyelesaikan latihan UN Pak ?” tanya seorang siswa.

“Semuanya ada di diri kamu sendiri Prima ?” jawab Pak Hananto dengan senyuman masih tersungging di bibirnya.

“Maksud bapak ?”

“Ya !, karena kamu selalu beranggapan bahwa UN adalah hanya syarat untuk lulus kamu dari sekolah ini “

 “Kan memang seperti itu, Pak ?” tanya Albert Sitomorang, yang belum tahu betul alasan guru penuh kepedulian pada anak-anaknya.

“He..he…he…inilah kesalahan kalian semua !”

“Yang benar yang mana tho, pak ?” Keane bertambah penasaran dengan seloroh guru ganteng itu. Diapun mencoba menggoda guru muda yang menjadi pujaan hatinya itu.

“Keane, Prima, Albert dan anak anaku semua !, apakah setelah lulus UN kalian tidak memiliki tantangan lagi ?. Apakah setelah lulus UN kalian akan dengan mudah mencapai kesuksesan berikutnya ?. UN hanyalah sebuah tantangan kecil, bagai butir pasir di gurun pasir. Masih ada tantangan lainnya yang menghadang kalian semua”

“Tapi semua manusia kan mesti harus memiliki tantangan, Pak !”. Ilham menyela pembicaraan Pak Hananto, guru itupun masih menghiasi bibirnya dengan senyuman manis.

“Betul, dan salah satunya adalah UN. Kalau kalian memahami ini!,  tentunya kalian akan menghadapi dengan hati lapang. Lihatlah daun daun Akasia di halaman itu. Mereka sama sekali tak memiliki tantangan. Mereka semi, tumbuh, dihempas angin kemudian jatuh dan bepindah paling jauh ke tempat sampah” kelaspun terbungkam seribu bahasa.

Daun daun Akasia yang mendengarkan celoteh Pak Hananto hanya melempar senym kecil mereka. Namun diantara mereka tetap saja terdapat beberapa daun yang mengajukan protes.

“ Tapi, apa beda mereka dengan kita?. Merekapun hanya mampu melangkah di garis kodrat” salah satu daun mencibirkan perkataan pak guru itu.

“Apa mereka mampu hidup lagi setelah ditelan bumi ?” daun lainya mengajukan protes.

“Mereka hanya mampu merusak alam ini, huuuuh…seandainya bumi ini tidak dipenuhi manusia, kita bisa hidup dengan bebas “ entah dari daun mana protes itu diajukan.

“Sudahlah teman-temanku semua!, memang begitulah manusia yang diciptakan berbeda dengan kita. Meski hanya beberapa saja manusia yang berusaha peduli dengan kita serta hehijauan lainya. Merekapun bila diberi pencerahan tentang manfaat kita. Merekapun akan bersatu dengan kita.Cobalah bila mereka kepanasan, mereka pasti akan berlindung di bawah kita” seru daun yang sudah renta dan melekat kuat di pohon Akasia, tapi belum mendapatkan giliran untuk menyatu dengan bumi.


“Tetapi mengapa mereka sekarang melempar sorot mata ke kita ?” seru daun muda

“Mungkin mereka iri dengan kita “ seru daun renta itu.

“Iri ?, apa kelebihan kita dibanding mereka ?” entah daun yang mana mengajukan protes seperti itu.

“Ah. ..ada ada saja kau daun tua ?” daun lainya berusaha gabung dengan diskusi antara daun Akasia.

“Mesti ada, karena yang menciptakan kita dan manusia selalu member kelebihan dan kekurangan diantaranya ?” sahut daun renta.

“Yang aku btuhkan adalah kelebihan kita dibanding mereka ?” beberapa daun muda berusaha mendapatkan jawaban pertanyaan mereka.

“Kita tidak pernah ragu dan bersedih bila harus berakhir warna hijau pada tubuh kita. Tak ada satupun upaya kita untuk lepas dari kenyataan ini “

“Betul juga katamu, daun tua !. Mereka kini sedang banyak mengalami kebimbangan”

“Bahkan sepertinya mereka sedang ketakutan !” silih berganti daun muda berusaha menguak perbedaan mereka dengan manusia.

“He…daun tua. Mengapa hari ini manusia muda itu ketakutan ?”

“Mereka beberapa hari mendatang akan mengikuti UN “ sahut daun renta itu.

“UN ?, kapan kita akan mengikuti UN ?” seloroh salah satu daun muda.

“Besok, ha…ha…ha..” daun renta tertawa lepas.

“Hahahaha…hahha…hahaha…” semua daun Akasia, baik yang tua atau muda, besar kecil , yang masih hijau ataupun telah mongering pilu tertawa lepas yang tidak pernah dapat didengar siswa siswa itu ***

Sabtu, 25 Februari 2012

Wanita Wanita Maestro



Pagi- pagi benar Mawar Wulan mengusung  gelisah bukan kepalang. Meski lingkungan di sekitar rumahnya masih tertutup kabut,  dia tak memperduikanya. Dengan langkah kaki yang gesit, dia terus menebas  butir butir air halus yang menghadangnya, menyelusuri  jalan beraspal yang ada di depanya dan masih terpagut sepi dan dingin, namun kaki yang hanya beralas sandal jepit dengan egonya terus saja menggilas aspal yang sudah mulai pongah itu.Entah apa yang akan dilakukan wanita yang masih lajang di pagi hari itu. Batuk batuk kecil yang terus saja melekatnya itupun tanpa dia pedulikan.

Tepat di pintu gerbang rumah Bu RW Mawar mulai melambatkan langkah kakinya, pintu besi yang sudah berkarat baru saja berhenti berderit. Rumah Bu RW masih lengang dan hanya sebelah pintunya yang kuno itu sudah terbuka. Terbesit dalam sanubari Mawar Wulan perasaan canggung dan takut merepotkan Bu RW. Tapi perasaan itu kembali ditelikung dalam hatinya, kala Bu RW sudah menyambutnya dengan senyum yang renyah di tengah pintu model jawa kuno itu.

“Ah, maafin Mawar bu!, pagi pagi sudah merepotkan !”

“Justru aku yang minta maaf,  merepotkan Mba Mawar !”

“Sama sekali tidak bu !, cuma aku penasaran sejak kemarin sore. Tentang tujuan ibu ibu PKK ke rumah saya bu !”

“Oh, masalah itu , Mba Wulan !, iya memang ibu-ibu itu sedang bingung tentang kedatangan Bill Clinton yang rencananya akan mengunjungi kampung kita “

“Lalu, apa yang bisa aku bantu, Bu RW ?”

“Maaf !, Mba Wulan masih kerja di restaurant eropa ?”

“Betul, Bu RW, mesti ini masalah menu, ya bu !”

“Betul mba!, Pak lurah menyarankan agar kita menjamu makan siang mantan Presiden Amerika itu !.Mba Wulan saya pikir tahu  betul tentang menu orang Amerika dan Eropa. Maka kami kemarin datang ke rumah”

“Mesti ibu bingung menu jamuan tamu besar itu, iya kan ?”

“Betul mba!, ibu ibu PKK yang mendapat tugas menyediakan jamuan  tamu bule-bule itu  menjadi bingung, enaknya menu untuk Clinton itu apa ?. Apa Hotdog, Piza atau apa?. Menurut Mba Wulan enaknya menua apa ?”

“Kenapa mesti bingung-bingung, bu ?. Kala orang besar seperti Bill Clinton itu sudah bosan dengan hidangan ceremonial seperti itu !”

“Ya, terus enaknya bagaimana !”

“Kita kan banyak memiliki menu yang sudah mendunia seperti nasi goreng, sate ayam. Apa salahnya bu, kita promosikan pada tamu-tamu eksekutif Bill Clinton’s Foundation nantinya, atau boleh juga kalau kita hidangkan  tiwul, getuk dengan menu snak seperti resoles, kue lapis dan masih banyak lainnya, iya kan Bu RW ?”

2
“Ah, masa iya sih mba !, bule-bule doyan menu seperti itu ?”
 “Iya bu !, aku sudah sejak lulus SMA bekerja di Zona Zero Europe Restouran, kebetulan sekali aku sering menemukan bule-bule yang minta menu tradisional yang aneh-aneh “

“Aneh-aneh seperti apa, Mba ?”

“Bayangkan saja Bu RW!, waktu serombongan wisman Middle Java Reuni dari Jawa Tengah mampir ke Jakarta dan singgah di restaurant kami, sebagian besar mereka malah memilih menu tradisional, seperti sayur asam, kelapa muda bahkan ada yang minta dawet. Mereka semua sudah bsan dengan aneka bakery, Dennis Donuld, Humberger dan.... !”

“Apa iya, mba. Jangan jangan Bill Clinton juga senang dengan menu seperti itu, ya Mba Mawar ?”
“Bisa saja to, bu !. Bisa juga dia meniru seperti Presiden Obama yang malah minta bakso dan nasi goreng dengan lauk krupuk, hehehe…”

“Tapi baiknya kalau Mba Mawar tidak keberatan, siang ini  kita ke Pos Posyandu, untuk gabung dengan  ibu ibu lainya yang rencananya jam 9 siang ini rembugan masalah persiapan Bill Clinton. Oh, ya Mba !, rencananya juga Bu Hillary Clinton  akan kita ajak ke Posyandu untuk mengamati kegiatan ibu ibu Dharma Wanita “

Mawar Wulan yang hari itu memang lagi off hanya menganggukan kepalanya, tapi lain lagi dengan Bu RW yang hanya bengong saja mendengar kenyataan yang disampaikan oleh sang maestro lajang itu. “ Masa tamu seperti Bill Clinton  dan rombonganya mau menyantap menu tradisional. Tapi…entahlah”.

***

Mereka siang ini berkumpul  di Posyandu yang tidak seberapa luasnya, hanya sebuah ruangan yang berukuran 4 x 6 meter. Sebagian ibu-ibu anggota Dharma Wanita sejak pagi tadi sibuk membersihkan rumput dihalaman posyandu yang sederhana itu, sebagian lagi menggunakan sapu panjang membersihkan atap lantai bahkan terdapat beberapa ibu ibu yang dengan cekatan mengecat tembok yang mulai lusuh dan berdebu.Mereka sebenarnya sama sekali tidak menduga bahwa kegiatan mereka semua selama dasa warsa ini telah menarik perhatian staf Bill Clinton’s Foundation yang ada di Indonesia.

Ternyata  keterpurukan kita di berbagai sendi kehidupan telah menarik tokoh pemerhati dunia seperti mantan Presiden Amerika itu, tetapi hal yang paling menarik perhatian dunia adalah aktifitas mandiri ibu ibu  seantero Bumi Nusantara di bidang kesehatan ibu dan anak, termasuk penimbangan bayi, pencanangan pemberian vitamin kepada anak, Keluarga Berencana dan lain sebagainya dan salah satu dari ribuan kegiatan mandiri ibu ibu tersebut, ternyata  Kelompok Dharma Wanita Kenanga Jakarta Selatan yang dipilih oleh tokoh dunia itu untuk melihat dari dekat.

Kedatangan Bu Rw dan maestro menu masakan eropa dan AS itu, sempat membuat semua ibu-ibu yang bersemangat menjadi menyurut. Semua berhamburan keluar seperti anak ayam yang menemukan induknya. Semua mengemasi peralatanya untuk gabung dengan diskusi yang hangat, tawa renyah santai di hari Minggu yang terik itu.

“Ibu ibu !, sebaiknya hari ini kita tuntaskan saja rencana perjamuan untuk tamu-tamu bule kita. Selain Bu Lilis yang sudah pengalaman catering masakan eropa, kebetulan kita
3
kedatangan tamu Mba Mawar yang kerja di restauran Eropa. Kita tentukan saja menunya setelah itu kita bicarakan lainnya”

“Kita tentunya harus melihat dana kita, iya kan Bu RW ?” seru Bu Dirman yang mendahului diskusi hangat.

“Tentu saja Bu Dirman !. Apalagi biaya perjamuan ini kan dari kas kita yang tidak seberapa “ jawab Bu RW.

“Itulah masalahnya bu !, kita menjamu tokoh dunia dan pejabat lainnya, padahal dana kita hanya pas-pasan “ Bu Gatot mulai memaparkan kendala yang selama ini menjadi beban wanita wanita pejuang itu.

“Nanti dulu ibu-ibu, untuk menjamu Bill Clinton bukan sebagai pejabat negara,   tentunya kita tidak usah menghidangkan menu yang resmi ?”

“Tapi kan  rencananya nanti Bill Clinton akan diterima  Pak Walikota. Terus bagaimana ini ?. Mba Mawar ?” Bu Handoko tidak mau kalah karena hatinya masih dipenuhi rasa penasaran.

“Bu Handoko !, Yayasan Bill Clinton itu hanya LSM biasa. Kedatangan beliau juga bukan sebagai tamu negara!, kalau kita menjamu dengan jamuan yang sederhana, tapi hygeinis, kan tidak masalah ?”

“Lho…lho..nanti kalau tamu-tamu itu tidak berkenan, kita yang kena dampaknya “seru Bu Dirman.

“Ini gimana !. Mba Mawar ?”pendapat Mawar kali ini dibutuhkan sekali oleh Bu RW.

“Begini, ibu-ibu !. Tujuan Bill Clinton ke posyandu ini kan, karena rasa simpatiknya beliau dengan kemandirian kita. Kita terbiasa dengan kegiatan yang swadana dan swakarya. Inilah yang harus kita buktikan ?”

“Lantas, apa hubunganya dengan menu yang akan kita hidangkan, Mba !” tanya Bu Handoko.

“Inilah yang akan kami sampaikan pada ibu-ibu ?”

Semua yang hadir di diskusi siang itu menjadi diam seribu bahasa. Hanya senyum Bu RW saja yang menyemaraki diskusi maestro maestro amatiran itu.

“Ah…sepertinya ada yang penting sekali sih Mba Mbawar ?” Bu Handoko adalah salah satu peserta diskusi yang masih penasaran.

“Ibu ibu jangan salah paham, aku kebetulan sering bertemu dengan tim yayasan itu di restauranku. Mereka sama seperti kita, menu untuk makan kadang kadang seperti kita, tidak perlu seperti Piza, Spagheti, Hamburger atau Hotdog atau Dunkey Donnats. Mereka malah senang sop, ayam bakar atau malah pecel lele, yang penting bersih dan hyegenis, betul lho bu !”

“Ah, masa iya ?” jawab Bu Dirman.

“Apa Bill Clinton doyan kue kue buatan kita sendiri ?” tanya Bu Dibyo

4
“Tapi kita tidak main-main lho, Mba Mawar ?”

“Ibu ibu waktu kunjungan Bill Clinton ke Denpasar  beberapa tahun lalu, bagian rumah tangga kepresidenan juga menyediakan makanan tradisional buatan kita sendiri. Justru makanan seperti itulah yang banyak dipilih oleh tamu asing”

“Makanan seperti apa, Mba Mawar ?”

“Ya, Cuma lemper, Lumpia dari Semarang, kue lapis, getuk, makanan dari ketan. Lho dalam even seperti itu kan bisa digunakan untuk promosi makanan asli Indonesia”

“Kok bisa ya Bu, aku tadinya  malah punya pendapat untuk menjamu Bill Clinton dan stafnya dengan jamuan snak dan makan siang dengan Piza, Spagheti, Hamburger atau Hotdog atau Dunkey Donnats. Tapi itu nggak menyinggung tamu tamu kita kan, Mba ?”

“Lho, justru kita tampilkan kemandirian kita untuk memperbaiki gizi masyarakat. Coba dong nanti kita paparkan ini semua pada Hillary, pasti dia senang, aku yakin !”

“Tapi siapa yang ngomong nanti, Bu?”tanya Bu Dibyo.

“Lho Bu Dibyo kan guru bahasa Inggris SMA, aku minta tolong sama ibu, siap?”pinta Bu RW

“Siap bu !”

“Kalau gitu nanti kita masakan saja bebek goreng, gimana ?” Bu Hasan mengajukan permintaan.

“Pecel lele saja !” seru Bu Handoko

“Sayur asam dan  sambel  !” seru Bu Samsudin

“Ibu-ibu yang penting sudah kita sepakati tentang menu makanan tradisional untuk Clinton. Tentang menunya apa kita sesuaikan dananya saja, gimana ibu-ibu ?” Bu Rw minta persetuan hadirin.

“Setuju “ jawab mereka semua serempak

“Terimakasih. Mba Mawar ?” Bu RW mengulurkan tangan untuk menyalami Mawar Wulan yang menyambutnya dengan senyuman berseri ***

Rabu, 22 Februari 2012

Pedang Naga Perkasa


Suto meminta kembali pedang saktinya yang lama dipinjam olehPaman Haryo, pada pertemuan mereka yang bersitegang di bawah sinar bulan purnama di beranda rumah gedong juragan kaya itu. Nampak dariwajahnya, Suto tidak main – main lagi dengan permintaanya.Sementara terlihat sikap Paman Haryo yang mencoba berkelit dan selalu mencoba meluruhkan amarah yang ada di kalbu Suto.

Meskipun Paman Haryo dapat dengan mudah mengalahkan keponakanyai tu, lantaran tataran olah kanuragan Suto masih jauh di bawahnya. Namun menganiaya sudara ingusanya itu,tentunya bakal memperkeruh suasana di Bukit Kenanga Kadipaten Semarang.Karena Suto adalah putra kakaknya sendiri yang hingga kini masih menjabat Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang. Padahal ambisi untuk menggantikan jabatan kakaknya telah lama dipersiapkan dengan matang. Salah satunya adalah meminjam Pedang Pusaka Naga Perkasa milik Kanjeng Sultan Hadiwijaya, yang langsung dipercayakan kepada Suto Pamungkas, seorang pemuda santun dan pemberani yang berhasil menghipnotis kanjeng sultan untuk memberikan perhatian khusus padanya.Sehingga memberikan hadiah            Pedang Pusaka Naga Perkasa kepada pemuda yang berhati baik itu adalah pilihan yang tepat untuk  Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo dari Negara Pajang.

Malam  semakin larut, cahaya purnama makin mengelupas seiring dengan wajah sang bulan yang bertambah menjauh, lantaran rasa gerahnya pada manusia yang selalu meradangkan nafsu segalanya demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang semu. Terbukti meski sudah hampir 3 tahun Paman Haryo Pamundi memegang pedang bertuah itu, namun pemberontakan Geger Lowo Ijo di wilayah Kademangan Kenanga belum sirna. Inilah yang menjadi alasan mengapa Paman Haryo belum juga dengan tangan terbuka melepas pedang bertuah itu.

Memang bagi manusia tamak dan licik seperti Paman Haryo, sama sekali tidak pernah mencoba untuk menelaah seberapa kuat kesaktian sebuah benda bertuah, yang seharusnya manunggal dengan yang memegangnyaterutama dari kebersihan hatinya. Maka wajar saja bila pamor sang benda bertuah itu tidak mampu meredam amuka marah LowoIjo yang sakti .Meskipun demikian Paman Haryo tak pernah surut untuk melepas Pedang Pusaka Naga Perkasa. Bukan hanya kekuatan magis pedang Naga Perkasa yang diharapkan olehnya, namun butir-butir mutiara yang bergelapan tertaburkan di “gagang” berkayu cendana telah juga menarik ambisi lebih dalam lagi untuk memilikinya.

Lampu—lampu minyak kelapa yang mengelilingi beranda joglo Paman Haryo, satu dua sudah mulai meredup. Remang malam kini lebih kentara lagi melingkungi pertemuan Denmas Suto dan Paman Haryo masing-masing dengan pengikut setia mereka.Malam kali ini benar-benar telah larut, satu dua hati mulai meradangkan bara amarah. Paman Haryo tetap bersitegang mempertahankan pedang itu,  demikian juga Suto, yang sudah mulai kehabisan akaluntuk memintapedang itu kembali.

“Paman, aku harus mengatakan apa lagi !, dengan penuh hormat kedatangan kami kesini semata-mata meminta kembali apa yang pernah paman pinjam”, getar suara Suto mulai keluar dari bibirnya. Kedua kepal tanganya mengencang, sorot matanya mulai tajam menusukan kebencian. Rasa hormat dan segan, yang sedari sore sudah memenuhi benaknya, kini meluruh bersama dengan larutnya malam. Tak ada lagi niatan Suto untuk meminta pedangnya kembali dengan hormat.


2
“Suto ! anaku !. Tak ada niatan dalam kalbu pamanmu ini untuk mengkhianati perjanjian denganmu beberapa waktu silam. Hanya saja Geger Lowo Ijo masih merajalela di kademangan ini. Apabila perkara pemberontakan itu tidak  segera di tepis, kewibawaan Kakanda Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang atau ayahandamu sendiri akan terongrong. Mengertilah Suto anaku !

“Paman Haryo !, alasan pamanda bukankah telah disampaikan beberapa tahun silam ?. Tetapi mengapa tidak pernah paman mengerti, betapa beratnya hati ananda ini yang harus menerima amanah dari kanjeng sultan !”.

“Biarlah masalah kanjeng sultan menjadi urusan pamanda !. Beliau tentunya tidak akan keberatan meminjamkan pada pamanda !”

“Pedang Naga Perkasa bukanlah sembarangang pedang !. Pedang itu harus manunggal dengan sang empu yang memegangnya. Apabila kita tidak menggunakan tataran  batiniah yang dalam. Maka pedang itu tidak lebih dari logam biasa.Tidak ada gunanya bila pamanda harus menghadap kanjeng sultan ! “

“Suto, anaku !. Kamu anak kemarin sore, tahu apa kamu tentang tataran hidup ?”

“Bagi ananda gampang saja !”

“Hmm...engkau bertambah lancang !”

“Pamanda !, apabila hati pamanda telah bersih dan suci sesuci embun dini hari, tentunya Geger Lowo Ijo, akan gampang dimusnahkan. Pedang Naga Perkasa hanya sebuah lantaran untuk menggapai pertolongan dari Sang Hyang Murbeing Jagad. Bukan hanya disimpan untuk dijadikan kekuatan dan pengayoman Kademangan Kenanga !”

“Sekali lagi, Suto !. Kamu tahu apa !. Jangan sekali-kali lagi engkau mencoba memberi wejangan kepada aku !!!!” Kedua mata Haryo Pamundi mulai mengusung sebuah amarah yang membara, kedua tanganya sudah bergetar kuat. Dia segera mendekat ke arah meja bundar dari kayu jati bertaplak sutera tempat pedang sakti itu diletakan.Semua prajurit kademanga sudah bersiaga untuk merangsek menghempaskan Suto dan beberapa pengikutnya. Namun tiga tokoh dunia persilatan pengawal Suto hanya terdiam membisu, meski tidak mengurangi kewaspadaan mereka untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

***
“Angger Haryo, ijinkah aku yang renta ini mengajukan beberapa saran demi menjaga hubungan persaudaraan angger dengan cucuku ini “ Sorot mata semua yang mendidih nada darahnya di tengah malam yang hampir usai itu mulai meluruh, setelah tersengar suara lembut dan santun dari Eyang Wiro Setyo dari Padepokan Bringin Bumi Kadipaten Semarang. Seorang resi yang amat disegani di seantero Tanah Jawa bagian Timur.

“Dengan senang hati Pamanda Wiro Setyo !, anakmu ini memang gampang menuai amarah. Mohon pamanda mema’afkan aku dan prajurit kademangan. Aku sangat mengharapkan sekali wejangan dan pitutur yang  arif dari  pamanda “

“Ki Demang terlalu berlebihan memuji aku yang pikun ini. Sebelumnya mohon maaf yang sebesarnya, bila aku yang tak tahu diri ini terlalu lancang bersuara di depan Ki Demang yang bijaksana. Sebenarnya aku tidak akan memihak kepada Ki Demang

3
ataupun cucuku Angger Nakmas Suto. Aku hanya sekedar hendak mengurai kewibawaan Pedang Naga Perkasa yang keramat itu, Ki Demang ?”

“Ah, jangan sungkan sungkan pamanda untuk memberikan pitutur kepada kami. Karena hanya pamanda yang mampu menyelami pedang ini. Pamanda ! aku sama sekali masih buta tentang pedang ini. Apa yang harus aku lakukan”

“Sebenarnya Pedang Naga Perkasa, hanyalah pengejawantahan keprihatinan para hamba Gusti Hyang Wisesaning Jagad, yang mengajukan doa demi ketentraman Tanah Jawa. Selebihnya pedang itu hanya sebuah logam saja. Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo berhasil mukti wibowo di Tanah Jawa ini, bukan lantaran pedang itu”. Eyang Wiro Setyo sengaja menahan diri untuk tidak melanjutkan perkataanya, lantaran dia menyaksikan segala gejolak hati dari Ki Demang  Haryo Pamundi yang demikian menggelora. Terlihat dari matanya yang terbelalak dan berputar menyaksikan satu demi satu yang hadir di keremangan malam itu.

“Lantas, mengapa kanjeng sultan demikian mengagungkan pedang itu, Pamanda Wiro !”

“Ki Demang, jangan salah paham !, apalagi menuduhku untuk memutarbalikan fakta !”

“Maksud pamanda bagaimana ?”

“Bagi kanjeng sultan Pedang Naga Perkasa hanya dijadikan simbol belaka. Tapi yang paling mendasar adalah nggulawentah sanubari dan hidup beliau untuk tetap pasrah dan berserah diri kepada Sang Hyang Widi !”

Ki Demang Haryo Pamundi dan segelar prajurit kedemangan tidak percaya sama sekali dengan keterangan lelaki beruban itu.

“Maka, serahkan kembali pedang itu pada kami, pamanda !” . Melihat gelagat Ki Demang yang selalu mempertahankan pedang itu Suto kembali mengajukan ketidaksabaranya  pada pamanda yang selalu menampakan gurat wajah tidak senang.

“Sabarlah!, Ngger Suto cucuku!, engkaupun tidak sebaiknya berlaku seperti itu, apabila engkau tahu maksud Sinuwun Kanjeng Sultan Hadiwijoyo memberikan pedang itu padamu !”

Keremangan malam itu menjadi terbius dengan pemamaran wejangan dari resi yang arif itu. Setelah sekian lama mereka berseteru memperebutkan pedang itu. Baru kali ini  Eyang Wiro Setyo menyeruakan segala hal ikhwal pedang itu.

“Mohon maaf, pamanda !, setahu aku yang dungu ini. Pedang sakti itu mampu mengantarkan siapa saja yang mengagungkan mampu mukti wibowo menjadi penguasa di tanah jawa ini, betulkah demikian pamanda !!”

“Betul Ki Demang !”

“Ah, aku jadi bertambah tidak mengerti, pamanda !. Mengapa kanjeng sultan hanya menganggapnya sebagai simbol, padahal beliau telah menyimpanya selama bertahun-tahun ?, dan sekarang terbukti beliau telah muktiwibowo ?”

“Kalau memang pedang itu yang membawanya mukti wibowo, mengapa pula beliau menyerahkan pedang itu pada Angger Nakmas Suto ?”
4
“Karena Sutolah yang dipilih sinuwun  mewariskan tahta beliau, pamanda !”

“Ki Demang !, Nakmas Suto sama sekali tidak punya hak untuk menduduki tahta Pajang, karena Nakmas Suto tidak memiliki hubungan darah. Sehingga Pedang Naga Perkasa itu sama sekali tidak ada hubunganya dengan tahta, kehormatan dan derajat  pemiliknya “

“Mohon maaf  Pamanda Resi Wiro !, ananda sama sekali belum bisa menerima wejangan pamanda !. Mengapa pula ananda Suto berambisinya meminta kembali pedang itu ?”

“Nakmas Suto hanya sekedar ngugemi amanah kanjeng sultan ?”

“Itukan berarti kanjeng sultan memang menginginkan Suto untuk mukti wibowo di kadipaten ini !”

“Benar, Ki Demang. Asalkan Suto dan semua petinggi baik sekarang ataupun di masa depanyang   sanggup memenuhi pitutur para sesepuh Tanah Jawa yang tertulis di semua bagian pedang itu !”

Ki Demang Haryo Pamundi bertambah penasaran, maka diapun segera memungut Pedang Naga Perkasa  yang berlapis emas dan segera melepas warongkonya. Terlihatlah beberapa goresan huruf  jawa yang bertebaran di sepanjang bilah pedang itu.

“Perhatikan seksama Ki Demang, itulah pesan dari semua pepunden kita untuk para petinggi Tanah Jawa di tlatah manapun, yang harus mengedepankan adil, wicaksana, mengayomi, mendahulukan kepentingan kawula, jujur, tekun menyembah kepada Penguasa Alam Semesta. Inilah Pedang Naga Perkasa   yang sebenarnya hanya wejangan para alim, seperti Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan lain sebagainya”

“Apa arti tiga mutiara yang ada di pegangan pedang ini, pamanda ?”

“Itu tidak lebih, hanya symbol rasa asih, asah dan asuh para petinggi Tanah Jawa kepada kawulanya ?’

Ki Demang Haryo Pamundi meletakan kembali pedang itu yang sudah dimasukan ke dalam warongkonya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa pedag sakti itu hanyalah sebuah pitutur belaka. Diapun kini menyurutkan langkah untuk kembali duduk di dipan panjang dengan seluruh sendinya terasa lepas dari tubuhnya.

“Mohon maaf Ki Demang, apabila keterangan aku yang pikun ini membuat Ki Demang bersedih. Selanjutnya aku dengan lancang mewakili Angger Nakmas Suto untuk memberimu waktu menyimpan pedang itu, Kid Demang!”

“Aku tidak membutuhkan  lagi, pamanda resi !, yang kubutuhkan hanyalah kesaktian sebuah benda pusaka untuk menghancurkan Lowo Ijo “

“Apabila Ki Demang, betul-betul mengamalkan pitutur yang ada di pedang itu. Maka Lowo Ijo pasti akan musnah dengan sendirinya, percayalah Ki Demang !”

Ki Demang Haryo Pamundi hanya menganggukan kepalanya, bibirnya terkunci rapat. Sorot matanya kosong, kedua tanganya hanya ber[egangan pada bibir tempat duduknya.
Kokok ayam jantan mulai terdengar, udara dingin mulai menjenguk sendi tulang semua yang hadir di beranda joglo kademanganya. Tanpa sepatah katapun Ki Demang
5
mengulurkan  kedua tanganya yang memegang pedang sakti itu kepada Suto sambil mencium kedua pipi putra keponakanya itu***