Terdengar suara benturan antara piring dan mangkok, serta benda kaca
lainya yang terus saja terdengar di pangkalan pedagang mi ayam milik
pengusaha Soebroto sepanjang siang ini.
Gerobag-gerobag mi ayam sudah mulai terisi dengan mi seduhan serta lobak dan
bawang goreng. Tawa yang lepas dari belasan pedagang mi ayam juga terkadang
sesekali terdengar. Sehingga lengkap sudah kebisingan di pangkalan itu
sepanjang hari ini.
Ada ada saja perangai pedagang mi ayam tersebut, sebagian dari mereka
layaknya anggota dewan yang asyik mengomentari situasi politik negeri berwajah
sembab ini, seraya mempersiapkan dagangan mi ayam untuk sore nanti. Sebagian
lagi masih mengusung sikap moralis menurut kemampuan pedagang mi ayam itu, yang
hanya berpendidikan paling tinggi SMP. Tetapi hanya satu dua yang kerap membisu
dan hanya menjadi pendengar setia.
Beberapa kertas harian cetak bekas bungkus belanja tergolek di meja dapur
yang sudah kelihatan lusuh dan beberapa diantaranya sudah sobek, sesekali
diantara mereka membaca edisi beberapa hari sebelumnya, untuk sekedar menimba pengetahuan
tentang situasi politik, perseteruan para petinggi negeri berwajah sembab ini
dan kehidupan artis yang puyeng-puyengan. Narto tak segan-segan meneluangkan
waktunya untuk membaca kasus Angelina Sondakh, Gayus Tambunan dan beberapa
topik yang hangat di masyarakat.
“Narto !, beli koran yang hari ini saja, kan katanya Gayus sudah divonis ?” Kang Dirman berkomentar
dengan wajah yang tertekuk cemberut,
karena rasa lelah disekitar tubuhnya yang belum hilang. Meski pagi tadi
tenggorokanya sudah dibasahi minuman suplemen.
“He..eh Mas, aku dengar di TV sudah divonis 6 tahun, jadi vonisnya
sekarang menjadi 28 tahun “
“Kok lama ya!, salahnya apa saja ? ” seru Kang Dirman
“Ya pokonya korupsi lah !, aku juga tidak tahu masalahnya apa !”
“Kadang kadang aku juga heran ! “ Kang Dirman sementara menunda
pekerjaanya untuk mencuci daging
ayamnya, dia meletakan ember berisi daging ayam tersebut dan duduk di
samping Narto yang beberapa tahun lebih muda.
“Kok pake heran segala, sih ?” tanya Narto.
“Apa mereka yang korupsi milyaran tidak pernah jalan-jalan ke desa tempat
keluarga kita tinggal ?.”
“Untuk apa repot-repot koruptor jauh-jauh meninjau kampung kita. Enakan di
Jakarta yang apa saja tersedia dengan mudah” sanggah Amran yang asyik meneguk
kopi panasnya dan mulai gabung dengan teman teman sekampungnya yang berdiskusi
dengan seloroh dan santai.
“Nggak gitu Mran !, mereka kita harapkan mau mengembalikan uang yang
dikorup untuk membangun kembali sekolah SD anak anak kita yang rusak. Atau mereka
mau melunasi SPP anak anak kita yang kadang kadang disuruh pulang karena belum lunas
SPP”
“Itu namanya bukan koruptor . Mana ada koruptor seperti itu ?. Tukas
Hamidi
2
“Mengapa ?. Bukankah koruptor itu manusia ?”.Kang Dirman tidak mau kalah dengan
jawaban Hamidi, yang baru saja selesai mandi pagi dengan piring dipenuhi
sarapan nasi hangat dan mi instan rebus di kedua tanganya.
“Ya tentunya manusia. Cuma kalau kita bicara masalah koruptor, jangan
kita bicara masalah dosa atau tidak. Tapi tanyalah kita punya kesempatan
korupsi atau tidak ?”. Jawab Hamidi dengan mulut yang mulai mengunyah nasi
hangat sarapanya.
“Maksudnya gimana, Pak De ? ” tanya Amran.
“Kita semua gampang dan bisa melakukan korupsi di negara ini “ Meskipun Hamidi belum selesai
sarapan paginya. Namun dia tetap memberikan paparanya dengan semangat.
“Mengapa, Pak De ? ” sekarang giliran Narto yang bertanya.
“Bukan masalah mengapa ? Petanyaanmu salah, Narto ?. Harusnya kamu
bertanya mengapa kita tidak korupsi ?”
“Lha !, yang mau dikorupsi apa, wong kita cuma pedagang mi ayam “
Jawab Dirman
“Itulah masalahnya Dirman !. Kalau kita pejabat kitapun gampang melakukan
korupsi. Iya kan ?. Kamu pingin kaya kan ?. Untuk apa jualan mi ayam kalau kamu
sudah kaya !”
“Tapi masalahnya buat apa kita kaya, bila harus masuk penjara “ Kembali
Kang Dirman menyanggah pendapat Pak De Hamidi.
“Nah, sikap seperti itulah yang seharusnya dimiliki oknum pemimpin kita. Mereka tidak lagi
melakukan korupsi karena beratnya hukuman yang harus mereka terima “
“Tapi nyatanya !, penjara saja
tidak membuat para koruptor lainnya jera. Coba bayangkan beberapa koruptor
telah dijerat dengan pasal korupsi, tapi nyatanya masih terus kita baca dari
koran dan melihat TV tentang kasus korupsi”
Kang Dirman mulai bersemangat mengusung pendapatnya.
Mereka kini seakan-akan bukan lagi pedagang mi ayam, tapi bagaikan para
pakar hukum dan anggota dewan yang sedang berkiat menepis korupsi di negara
yang terpuruk ini. Meski mereka hanya tamatan SD dan SMP, tapi mereka juga
masih memeliki sebersit harapan untuk sebuah keadilan dinegeri archipelago
ini. Sehingga mereka tak lagi dihantui biaya untuk menyekolahkan anak mereka yang
setinggi langit, tak ada lagi kenaikan BBM yang menyulut kenaikan harga
lainnya.
Meski hari semakin merambat siang, matahari hampir mencapai ubun-ubun
mereka. Namun inilah diskusi ala kadarnya bagi sang ilalang yang tak
memiliki hari besok untuk menyandarkan
hidupnya demi sesuap nasi dan sekolah anak-anak mereka. Kang Dirman, Narto dan
Amran masih bersungut-sungut wajahnya, seakan tidak sabar lagi untuk
menyaksikan negeri ini bernafas tanpa korupsi dan koruptor yang memang telah
mendarah daging di tiap sendi kehidupan semua masyaakat kita.
“Huuh, memang rumit membicarakan korupsi di negeri ini. Aku sendiri tidak
mengerti bagaimana awalnya kok banyak korupsi di negara ini. Sementara kita
mencari uang 40 ribu sehari saja payahnya bukan main. Sementara yang disana,
enak saja melakukan korupsi uang negara bermilyar milyar rupiah” Amran memulai
lagi diskusi yang beberapa saat tadi terhenti, karena semua peserta diskusi
hanya mampu membisukan hatinya masing-masing.
3
“Betul katamu, Mran !. Kita hanya pedagang mi ayam, kita ini apa ?” seru
Narto
“Apa yang boleh berbicara masalah korupsi harus orang gedongan. Apa kita
tidak boleh bicara masalah korupsi ?” seru Kang Dirman.
“Hehehe…tidak ada salahnya kita ngrumpi tentang korupsi. Kita
ambil manfaatnya saja “ Hamidi berusaha untuk menghangatkan kembali diskusi
itu. Sarapan nasi hangat kini sudah semuanya masuk ke perutnya, yang kelihatanya
sudah agak buncit. Memang berbicara masalah korupsi dan koruptor, pedagang mi ayam ini yang paling getol unjuk
pendapat. Meski seluruh rambutnya sudah putih semua, karena usianya telah
mencapai usia 70 tahun-an. Tetapi fisiknya masih kelihatan tegap dan bugar. Pedagang
mi ayam ini termasuk manusia Indonesia yang hidup dalam lima jaman, lengkap
sudah dia mengenyam kehidupan negara kita dalam era penjajahan Belanda, Jepang
dan Jaman Revolusi Fisik di bawah pimpinan Soekarno, Orde Baru dan Reformasi
sekarang ini. Maka wajar saja semangat nasionalisme pada dirinya masih begitu
kuatnya.
Buah hasil dari kehidupan lintas jaman yang dia lalui, adalah sikap
antipasti pada korupsi dan koruptor, yang sangat gigih dibrantas sejak era
Penjajahan Belanda hingga sekarang.
“Manfaat yag bagaimana, Pak De ?” tanya Kang Dirman yang baru
berusia setaraf anaknya.
“Kita bisa member keteladanan pada anak cucu kita, agar mereka semua
bersikap jujur dan semeleh “ jawab Hamidi dengan suara datar meski pelan
tetapi mampu menghipnotis semua pedagang mi ayam yang berkumpul di forum
diskusi non formal, meski hanya diskusi asal-asalan yang tidak memiliki dasar
dan fakta.
“Hmm..memang tidak masuk akal jika
kita ingin mengembalikan kehidupan rakyat kita seperti jaman jaman sebelum ini.
Jaman dahulu, para petinggi kita sama sekali tidak berani korupsi demi nama
baik partai. Mereka memang rakyat Indonesia yang betul betul mendarah daging
cintanya terhadap partai dan negara. Bilamana perlu nyawapun dikorbankan demi
keyakinan politik mereka “ Jawab Hamidi di tengah peserta diskusi yang hanya
diam membisu.
“Pak De dahulu masuk partai apa ?” tanya Narto
“Aku masih kecil, aku belum tahu apa-apa “
“Tapi Pak De kok tahu mereka sangat mencintai negara ini ?”
“Setiap kali aku berkumpul di depan rumuh saat udara malam cerah, bapaku sering bercerita tentang teman-temanya
yang berjuang di partainya “
“Sekarang banyak oknum pejabat korupsi karena budaya, ya Pak De “ tanya
Kang Dirman.
“Ah, mungkin karena hukumanya terlalu ringan. Kalau di Cina malah
ditembak mati” jawab Narto.
“Ya begitulah, kita sekarang juga lagi korupsi lho “
“Lho, korupsi apa ?” jawab mereka serentak
“Kita korupsi waktu, kita korupsi pada anak istri kita “
“Ah, Pak De ini gimana sih ?” jawab Narto penasaran.
4
“Kita jauh jauh datang dari desa untuk bekerja menafkahi anak istri kita.
Tidak ngrumpi seperti ini, hehehe..Ini namanya di mangkok mi ayam kita juga ada
koruptor, yaitu kita sendiri. Ayo lanjutkan kerja kita hahaha “
“Hahahahaha” semua peserta diskusipun menjadi geli mendengar seloroh
pedagang mi ayam yang masih tinggi nasionalisme yang ada di dadanya. Semua kini
ngeloyor menuju kompor minyak, gerobag, penggorengan dan peralatan
masing-masing***