Kamis, 05 Agustus 2021

TIRAI


Seperti meniti tali yang terbentang dan dipenuhi duri tajam yang tak berujung dan harus dilalui. Sedangkan tautan kedua ujung tali itu. tak begitu kokoh bertambat dengan puncak tebing yang menghimpit tubuh Rakian dengan kokohnya. 

Namun Rakian harus terus menitinya. Entah sudah berapa kali Rakian melewatinya, entah ujung yang mana yang sudah dijamahnya. Sementara di sebelah kanan kiri tali itu, jurang menganga siap menyantap tubuhnya. 

Gentarpun harus disimpanya kuat kuat dalam lubuk hatinya. Apalagi rasa pasrah dan tertunduk lesu, dia buang jauh jauh hingga tak tampak lagi lakon hidup yang menyesakan dada. Sesekali lakon hidup yang dilalui terasa sangat menusuk jantungnya, sesekali pula timbul dalam hatinya, perasaan pantang surut ke belakang demi Ardian dan Elly dua bocah laki laki dan perempuan, sebagai buah hati perkawinan dengan Russ Kania selama beberapa tahun. 

Perkawinan yang sangat menjadi dambaan Rakian, sejak dia dan Russ benar benar bertaut dalam pelukan mesra. Hingga lahirlah Ardian 4 tahun sesudah dia mulai mengarungi bahtera sebagai suami dan Elly 8 tahun kemudian. Tak ada sisi gelap satupun dalam hidup yang berkelambu kemesraan dan kesetiaan yang pernah menusuk dalam dalam jantungnya di masa lalu. 

 Masa masa indah mengawali kehidupan mereka, meski dia hanya tenaga cleaning servis di perusahaan konsultan konstruksi dan interior design yang cukup beken di kotanya. Saat itu bagi Rakian, adalah yang hanya mampu diperbuat olehnya, yang hanya berijazah SMA. Peluh dan sesekali kesah menjadi bagian kesehariannya dalam hidup yang dimiliki, sedangkan bergulirnya jarum detik terus memburunya, semakin lama detik itu menggigitnya dan semakin pula dia merasa tersudut. Meskipun dengan jerih payahnya dia mampu membelikan Russ rumah mungil di sudut kota, yang masih sepi dari taburan eksotis kota yang begitu liarnya.
 
Russ istrinya yang bergaya selebritis muda, hanya menampakan wajah wajah gelapnya selama menempati rumah mungil, berdinding batako dan beratap asbes. Bergaul dengan tetangga tetangga yang dipandang Russ hanya sebagai masyarakat kelas bawahan, yang norak dan tak berkelas. Sedangkan Russ selalu bergincu bibir mirip artis sinetron muda yang kontraknya mencapai milyaran rupiah. Di bawah asbes yang sudah mulai rapuh dan berdebu inilah Russ selalu menuntut Rakian demi sebuah hidup bergaya selebritis. Rakian hanya tertunduk lesu bila seharian Russ memberondongkan umpatan, tentang ketidakmampuan Rakian dalam menuruti kemauan sang selebritis tinggi hati itu. Kedua anaknyapun seharian itu pula menempel dan menggayutkan pada tubuhnya. Sama sekali rasa kasih sayang pada kedua putranya tidak luntur sedikitpun, meski dia sering tersudut oleh impian dan khayalan istrinya. Dengan raut muka polos dan bening mata yang indah kedua anak anaknya tidak menghiraukan apa yang keluar dari mulut Russ ibunya, 

Rakianpun sama seperti kedua anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan serentetan tuntutan selebritis yang bagaikan sedang tidak punya order kontrakan lagi. Meski sorot mata pria ganteng itu tidak mampu menyembunyikan perasaan yang bercampur, pilu, marah, sedih dan bingung. Apalagi bila Russ melihat tetangga yang memusari dia terus saja merehab rumah mereka, dengan gaya rumah mpdern bergaya romawi, berdinding batu alam dan berlantai keramik. 

Diapun bagaikan macan lapar yang siap melahap tubuh Rakian yang tinggi. Entah iblis mana yang merasuk dalam aliran darah Russ Kania, sehingga dia menjadi nanar matanya, tak sehalus dan selembut saat awal awal pernikahan mereka. Russ saat itu tidak memperdulikan dia tinggal di rumah apapun, derita yang paling menunjamkan hatinya, diapun lega menerimanya. Tetapi kini jauh berbeda. Kelambu pengantinya yang dulu dia sulam dari benang sutra, yang lembut dan halus, kini telah meluruh menjadi kelambu penuh kepengapan. _______________ 

 “Hanya kita saja, yang belum merehab rumah ini, Mas. Sedangkan tetangga kita sudah berganti tembok , berdinding genteng, pakai keramik lagi lantainya. Sedangkan kita membeli tv plat saja model sekarang tidak mampu” pagi-pagi sekali di Hari Minggu Russ sudah memprovokasi suaminya, yang dulu dianggapnya Sang Arjuna, yang mampu merobohkan jantung hatinya. Sementara Rakian seperti biasanya tidak memperdulikan ocehan wanita yang sangat dicintainya, yang memberinya dia putra dan putri, yang ganteng dan ayu mirip ibunya. 

 Rakian hanya sibuk memandikan kedua putranya dengan seloroh yang lembut, penuh belaian kasih sayang, berlainan dengan ibunya yang melipat wajahnya bagaikan nenek lampir dari Gunung Merapi, meski sama sekali tidak terdapat guratan ketuaan di kulit wajahnya yang putih mulus. Namun betapa penasaran hati Rakian pagi itu, karena tidak seperti biasanya Russ berdandan sangat modis, dengan make up yang belum pernah dia belikan. Memakai stelan underok yang minim dengan kaos yang ketat. 

Sementara rambutnya dibiarkan terurai hingga pundaknya. Entah dari mana Russ mendapatkan sepatu yang berhak agak tinggi, dengan warna kulit kemerahan. Kedua anaknyapun menyampaikan protes kepada Rakian bahkan sempat memberontak menuntut untuk ikut ibunya, yang tak tahu entah kemana tujuan perginya. Namun protes itupun menjadi surut kebelakang, setelah kedua mata ibunya yang bundar memberikan sorot mata garang dan menghardiknya, supaya tidak usah ikut denganya. “Mereka berdua kecewa tidak kamu ajak pergi, Russ ? ”. 

Rakian mencoba membujuk Russ agar di Minggu pagi ini, Russ mengajak mereka untuk jalan jalan. “Mengapa kau memintaku seperti itu ?” jawab Russ. “Kamu kan ibunya, mereka butuh kamu, Russ ?” “Mas Rakian, aku ada janji dengan temanku “ “Kemana ? “ seribu rasa penasaran kini bersemayam di hati Rakian “Apa perlumu ?” Russ mejawab dengan sebuah bentakan yang melengking. “Aku kan suamimu, Russ ? 

“ Ruang tamu yang sederhana beralas semen yang sudah banyak mengelupas kini lengang dan membisu. Rakian hanya tertunduk wajahnya dengan kedua bahunya yang masih digayuti kedua putranya. Seakan akan Rakian tidak mampu barang sedikitpun untuk menghalangi kemauan istrinya. Russpun segera berlalu tanpa say goodbye, kedua sorot mata anaknya terus mengikuti tubuh ibunya, yang tak lama menghilang di pertigaan ujung gang mereka yang kumuh. Rakianpun tahu apa yang akan dilakukan istrinya itu, tapi tak pernah mencoba untuk menahanya. Sebab bagaimanapun juga itu adalah hak istrinya untuk menentukan sikap, sebagai rasa kecewa pada dirinya yang sudah bertahun tahun menghinggapi kalbunya. Rakian kini dipersimpangan jalan, dilain sisi dia rela Russ menggapai kebahagiaan yang dia butuhkan untuk lifestyle yang dikejarnya. 

Tetapi di lain pihak kedua putranya membutuhkan belaian seorang ibu. Tapi bagaimanapun juga sebuah langkahpun harus dia beranikan, justru demi kebahagian kedua sisi yang melingkunginya. Russ sudah meluruhkan kasih sayangnya pada kedua belahan jiwanya, demi hanya kehidupan glamour yang dibidiknya, tanpa memperdulikan resiko apapun. Apabila Ardian dan Elly terus menemani kehidupan ibunya, maka mereka berduapun terus menjadi sasaran kemarahan ibunya. Namun getaran hati yang menggelora di beranda jantung Rakian, terus saja datang pergi silih berganti, antara Russ dan kedua bocah mungilnya. 

Sementara malam telah merambat semakin larut, deru mesin kendaraan di gang depan rumahnya kini tidak terdengar lagi. Sesekali terdengar suara dentingan pinggan si abang bakso yang memecahkan kesunyian malam. Larutnya malam ini adalah saat yang paling memilukan, apalagi sering terdengar rintihan Elly memanggil ibunya demi segelas air susu hangat. Sementara Russ entah kemana menyelinap di tengah remang malam, atau mungkin dipelukan laki laki jalang demi selembar uang. Tapi yang jelas Rakianpun harus rebah keperaduan di samping kedua anaknya, yang telah merenda mimpi. __________ 

 “Sudah kau pikir dalam dalam Russ, untuk meninggalkanku ?. Cobalah bersabar demi Ardian dan Elly “ pinta Rakian, yang sudah mulai lapang hatinya menerima keputusan yang diambil Russ, suatu keputusan yang diyakini sebelumnya bakal diminta Russ. Kegetiran hatinya telah mulai tertepiskan lantaran sedikit demi sedikit hatinya menjadi tabah saat menerima kenyataan ini. Rakian telah cukup lama merasakan betapa beratnya menerima makian kasar, tuntutan dan seribu sikap Russ yang menikam ulu hatinya. 

 “Aku mengambil langkah ini justru demi mereka berdua yang masih butuh biaya. Sudahlah Mas Rakian, suatu saat akupun akan di tengah mereka kembali “. Inikah Russ Kania ?, wanita yang dulu justru mengejarnya untuk mendapatkan bilah cintanya, yang berjanji bersama mengayuh biduk hidup di tengah keadaan apapun. Tapi apakah ini sebuah lakon hidup yang harus dititi oleh manusia, yang bisa saja berubah tak tentu arah. Berkali kali Rakian hanya mampu menelan ludahnya sendiri, dia masih terpaku berdiri di serambi rumah mungil, menyakisikan Russ Kania pergi berlalu dengan sebuah mobil mewah, meski terdengar dengkur kedua anaknya yang terlelap di tengah malam, setelah beberapa saat sebelumnya Russ Kania menciumi pipi kedua anaknya. 

Bagi Rakian malam ini memang malam tak berbintang gemintang, rembulan tertutup mega hitam. Tak lama kemudian terdengarlah adzan subuh menggema di malam pilu itu. Sedikit kesegaran dalam hatinya kini mulai ia dapatkan.

Selasa, 03 Agustus 2021

Air Mata Anggie

Hari hari Anggie dilalui penuh dengan untaian wangi bunga. Setiap pagi hingga siang di sekolah, dia layaknya bintang panggung yang asyk nelantunkan syair syair cinta, dengan irama musik yang lebai, di pusaran jutaan penggemar nya yang histeris. 

 “ Anggie...,...” entah berapa juta kali nama itu disebut ileh penggemarnya, dengan derai aur mata histeris. 

 “ Oh sekarang aku tak kalah dengan Lesti, bintang muda yang lagi nak daun elakangan ini “:Bisik hatinya melambung dirinya , seakan akan hampr menyentuh langit. 

 Namun diantara jutaan cowok yang memusari, belum juga nampak batang hidung Ian yang selalu dicarinya sejak dia naik panggung. “ Ian....Ian “ bisik hatinya terus berkecamuk. Apa arti semua inu, bilka cowok langsin berhidung mancung itu belum uga menggapai kedua tanganku. ???. Rasa kesal mulai memenuhi rongga dadanya. 

 Namun debtuman drum dan lengkingan organ berpadu dengan string melodi eariknya agar ia terbebam dalam lagu cinta kesukaanya. 
 *** 
 “Anggie...Anggie “. Hingar bingar musik berheti seketika berhenti. Lampu panggung warna warni berdaya tinggi padam seketika. Jutaan penonton lenyap seketka. “Oh mengapa aku ada disini “ teriaknya lirih, hanya bunga bunga di taman sekokah yang mendengarnya. ” Anggie...ini aku..kau melamun ? “ suara setengah berteriak itu memenuhi seluruh otak dan pikiranya. 

Suara itu telah lama dikenalnya dan lama dinantikan kehadiranya. Namun mengapa dia ada di sekolah in..mengapa dia tidak di atas panggung bernyanyi bareng sama aku, persis seperti Lesti dan Rizky Bilal. Demikian bisik hatinya yang tersengat hipnotus lamunanya. “Angie inu Aku Ian...hey pagi pagi dah melamun “ Ian berkata dengan suara lembut. Anggie tersentak kaget, dia sangat kecewa mengapa semua lamunanya sirna dipagut realita. Ianpun mengajak Anggie duduk ditaman sekolah depan kelas mereka, sambil menunggu bel masuk sekolah.

 “Hey Anggie tidak baik lho, klo kamu sering melamun “ ucap Ian yang mulai berwajah serius dan tak sungkan menasehati Anggie teman dekatnya. “Trimakasih Ian, kamu nemang teman dekatku, Cuma kamu yang serng memperhatiin aku. Trimakash ya Ian “ ucapan Anggie begitu tulusnya, dalam hatinya berharap Sebastian menjadi pendamping hidupnya. 

Tentunya hari hari mereka berdua penuh dengan prosa cinta dan wangi bunga. Begitu dalamnya benang halus Ian yang bersemayam dalam sudut hatinya. Terus saja Anggie mengharapkan anganya menjadi sebuah realita, bukan hanya hadr dalam lamunanya saja. “ Ah jangan gitu Anggie, untuk apa sebuah trimakasih. Kita kan sahabat lama, sudah wajar klo aku mengadvis kamu. Semoga persahabaran ini bisa saling bermanfaat. Kadan kadang aku juga masukan dar kamu. Ingat Anggie !, kita masih belia masih harus belajar sampai nanti “ Ian tersenyu manis, membuat hati Anggie kelimpungan. Hanya sebuah persahatan, Bisik hati itu terus menggema berkali kali dalam lubuk hatinya. Tidak mengertikah Ian bahwa dia mengharapkan lebih dari persabatan, berdua menyemai bulir bulir cinta.
 *** 
Kriiiiiiing Bel sekolah memenui setiap sudut sekolah. Mereka berdua melangkah menuju jelas yang sama. Tangis memenuhi hati Anggie, meski wajah tetap berhias senyum ***

Rabu, 26 Desember 2012

R e s a h


selalu ada gundah
merebah,  tak mampu  aku bawa arah tubuh
sementara sang detik menusuku dalam- dalam
aku terjebak dalam kelana
menukil sketsa yang aku mau
pada belantara aku temukan kau

tak heran bila sedih
melepaskan  tiap urat nadiku...
jalan jalan yang pernah kita lalui
berpagar  beluntas
bersandar pada bilah bambu
kini memekik, tak mampu kudengar

tinggal satu lagi,
cerita panjang  membelit tiap kata hati
akan kulepas, berseloroh dengan batang jambu
di halaman rumah, kala kau dan aku satu.....

 Semarang, 27-12-12