SENJA sudah
mulai menggelapi rumah sederhana, yang berlantai semen dan berdinding setengah
bata. Atap rumah sederhana yang terbuat
dari genteng merah sederhana itu, masih
menyimpan hangat terkaman sinar matahari yang seharian penuh tadi
mengakrabinya. Angin pancaroba yang
seharian menerbangkan debu debu dari
arah bentangan sawah di sebelah mulai lelah, berganti dengan langkahnya yang semilir.
Sehingga semua daun pisang di halaman belakang, hanya mampu tertunduk lesu.
Seperti biasa
tiap senja menyelinap pekarangan rumahnya,
Sukoco mulai memutar-mutar lampu
neon lusuh 10 Watt di halaman depan agar mampu menyala. Meski sinarnya sudah
mulai surut, namun lampu neonya mampu menerangi jalan tanah yang ada di depan
rumahnya. Sehingga lubang lubang jalan yang dilindas roda pedati kini dapat
terlihat jelas. Terdengar batuk batuk kecil Sukoco menyelinap dinantara
kelengangan desanya yang sedang dirundung sebuah kegetiran. Batuknya semakin
melengking saat , semilir angin senja
mulai membalut tubuh Sukoco yang kurus kering itu. Namun lelaki yang
menghabiskan seluruh hidupnya di sawah ladang itu, lebih memilih menghangatkan
tubuhnya dengan menutup rapat rapat
dengan sarungnya yang kumal.
Sukoco segera
beranjak dari duduknya, setelah beberapa serangga tomcat beterbangan dan
hinggap di dinding beranda rumahnya, segera
dia berkelit kesana kemari, mirip Pendekar Rajawali dalam serial silat mandarin
“Return of The Condor Hero” yang mahir memainkan pedangnya. Sarungnya yang
tadinya membungkus tubuhnya kini berganti digunakan untuk menyambar setiap tomcat
yang terbang di seputar tubuhnya. Rupanya tomcat itu kembali menyatroni rumah
papanya dan kini nampaknya semakin bertambah banyak jumlahnya. Rasa kesal Sukoco
kembali mengisi seluruh hatinya seperti malam malam sebelumnya. Padahal kemarin
malam sudah cukup banyak serangga itu bergelimpangan di lantai semen setiap
penjuru rumahnya, setelah dia semprot
dengan obat serangga sisa dari musim
tanam kemarin.
Namun kawanan tomcat itu tidak menggubrisnya, seakan akan
mereka tahu bahwa Sukoco dan
teman-temanya yang mengusik ketentraman hidup mereka, petani desa itulah yang
membunuh wereng yang menjadi santapan mereka setiap hari, ditambah dengan bau
obat serangga yang merambah setiap
jengkal sawah mereka, yang telah membuat mereka mual perutnya dan memeningkan
kepalanya. Bahkan tidak sedikit teman
mereka yang tersungkur menghembuskan nafas.
“Tomcat sialan,
ayo maju rasakan sarungku !!!’. Setelah beberapa puluh tomcat bergelimpangan, Sukoco
segera kembali siaga dengan kuda-kudanya mirip pendekar
2
sakti yang
menantang musuhnya. Mendengar teriakan Sukoco yang memecahkan keheningan senja
di tengah perkampungan petani yang dibelit kesusahan hidup. Beberapa
tetangganya
segera merangsek mendekati Sukoco, yang kini mengerahkan semua jurus silatnya dari
mulai aliran mandarin hingga jurus Betawi untuk mengalahkan tomcat.
“Pak !, jangan
seperti orang gila !, malu dilihat tetangga !!” teriak istrinya yang mengambil
langkah seribu keluar rumah setelah mendengar kegaduhan yang dibuat suaminya.
“Biar saja !,
biar semua tomcat ini mampus !, aku sudah semprot dengan oabt serangga, tetapi mereka
tidak mati !” Sukoco sudah menepikan akal sehatnya, memang dia telah kesal
dengan tomcat-tomcat durjana yang nekad menyebar di rumahnya dan sebagian
menyerang gabah yang baru saja dipanenya.
“Tapi jangan
seperti orang gila !”. Lengkingan Ponirah membentur dinding bambu rumah
tetangganya yang berjajar di jalan tanah berlapis batu kali yang berhamburan di
atasnya.
“Yang gila aku
apa tomcat, Pon ?” teriakan Sukoco dibarengi kedua matanya yang melotot pada
Ponirah istrinya.
“Kalau yang gila
tomcatnya!, apa kita akan menirunya ?” kembali Ponirah mengajukan protes keras.
“Iya!, kalau
perlu !, lihat tuh Pon!. Semua tetangga kita sekarang jadi edan memburu tomcat
sialan ini. Jelas ini kemarahan sang penunggu sawah-sawah kita. Sehingga tomcat
ini menjadi berani dengan kita “ Kedua kaki Sukoco kini berhenti berjingkrakan yang
tadinya mirip Jacko yang asyik menyanyikan lagu “Black and White”. Kini
sarungnya dikalungkan ke lehernya, mulutnya mulai berkomat kamit menghujamkan
mantra sakti pada kawanan tomcat yang kini masih beterbangan kesana kemari di
dalam dan pekarangan rumah papan Sukoco.
“Pak, kamu
tambah memalukan. Ingat Pak !, tetangga kita mulai berdatangan menontonmu, Pak
ingat,Pak !!!!!”.
“Edan kamu !,
tomcat itu tidak sembarangan hewan, tidak seperti biasanya mereka berani dengan
kita. Mesti ini karena sihir penunggu sawah kita. Sekarang diam kamu !”
Kerumunan
tetangga Sukoco bertambah rapat, beberapa diantaranya juga ikut berkomat
3
kamit mulutnya,
wajah wajah mereka tengadah ke langit hitam. Mereka kini semua berniat mengajukan
protes pada siluman siluman di langit sana yang menggembalakan tomcat yang liar
dan ganas. Terlebih lebih Sukoco yang merasa menjadi pusat perhatian
tetangganya menjadi semakin liar dan tak tahu malu. Seluruh tubuhnya kini
mengginggil, dan dari mulutnya terdengar suara melengking.
“Hei, sang
penunggu Desa Gondang Manis!, Hentikan
kemarahanmu !, bawa pulang kembali tomcat kamu semua !“ seru Sukoco.
“Sukoco !!!!”,
panggil Langgeng Budarjo yang memecahkan konsentrasi Sukoco yang berdiri di
tengah kerumunan lengkap dengan pasang aksi yang berhasil menghipnotis
tetangganya yang meyakini kekonyolan Sukoco. Laki laki kurus kering itu segera
menghentikan mulutnya yang komat-kamit, dan segera menyapu sorot mata tajam
pada lelaki tua beruban yang kini berdiri di depanya.
“Ada apa, paman
!”
“Kamu sudah edan
!” bentak Langgeng Budarjo yang seusia ayah Sukoco.
“Jangan usil
dengan niat saya, paman !, ini demi ketentraman desa kita. Lihat paman !,
banyak tetangga tetanggaku yang ikut mengusir tomcat dengan caraku !”
“Anak edan !,
sampai satu bulanpun kamu berjingkrakan seperti itu tidak akan berhasil
mengusir tomcat “
“Maksud paman,
bagaimana ?”
“Mereka seperti
kita, apabila rumah dan makanan mereka telah terusikpun mereka akan mecari
rumah lainnya “
“Itu perlakuan
tidak adil namanya !” seru Langgeng.
“Merekakan hanya
serangga !!!! “ Sukoco mulai tersudut
dengan
“Mengapa kamu
komat kamit dan berteirak teriak menggegerkan kampung, kalau mereka hanya
binatang ?”
“Paman !, mereka
semua pasti dikerahkan kekuatan gaib yang marah kepada kita. Mereka sepertinya
telah bertindak diluar wajar “
“Apa mereka
mampu mendengar permintaanmu ?”
“Aku minta
kepada sang penunggu desa kita , yang mengerahkan tomcat itu ?”
“Sukoco !,
tomcat bukan saja menyerang desa kita. Tapi sudah menyerang ke wilayah lainya
di negara kita. Apa sang penunngu itu menyebarkan tomcatnya ke seluruh wilayah negara kita. Pakailah
nalar, Sukoco. Aku juga warga desa sini yang tidak mengenyam pendidikan tinggi,
tapi aku pakai nalar “
“Paman, seperti
juga ulat bulu tahun kemarin, mereka juga menyerang desa kita !” sahut Sukoco.
“Mengapa tidak
kau pintakan pada sang penunggu desa ini, akhirnya mereka hilang sendiri kan ?”
“Apa salah saya
berdoa kalau kita kena musibah ?” tanya Sukoco.
“Kalau berdoa
dilarang, jelas menyalahi ajaran leluhur kita. Tapi berdoalah kepada Tuhan Yang
Kuasa bukan dengan cara seperti orang kesurupan ?” jawab Langgeng dengan penuh
bijaksana. Kini terlihatlah sorot mata Sukoco yang sudah tak seliar tadi.
“Baiklah , paman
!. Terserah apa maunya paman “
“Baiklah Sukoco
!, dan semua saudara saudaraku. Serangan Tomcat seperti ini tidak akan bis
dihentikan dengan cara apapun. Yang pertama mereka sudah kehilangan banyak wereng
yang menjadi makanan mereka, karena obat serangga. Disamping itu juga musim di
wilayah kita sudah rusak, sehingga kehidupan merekapun sudah diluar kewajaran
alam. Mereka
akan hilang sendiri jika musim kembali normal. Kalian semua jangan tersihir
tomcat tomcat ini. Mereka tidak akan menggigit kita, mereka juga bukan hewan
berbisa. Jadi tutuplah semua pintu dan jendela rumah kita kalau malam tiba.
Matikan lampu sebelah dalam, biarka lampu diluar rumah menyala. Ini bukan
kemarahan sang penunggu desa ini “
Kerumunan warga
desa itu menjadi bubar, masing masing warga berjalan dengan muka tetunduk.
Terlebih lebih Sukoco yang tanpa pamit meninggalkan kerumunan itu dan mengunci
pintunya rapat-rapat. Tinggalah Langgeng Budarjo yang termangu di tengah
pekarangan rumah Sukoco terpagut dinginya udara malam desa Gondang Manis yang
masih hijau lestari. Dalam hatinya kini terselip rasa syukur yang dalam, karena
saudara saudaranya tidak terjerumus dalam kepercayaan yang sesat***