Sabtu, 18 Februari 2012

Try Out Hati dan Cinta


Seharian penuh Keane hanya dikamar flamboyanya untuk “full day taking a rest” segalanya. Setelah satu minggu silam  kegiatan rutinitasnya terus menerus menyita tenaga, hati dan pikiranya. Setelah seminggu lamanya Keane harus ikut Try Out di sekolahnya.  Keane untung saja menyadari bahwa hidup memang sebuah perjalanan yang dia sendiri tidak tahu “ending dan beginning” dalam sketsa yang mau tidak mau manusia hanya melangkahkan kakinya.
Lagu jadul dan melangkonis “My Way” yang dibawakan Frank Sinatra kesukaannya perlahan menyelip di tengah kalbunya. Keane  sedikit terhipnotis dengan isi lagu my way tersebut, yang menggambarkan sebuah perjalanan seorang manusia dalam menggayuti harapan hatinya. “Ya, apa sih yang bisa diperoleh dengan begitu saja di dunia ini ?” , tanpa disadari sebuah pertanyaan dari hatinya dilontarkan kepada tebing-tebing tinggi yang memusari semua perjalanan hidup manusia, atau pada Puncak Jaya Wijaya, Mount Everest atau Puncak Wedus Gembel yang hanya diam membisu.
“Perjalanan ?, begitu beratnya sejak Andi datang untuk pamit pergi ke Padang mengikuti papa dan mamanya yang pindah kerja. Inikah awal aku menuai try out hidup dan cintaku. Lebih dari try out yang dibuat oleh guru-guruku !”.
Saku  t- shirt tergetar karena calling seseorang di Hpnya, Keane segera memungut Hp bercasing biru muda, yang menjadi teman dekatnya di malam minggu ini. Semoga saja Andi di malam ini yang menggetarkan Hp, hatinya bahkan makam minggu ini yang menjadi milik mereka berdua.
***
“Hallo, young lady yang kaya Kate Middleton, lagi nglamun ya ?”
“Ini siapa ? “
“Ah ini aku, lupa suaraku ya ?”
“Sorry friend !, ini Raphael, ya ?”. Meski dia sudah lama tidak pernah gaul bareng dengan cowok ini, namun renyah senyumnya mirip Jenderal Soeharto, tidak terlupakan Keane.
 “Good, kamu memang cewek yang nggak gampang lupa sama teman, ngapain kamu di rumah saja ?. Kalau kamu nggak capek biar gabung sama teman lama kamu malam ini  di rumah Betty. Aku samper kamu kalau nggak ada acara !”
2
“Makasih Raphael!, badanku lagi cuapek, aku mo istirahat dulu. Gampang lain waktu saja aku gabung “
“Pasti lagi merajut angan, ingat sama Andi yang ada di Padang ?’
“Kamu kenal Andi ?”
“Siapa yang nggak kenal dia sih, Keane !. Beruntung kamu dapatkan dia. Cowok ganteng hitam manis dan termasuk smart boy. Kamu kehilangan dia kan !”
“Ah sok tahu kamu ?. Bagi aku dan Andi tidak pernah mengenal arti kehilangan. Kami hanya teman saja”
“Maaf Keane !,  ini mengganggu privasimu. Aku tahu pasti kamu kangen sama dia. Iya kan ?”
“Sorry Raphael !, biar masalah ini hanya untuk aku dan Andi saja.Aku bukan cewek ingusan yang terjebak dalam romantisme remaja. Aku dan dia masih jauh dalam perjalanan hidup kami masing-masing “
“Tapi kalau kamu sendirian di rumah apa salahnya kamu gabung teman lamamu yang ngumpul di rumah Betty. Setelah ngumpul kita bareng ke Cisarua untuk happy weekend dengan ikan mas bakar, OK setuju !”
“Gampang lain waktu, Raphael !”
“Aku kangen dengan canda tawa kamu !, seperti kita dalam kegiatan kemah persami di Cibubur dulu, Keane !’
“Aku juga kangen dengan Betty, Ardian, Anti dan Aldo untuk kumpul bareng lagi “
“Oh mereka juga sering mgomomg tentang kamu. Ayo dong kita reuni, nanti aku yang mamitkan sama mama papa kamu “
“Nggak usah repot-repot Raphael !, aku  mau istirahat. Lain waktu kita sambung lagi ya!”
 “Tunggu Keane !, jangan ditutup dulu !. Kamu sekarang beda sih !. Kamu takut    Andi cemburu kan  Keane ?. Udahlah kamu kan masih muda, ngapain kamu takut diputus Andi !. Kamu cantik lho Keane, gampang mencari pengganti Andi.”
“Sorry friend, kala kamu memang benar temanku ?, sebaiknya kamu nggak ngomong kaya gitu. Cobalah sedikit dewasa Raphael ! Meskipun kita masih remaja, cobalah sedikit
3
menghargai  orang lain. Antara aku dan Andi masih bebas menentukan langkah masing-masing, dia tidak membatasi aku  dan  akupun  sebaliknya. Tapi bagi aku memang malam ini aku lagi capek”. Belum sempat Keane melontarkan semau kata hatinya, Raphael yang entah mengapa menutup Hpnya sendiri.
Malam minggu perlahan merayap sepanjang benang waktu, sehingga rembulanpun memberikan isaratnya kalau malampun sudah agak larut. Keane masih mengaktifkan laptopnya untuk mendnengarkan MP 3 lagu lagu pop nostalgia kesukaanya. Satu demi satu lagu pop melo Pance Pondang menggayuti hatinya.
“Sedang apa Andi di sana.Apakah dia juga ingat aku, ada apa sebenarnya antara dia dia dan Andi. Hanya sahabat biasa ?, tapi mengapa dia selalu ada di hatiku. Atau karena aku yang bersikap biasa biasa saja sama aku, ataukah karena apa ?. Jujur saja aku merasa takut sama Andi, bila gabung bareng dengan Raphael, cowok yang norak” Bisikan hati Keane sekarang lebih berdenting ketimbang suara jarum jam di kamarnya dan suara lagu lagu barat klasik.
***
“Ketahuilah Keane!!,  di dunia ini tidak ada sesuatu yang mampu diraih hanya dengan membalikan tangan. Ingat pesan Bu Willy !”
“Iya bu !” . Masih ingat dalam memory Keane pesan Bu Willy pada dia, saat dia menerima hadiah atas pretasinya sebagai juara kelas di semester pertama kemarin. Namun Bu Willy sempat kecewa lantaran pada try-out yang pertama dua minggu yang lalu, nilai Keane masih belum memuaskan, Keanepun tidak tahu mengapa hal ini terjadi.
Bu Willypun hanya memberikan senyum kecilnya pada Keane atas kegagalanya. Namun Keanepun mampu menafsirkan senyum manis bu guru yang bijak dan pemerduli pada anak-anaknya, bahwa dalam hidup ini memang bukan hanya try-out pelajaran di sekolah yang harus dihadapi semua manusia. Tetapi lebih dari itu, manusia apa, siapa dan dimanapun pasti akan mengalami uji coba dalam kehidupan ini. Apalagi bagi diri Keane yang kini jauh dengan Andi.
Lamunan Keane menjadi meluruh berkeping kala Hpnya kembali bordering, diapun dengan sigap mengangkat Hpnya dan pada Screen Hpnya terbaca kata Andi, maka dengan jantung yang berdegup keras dia memencet tombol hijau.
“Met malam Keane, kamu belum tidur, lagi ngapain ?”
“Eeeh, ngggak ngapain, Cuma aku lagi kecapean ?”
4
“Kecapean ?. emangnya kamu  habis dari mana ?”
“Aku nggak pernah main, Cuma kemarinkan try-out dan habis itu pembekalan UN sampai sore, mala mini aku Cuma diam membisu di kamar “
“Oh ya nilai try-outmu gimana ?”
“Jangan tanya itu, dong ?”
“Emangnya kenapa ?”
“Nilaiku hancur, semuanya di bawah 5. Jadi aku agak stress ?”
“Sama !,  aku juga nilainya seperti itu. Tapi nggak usah sedih dong !, kan UN masih lama. Yang penting kita siapkan nanti setelah lulus UN “
“Oh, ya Andi !. Kamu mau kuliah di mana ?”
“Aku sudah ngomong sama papa, aku akan balik ke Jakarta untuk kuliah di sini. Kita bisa gabung bareng lagi Keane. Ntar kalau kita lulus,  kita bareng nyari universitas yang cocok untuk kita berdua, OK ?”
“OK !, “
Meskipun malam minggu ini , Keane masih sendiri tanpa Andi disisnya, namun baginya sudah cukup bahwa malam minggu ini menjadi milik mereka berdua***

Sabtu, 04 Februari 2012

Angin di Negeriku


Satu Dua Angin dari Katulistiwa

satu dua ikatan angin dari kutub liar
tak  mau meluruhkan sauh, atas kerlingan mata semua
yang tertelikung di bukit luas menjulang
menunggu sang “Edelweis” dan ilalang  menggelar permadani
mengatur nafasnya, basah tenggorokan mereka.

beberapa macam guratan indah, menawarkan sorga
di atas nampan kayu jati, tetap beraroma anyir
diusung hati yang membujurkan awan hitam
sedingin bola salju dari Antartika

kita jangan terus dibenamkan sepatu laras
berkulit macan dengan gigi pongah
namun menghardik dan menggeram
pada lengan-lengan kecil berhias mahkota mawar merah
dengan kelopak menghadap langit biru

demi setetes embun dan sejuknya pagi hari
kita bersama meratakan jalan licin tanah liat
menuju kedua rongga mata mereka yang
bulat,jernih dan mampu sigap melentingkan
tali asih, menuju jendela langit
bukan wedus gembel berwajah angkara

kita sepadan dalam menundukan angin kutub
agar mampu bersemayam di keranjang bambu
yang hanya kita miliki, untuk senyum sang fajar
yang menyelingkuhi kita sang pengantin baru
kita dalam damai.....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

S e j u k

belum juga kau datang
berkencan dengan baju robek
semilir angin
membelit tulang iga kita
hingga terbang semua
burung pipit berkepak
menjinjing kabar
kesejukan di tanah lapang
sejuk yang kita tunggu
masih di halimun senja
kita yang merindu bulan
terengah di sudut jaman
dengan terkaman mentari
menjulurkan lidahnya

satu dua bilah bambu
di halam rumah
mengoyakan nasionalisme
kita benahi
hardikan benang waktu

kita satukan
meski telah lepas
dipingit kata hati
bertaring tajam
dan berkerah hedonisme

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Kelambu Biru

dalam kata hati kita menepis
“solar flare” dan adonan parau
dari gumpalan awan beroman durjana
kita masih dalam kelambu biru
bertepi sang kata sakti
dan menjulangkan hamparan beludru biru
kita beratap kata seloroh hunian
Katulistiwa, dengan pilar
sesejuk padang luas berimbun
padi dan palawija

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Koruptor

biarlah  sang koruptor
melenggang dengan serampang dua belas
bertalu genderang, layaknya VOC memburu hasrat
telah menghitam panggung Ramayana
di pelataran Prambanan

sang koruptor dengan gontai memungut hari
senja memburu secepat kilat
sementara pagi mencibirkan  bibirnya
telah menyendiri nafas beraroma melati
kenanga dan mawar....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Jumat, 06 Januari 2012

Di Sana Hujan Bercerita tentang Negri


Awalnya hanya senyum ranum....sekumpulan beluntas
yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.

Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.

Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA”  berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata kosong

Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.

Dalam hujan, basahi kita dalam damai

(Semarang, 5 Januari 2012 )

Galau  Sang  Guru 
Aku  dinginkan semua peluh tubuhku,
Meski hidup ini bukan miliku sendiri, akulah  sang pemburu,
tiap jengkall waktu..untuk merebah
dalam buaian halus menyelorohkan suka,
namun sepi,…..diterkam sang haus telaga tinta,

Akulah yang beruntung,
tak pernah hirau badai, prahara apalagi beliung
memincingkan mata untuk gerigi tajam sang jaman
untuk merobek dan menerjang atmosfer angan…..

Jangan pernah menakar tepi dan luasnya jaman ! ”
 Masih basah lidah emak di telingaku, kala di kampung
memberikan goresan prosa  dan “pitutur”  indah.
Seindah tidur sang permaisuri raja,
dalam  ayunan dan meliuknya benang globalisasi.

Tajamnya mantra dan sihir hidup dan kehidupan
Menawarkan ketidakpastian  dan menghimpit tulang iga
Akupun lelap  dalam semai  “Mawar Bunga” ditiup,
angin lembut, menerbangkan benih ilalang tak tentu arah
Aku hanya berkaca pada senja,
Kala daun-daun palma berhenti mengatur nafas
Tak ada lagi, angin pagi  yang menyambangi.

Aku tak pernah terpelanting dalam magnet hidup
Yang mengosongkan debar jantung,
dari daun daun kering meranggas, mereka hanya
mampu berteriak menghardik ganasnya matahari
mereka tak memiliki lagi bahu- bahu legam
hanya lumpur hitam membenamkan
dalam dan galau…lahir pada rona wajah.

Pernahkah ada yang peduli ?.
Bila nyanyian jiwa telah parau, senyaring burung hantu
bercengkerama di tengah gersangnya padang.
Akulah yang hadir dengan sekerat dada yang lapang
Biarlah basah tubuhku karena peluh

Kucoba menepis “Panggung Hiburan Ronggeng”
yang dihinggari “Sinden Kuntilanak dan Banaspati”

Apakah masih ada lagi nyanyian jaman ?
yang  mampu   manja sendu dalam rindu
sang mempelai wanita menantikan pria pujaan
ataukah tepian telaga telah menyatu dengan “Wedus Gembel”
yang tajam dan mewarnai kehidupan
dengan kedurjanaan.

Akulah sang guru,
Dalam remang “padang dolanan”
Akulah anak desa yang menepi …. (Semarang, 7 Desember 2011).

Di batas kota
Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan

Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri

Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit,  menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua

(Semarang, 3 Januari 2012).

 Bila Harus
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa  engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.

Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek Bulan
Terasa parau,  bila  telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja

Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu

Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan

Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang

(Semarang, 5 Januari 2012).