Semar mengucapkan mantra sakti Aji
Pemeling, untuk melentingkan getaran – getaran halus melewati atmosfer Negeri
Amarta, menembus puncak gunung, telaga, dusun serta lembah menuju tirai
hati Raden Arjuna yang sedang
bergumul sejuta kemesraan dengan Dewi Banowati dalam kamar pribadi Kedaton Negeri Hastina
pura.
Getaran sakti mantra semar, meliuk
menyapu setiap sudut Kedaton tempat para dayang-dayang kraton yang megah itu
mengusung seloroh menyambut datangnya pagi, secerah warna-warni bunga yang melentangkan kelopaknya demi sepercik
air segar pagi hari. Sepercik
demi sepercik air yang telah ditumpahkan para dayang, semata demi sang bunga untuk menyongsong sebuah hidup di hari ini.
Sang mantera Semarpun tertegun
dan sesaat mmengatur nafasnya tak lupa kemudian berseloroh dengan bunga-bunga
taman milik Sang Dewi Banowati.
‘Sang bendoro telah melupakan
darmaning satria, sesuatu yang tak pantas “
“aku bunga, hanya tahu tentang gejolak
hati manusia yang sedang meradang rindu dan mengencangnya denyut nadi asmara “
Sang mantra melototkan kedua
matanya, tubuhnya yang ringan dibanting dan dihempaskan hingga menjelajah
atmosfer negeri Hastina, yang sedang terpagut sepi di pagi itu. Kemudian dengan
kecepatan secepat cahaya dia menukikan untukkembali menyapa sang bunga dengan
hardikan yang keras.
“Ketahuilah hei bunga-bunga di
taman Hastina !!!, Sesuatu telah membuat engkau memincingkan matanya. Janganlah
dahulu terkesima dengan Janoko dan kehalusan Dewi
Banowati. Sekarang mereka berdua ibarat sepasang remaja yang hanya mengerti melampiaskan rindu
dan saling membelai dengan membaranya nafsu durjana “
“Engkau tidak berhak bicara di
sini, apalagi dengan nada tinggi dan menampakan roman kemarahan. Bukankah itu
hak setiap insan remaja di Mercopodo ini hai, Sang
Samar ?”
“ Hak !,kau bicara hak remaja !. Lantas bagimana dengan keutamaan Satria Panengahing Pandawa dan
Keluhuran Prabu Salya dan Nini Ratu Setyowati,putri tunggal Bagawan
Banaspati dari Argabelah !, kau bilang hak setiap
insan remaja ?”
***
Dialah getar sakti Dewa Ismoyo, yang
mampu menembus batas waktu dan dinding beton Kraton Hastina yang kokoh dan
tahan gempuran seribu meriam. Mantra sakti Semar mulai mendengar dengus nafas
Kekasih Hatinya dan derai tawa sang Permaisuri Negeri Hastina. Halusnya serat sutra mantra sakti itu,kini
mulai menjalari tepi hati sang satria yang telah berusaha sekuat hati
menepiskan kehadiran bisik mantra. Getar jantungnya tidak mampu membangunkan
raganya untuk segera melejit menghadap sumber frekuensi mantra tersebut.
Sang Arjuna telah tahu pesis,
siapakah yang menebar jala sutra di hatinya.
Namun pesona hasrat telah
berhasil membawanya ke tiap penjuru laut biru,hingga keringat dingin bercucuran
di setiap jengkal tubuhnya.
“Hai,Sang Satria bangkitlah dan
pasanglah layar lebar-lebar agardirimu mampu menepikan perahu”
“Aku sudah terlanjur, menguntai
canda dengan riak gelombang”
“Tugas suci menyemai bunga-bunga
di halaman Boulevard di Puncak Mahameru telah menunggumu. Tahukah kau tahu,
semua pancra inderamu sedang lari dari lembutnya wewaler sang suci tentang Dharmaning
Satria ?”
Arjuna sementara mengunci panca inderanya dalam hening yang kosong.
Sementar ombak lautan kembali berdebur, menggeliatkan eksotisnya,meregangkan semua
pundaknya dan kembali sang satriapun larut dalam manis manja ombak di laut.
Sang Mantra saat itu, harus menunjukan dirinya sebagai Sang Hyang Ismoyo yang disegani semua dewa.
Dengan kekuatan semegah Puncak Mount Everest dan luasnya ilu
melebihi batas Atlantik dan Pacifik, namun sehalus kelopak bunga mawar, lantas
mencengkeram leher sang satria yang tidak bisa berkutik sedikitpun. Dengan diiringi
angin pasat Tenggara, sang Arjuna kini telah hadir di depan Semar di tengah Hutan
Amarta.
“Betulkah kau masih Arjuna ?”
“Aku malu Ki Lurah ?”
“Seharusnya seorang satria mampu tahan uji setiap godaan, baik itu
wanita, korupsi, money loundry, atau
menyalahkan jabatan. Apabila engkau
masih mau melakukan itu, maka bagaimana kelakuan para petinggi di negeri ini
kelak ?”
“Mohon maaf Ki Lurah, aku khilaf !!!”
“Jangan kau ulangi lagi, nggerrr !. Berilah teladan yang baik untuk petinggi negeri ini kelak ! “
“Baik Ki Lurah !”
“Aku harus menyelamatkan saudara saudaraku yang berada di dalam sumur
penuh bisa “
Tanpa menunggu bergantinya jarum detik,sang Semar segera melentinkan
raga dan sukma sang satria untuk menyelamatkan saudara-saudaranya yang kini
terjebak dalam sumur yang dalam berisi bisa hewan-hewan ganas.
Arjuna dan semua saudaranya kini bisa tersenyum bahagia. Sang Semarpun
kembali ke Karang Kedempel.***
Pondok Sastra HASTI Semarang