Sabtu, 04 Februari 2012

Angin di Negeriku


Satu Dua Angin dari Katulistiwa

satu dua ikatan angin dari kutub liar
tak  mau meluruhkan sauh, atas kerlingan mata semua
yang tertelikung di bukit luas menjulang
menunggu sang “Edelweis” dan ilalang  menggelar permadani
mengatur nafasnya, basah tenggorokan mereka.

beberapa macam guratan indah, menawarkan sorga
di atas nampan kayu jati, tetap beraroma anyir
diusung hati yang membujurkan awan hitam
sedingin bola salju dari Antartika

kita jangan terus dibenamkan sepatu laras
berkulit macan dengan gigi pongah
namun menghardik dan menggeram
pada lengan-lengan kecil berhias mahkota mawar merah
dengan kelopak menghadap langit biru

demi setetes embun dan sejuknya pagi hari
kita bersama meratakan jalan licin tanah liat
menuju kedua rongga mata mereka yang
bulat,jernih dan mampu sigap melentingkan
tali asih, menuju jendela langit
bukan wedus gembel berwajah angkara

kita sepadan dalam menundukan angin kutub
agar mampu bersemayam di keranjang bambu
yang hanya kita miliki, untuk senyum sang fajar
yang menyelingkuhi kita sang pengantin baru
kita dalam damai.....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

S e j u k

belum juga kau datang
berkencan dengan baju robek
semilir angin
membelit tulang iga kita
hingga terbang semua
burung pipit berkepak
menjinjing kabar
kesejukan di tanah lapang
sejuk yang kita tunggu
masih di halimun senja
kita yang merindu bulan
terengah di sudut jaman
dengan terkaman mentari
menjulurkan lidahnya

satu dua bilah bambu
di halam rumah
mengoyakan nasionalisme
kita benahi
hardikan benang waktu

kita satukan
meski telah lepas
dipingit kata hati
bertaring tajam
dan berkerah hedonisme

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Kelambu Biru

dalam kata hati kita menepis
“solar flare” dan adonan parau
dari gumpalan awan beroman durjana
kita masih dalam kelambu biru
bertepi sang kata sakti
dan menjulangkan hamparan beludru biru
kita beratap kata seloroh hunian
Katulistiwa, dengan pilar
sesejuk padang luas berimbun
padi dan palawija

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Koruptor

biarlah  sang koruptor
melenggang dengan serampang dua belas
bertalu genderang, layaknya VOC memburu hasrat
telah menghitam panggung Ramayana
di pelataran Prambanan

sang koruptor dengan gontai memungut hari
senja memburu secepat kilat
sementara pagi mencibirkan  bibirnya
telah menyendiri nafas beraroma melati
kenanga dan mawar....

(Semarang, 4 Pebruari 2012).

Jumat, 06 Januari 2012

Di Sana Hujan Bercerita tentang Negri


Awalnya hanya senyum ranum....sekumpulan beluntas
yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.

Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.

Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA”  berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata kosong

Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.

Dalam hujan, basahi kita dalam damai

(Semarang, 5 Januari 2012 )

Galau  Sang  Guru 
Aku  dinginkan semua peluh tubuhku,
Meski hidup ini bukan miliku sendiri, akulah  sang pemburu,
tiap jengkall waktu..untuk merebah
dalam buaian halus menyelorohkan suka,
namun sepi,…..diterkam sang haus telaga tinta,

Akulah yang beruntung,
tak pernah hirau badai, prahara apalagi beliung
memincingkan mata untuk gerigi tajam sang jaman
untuk merobek dan menerjang atmosfer angan…..

Jangan pernah menakar tepi dan luasnya jaman ! ”
 Masih basah lidah emak di telingaku, kala di kampung
memberikan goresan prosa  dan “pitutur”  indah.
Seindah tidur sang permaisuri raja,
dalam  ayunan dan meliuknya benang globalisasi.

Tajamnya mantra dan sihir hidup dan kehidupan
Menawarkan ketidakpastian  dan menghimpit tulang iga
Akupun lelap  dalam semai  “Mawar Bunga” ditiup,
angin lembut, menerbangkan benih ilalang tak tentu arah
Aku hanya berkaca pada senja,
Kala daun-daun palma berhenti mengatur nafas
Tak ada lagi, angin pagi  yang menyambangi.

Aku tak pernah terpelanting dalam magnet hidup
Yang mengosongkan debar jantung,
dari daun daun kering meranggas, mereka hanya
mampu berteriak menghardik ganasnya matahari
mereka tak memiliki lagi bahu- bahu legam
hanya lumpur hitam membenamkan
dalam dan galau…lahir pada rona wajah.

Pernahkah ada yang peduli ?.
Bila nyanyian jiwa telah parau, senyaring burung hantu
bercengkerama di tengah gersangnya padang.
Akulah yang hadir dengan sekerat dada yang lapang
Biarlah basah tubuhku karena peluh

Kucoba menepis “Panggung Hiburan Ronggeng”
yang dihinggari “Sinden Kuntilanak dan Banaspati”

Apakah masih ada lagi nyanyian jaman ?
yang  mampu   manja sendu dalam rindu
sang mempelai wanita menantikan pria pujaan
ataukah tepian telaga telah menyatu dengan “Wedus Gembel”
yang tajam dan mewarnai kehidupan
dengan kedurjanaan.

Akulah sang guru,
Dalam remang “padang dolanan”
Akulah anak desa yang menepi …. (Semarang, 7 Desember 2011).

Di batas kota
Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan

Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri

Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit,  menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua

(Semarang, 3 Januari 2012).

 Bila Harus
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa  engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.

Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek Bulan
Terasa parau,  bila  telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja

Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu

Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan

Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang

(Semarang, 5 Januari 2012).

Sabtu, 31 Desember 2011

Jangan Bersedih Emak....!


hamdi beffananda aji
PUISI ANAK

Hari ini aku masuk sekolah, setelah libur lama
Emak belum membelikan aku sepatu baru,
Tapi aku tetap ceria di tiap pagi ke sekolah....
Karena baru minggu ini bapak menyemai padi
Aku tidak mau emak marah dan bersedih
Bila aku minta tas dan sepatu baru..

Tuhanku, berilah mereka selembar hidup yang kokoh
Sekokoh apa yang tidak mudah terhempas
Hujan. Badai, beliung atau pekatnya jaman

Emak, untuk apa bersedih....
Bukankah masih ada matahari dan bulan
Yang menerangi gubug bambu kita
Bukankah emak masih mampu menyodorkan aku
Sepotong cerita bila mataku belum terlelap

Aku anak dengan sebungkus kue sawah ladang
Yang jauh dengan kue-kue anak gedongan
Emakpun bahagia bila aku tetap belajar
Di atas meja bambu beralas kasih emak
(Semarang, 2 Januari 2012)