Suto meminta kembali
pedang saktinya yang lama dipinjam olehPaman Haryo, pada pertemuan mereka yang
bersitegang di bawah sinar bulan purnama di beranda rumah gedong juragan kaya
itu. Nampak dariwajahnya, Suto tidak main – main lagi dengan permintaanya.Sementara
terlihat sikap Paman Haryo yang mencoba berkelit dan selalu mencoba meluruhkan amarah
yang ada di kalbu Suto.
Meskipun Paman Haryo
dapat dengan mudah mengalahkan keponakanyai tu, lantaran tataran olah kanuragan
Suto masih jauh di bawahnya. Namun menganiaya sudara ingusanya itu,tentunya bakal memperkeruh suasana
di Bukit Kenanga Kadipaten Semarang.Karena Suto adalah putra kakaknya sendiri
yang hingga kini masih menjabat Kanjeng Bupati Kadipaten Semarang. Padahal
ambisi untuk menggantikan jabatan kakaknya telah lama dipersiapkan dengan matang.
Salah satunya adalah meminjam Pedang Pusaka Naga Perkasa milik Kanjeng
Sultan Hadiwijaya, yang langsung dipercayakan kepada Suto Pamungkas,
seorang pemuda santun dan pemberani yang berhasil menghipnotis kanjeng sultan untuk
memberikan perhatian khusus padanya.Sehingga memberikan hadiah Pedang
Pusaka Naga Perkasa kepada pemuda yang berhati baik itu adalah pilihan
yang tepat untuk Kanjeng Sultan Hadi
Wijoyo dari Negara Pajang.
Malam semakin
larut, cahaya purnama makin mengelupas seiring dengan wajah sang bulan yang bertambah menjauh, lantaran
rasa gerahnya pada manusia yang selalu meradangkan nafsu segalanya demi mendapatkan kenikmatan duniawi yang semu.
Terbukti meski sudah hampir 3 tahun Paman Haryo Pamundi memegang pedang bertuah
itu, namun pemberontakan Geger Lowo Ijo di wilayah Kademangan Kenanga belum
sirna. Inilah yang menjadi alasan mengapa Paman Haryo belum juga dengan tangan terbuka melepas pedang bertuah itu.
Memang bagi manusia tamak dan licik seperti Paman Haryo,
sama sekali tidak pernah mencoba untuk menelaah seberapa kuat kesaktian sebuah benda
bertuah, yang seharusnya manunggal dengan yang memegangnyaterutama dari kebersihan
hatinya. Maka wajar saja bila pamor sang benda bertuah itu tidak mampu meredam amuka
marah LowoIjo yang sakti .Meskipun demikian Paman Haryo tak pernah surut untuk melepas
Pedang Pusaka Naga Perkasa. Bukan hanya kekuatan magis pedang Naga Perkasa yang
diharapkan olehnya, namun butir-butir mutiara yang bergelapan tertaburkan di “gagang”
berkayu cendana telah juga menarik ambisi lebih dalam lagi untuk memilikinya.
Lampu—lampu minyak kelapa yang mengelilingi beranda
joglo Paman Haryo, satu dua sudah mulai meredup. Remang malam kini lebih kentara lagi melingkungi pertemuan Denmas Suto dan Paman Haryo masing-masing dengan pengikut setia mereka.Malam kali ini benar-benar telah larut, satu dua hati mulai meradangkan bara amarah. Paman Haryo tetap bersitegang mempertahankan pedang itu,
demikian juga Suto, yang sudah mulai kehabisan akaluntuk memintapedang itu kembali.
“Paman, aku harus mengatakan apa lagi !, dengan penuh
hormat kedatangan kami kesini semata-mata meminta kembali apa yang pernah paman
pinjam”, getar suara Suto mulai keluar dari bibirnya. Kedua kepal tanganya mengencang, sorot
matanya mulai tajam menusukan kebencian. Rasa hormat dan segan, yang sedari
sore sudah memenuhi benaknya, kini meluruh bersama dengan larutnya malam. Tak
ada lagi niatan Suto untuk meminta pedangnya kembali dengan hormat.
2
“Suto ! anaku !. Tak ada niatan dalam kalbu
pamanmu ini untuk mengkhianati perjanjian denganmu beberapa waktu silam. Hanya
saja Geger Lowo Ijo masih merajalela di kademangan ini. Apabila perkara pemberontakan itu tidak segera di tepis, kewibawaan Kakanda Kanjeng
Bupati Kadipaten Semarang atau ayahandamu sendiri akan
terongrong. Mengertilah Suto anaku !
“Paman Haryo !, alasan pamanda bukankah telah disampaikan
beberapa tahun silam ?. Tetapi mengapa tidak pernah paman mengerti, betapa
beratnya hati ananda ini yang harus menerima amanah dari kanjeng sultan !”.
“Biarlah masalah kanjeng sultan menjadi urusan
pamanda !. Beliau tentunya tidak akan keberatan meminjamkan pada pamanda !”
“Pedang Naga Perkasa bukanlah sembarangang pedang
!. Pedang itu harus manunggal dengan
sang empu yang memegangnya. Apabila kita tidak menggunakan tataran batiniah yang dalam. Maka pedang itu tidak
lebih dari logam biasa.Tidak ada gunanya bila pamanda harus menghadap kanjeng
sultan ! “
“Suto, anaku !. Kamu anak kemarin sore, tahu apa
kamu tentang tataran hidup ?”
“Bagi ananda gampang saja !”
“Hmm...engkau bertambah lancang !”
“Pamanda !, apabila hati pamanda telah bersih dan
suci sesuci embun dini hari, tentunya Geger Lowo Ijo, akan gampang dimusnahkan. Pedang Naga Perkasa hanya
sebuah lantaran untuk menggapai pertolongan dari Sang Hyang Murbeing Jagad.
Bukan hanya disimpan untuk dijadikan kekuatan dan pengayoman Kademangan Kenanga
!”
“Sekali lagi, Suto !. Kamu tahu apa !. Jangan
sekali-kali lagi engkau mencoba memberi wejangan kepada aku !!!!” Kedua mata Haryo Pamundi mulai
mengusung sebuah amarah yang membara, kedua tanganya sudah bergetar kuat. Dia
segera mendekat ke arah meja bundar dari kayu jati bertaplak sutera tempat
pedang sakti itu diletakan.Semua prajurit kademanga sudah bersiaga untuk
merangsek menghempaskan Suto dan beberapa pengikutnya. Namun tiga tokoh dunia
persilatan pengawal Suto hanya terdiam membisu, meski tidak mengurangi
kewaspadaan mereka untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
***
“Angger Haryo, ijinkah aku yang renta ini
mengajukan beberapa saran demi menjaga hubungan persaudaraan angger dengan
cucuku ini “ Sorot mata semua yang mendidih nada darahnya di tengah malam yang hampir
usai itu mulai meluruh, setelah tersengar suara lembut dan santun dari Eyang
Wiro Setyo dari Padepokan Bringin Bumi Kadipaten Semarang. Seorang
resi yang amat disegani di seantero Tanah Jawa bagian Timur.
“Dengan senang hati Pamanda Wiro Setyo !, anakmu
ini memang gampang menuai amarah. Mohon pamanda mema’afkan aku dan prajurit
kademangan. Aku sangat mengharapkan sekali
wejangan dan pitutur yang arif dari pamanda “
“Ki Demang
terlalu berlebihan memuji aku yang pikun ini. Sebelumnya mohon maaf yang
sebesarnya, bila aku yang tak tahu diri ini terlalu lancang bersuara di depan
Ki Demang yang bijaksana. Sebenarnya aku tidak akan memihak kepada Ki Demang
3
ataupun cucuku Angger
Nakmas Suto. Aku hanya sekedar hendak mengurai kewibawaan Pedang Naga
Perkasa yang keramat itu, Ki Demang ?”
“Ah, jangan
sungkan sungkan pamanda untuk memberikan pitutur kepada kami. Karena
hanya pamanda yang mampu menyelami pedang ini. Pamanda ! aku sama sekali masih buta
tentang pedang ini. Apa yang harus aku lakukan”
“Sebenarnya Pedang
Naga Perkasa, hanyalah pengejawantahan keprihatinan para hamba Gusti
Hyang Wisesaning Jagad, yang mengajukan doa demi ketentraman Tanah Jawa.
Selebihnya pedang itu hanya sebuah logam saja. Kanjeng Sultan Hadi Wijoyo
berhasil mukti wibowo di Tanah Jawa ini, bukan lantaran pedang itu”. Eyang Wiro
Setyo sengaja menahan diri untuk tidak melanjutkan perkataanya, lantaran dia
menyaksikan segala gejolak hati dari Ki Demang Haryo Pamundi yang demikian menggelora. Terlihat dari matanya
yang terbelalak dan berputar menyaksikan satu demi satu yang hadir di
keremangan malam itu.
“Lantas, mengapa
kanjeng sultan demikian mengagungkan pedang itu, Pamanda Wiro !”
“Ki Demang,
jangan salah paham !, apalagi menuduhku untuk memutarbalikan fakta !”
“Maksud pamanda
bagaimana ?”
“Bagi kanjeng
sultan Pedang Naga Perkasa hanya dijadikan simbol belaka. Tapi yang
paling mendasar adalah nggulawentah sanubari dan hidup beliau untuk
tetap pasrah dan berserah diri kepada Sang Hyang Widi !”
Ki Demang Haryo
Pamundi dan segelar prajurit kedemangan tidak percaya sama sekali dengan
keterangan lelaki beruban itu.
“Maka, serahkan
kembali pedang itu pada kami, pamanda !” . Melihat gelagat Ki Demang yang
selalu mempertahankan pedang itu Suto kembali mengajukan ketidaksabaranya pada pamanda yang selalu menampakan gurat
wajah tidak senang.
“Sabarlah!,
Ngger Suto cucuku!, engkaupun tidak sebaiknya berlaku seperti itu, apabila
engkau tahu maksud Sinuwun Kanjeng Sultan Hadiwijoyo memberikan pedang
itu padamu !”
Keremangan malam
itu menjadi terbius dengan pemamaran wejangan dari resi yang arif itu. Setelah
sekian lama mereka berseteru memperebutkan pedang itu. Baru kali ini Eyang Wiro Setyo menyeruakan segala hal ikhwal pedang itu.
“Mohon maaf,
pamanda !, setahu aku yang dungu ini. Pedang sakti itu mampu mengantarkan siapa
saja yang mengagungkan mampu mukti wibowo menjadi penguasa di tanah jawa ini,
betulkah demikian pamanda !!”
“Betul Ki Demang
!”
“Ah, aku jadi
bertambah tidak mengerti, pamanda !. Mengapa kanjeng sultan hanya menganggapnya
sebagai simbol, padahal beliau telah menyimpanya selama bertahun-tahun ?, dan
sekarang terbukti beliau telah muktiwibowo ?”
“Kalau memang
pedang itu yang membawanya mukti wibowo, mengapa pula beliau menyerahkan pedang
itu pada Angger Nakmas Suto ?”
4
“Karena Sutolah
yang dipilih sinuwun mewariskan tahta
beliau, pamanda !”
“Ki Demang !,
Nakmas Suto sama sekali tidak punya hak untuk menduduki tahta Pajang, karena
Nakmas Suto tidak memiliki hubungan darah. Sehingga Pedang Naga Perkasa itu
sama sekali tidak ada hubunganya dengan tahta, kehormatan dan derajat pemiliknya “
“Mohon maaf Pamanda Resi Wiro !, ananda sama sekali belum
bisa menerima wejangan pamanda !. Mengapa pula ananda Suto berambisinya meminta
kembali pedang itu ?”
“Nakmas Suto
hanya sekedar ngugemi amanah kanjeng sultan ?”
“Itukan berarti
kanjeng sultan memang menginginkan Suto untuk mukti wibowo di kadipaten ini !”
“Benar, Ki
Demang. Asalkan Suto dan semua petinggi baik sekarang ataupun di masa
depanyang sanggup memenuhi pitutur para sesepuh Tanah
Jawa yang tertulis di semua bagian pedang itu !”
Ki Demang
Haryo Pamundi bertambah penasaran, maka diapun segera memungut Pedang
Naga Perkasa yang berlapis emas dan
segera melepas warongkonya. Terlihatlah beberapa goresan huruf jawa yang bertebaran di sepanjang bilah
pedang itu.
“Perhatikan
seksama Ki Demang, itulah pesan dari semua pepunden kita untuk para petinggi
Tanah Jawa di tlatah manapun, yang harus mengedepankan adil, wicaksana,
mengayomi, mendahulukan kepentingan kawula, jujur, tekun menyembah kepada
Penguasa Alam Semesta. Inilah Pedang Naga Perkasa yang sebenarnya hanya wejangan para alim,
seperti Kanjeng Prabu Sultan Agung Hanyokrokusumo dan lain sebagainya”
“Apa arti tiga
mutiara yang ada di pegangan pedang ini, pamanda ?”
“Itu tidak
lebih, hanya symbol rasa asih, asah dan asuh para petinggi Tanah Jawa kepada
kawulanya ?’
Ki Demang
Haryo Pamundi meletakan kembali pedang itu yang sudah dimasukan ke dalam
warongkonya. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa pedag sakti itu hanyalah
sebuah pitutur belaka. Diapun kini menyurutkan langkah untuk kembali duduk di
dipan panjang dengan seluruh sendinya terasa lepas dari tubuhnya.
“Mohon maaf Ki
Demang, apabila keterangan aku yang pikun ini membuat Ki Demang bersedih.
Selanjutnya aku dengan lancang mewakili Angger Nakmas Suto untuk memberimu
waktu menyimpan pedang itu, Kid Demang!”
“Aku tidak
membutuhkan lagi, pamanda resi !, yang
kubutuhkan hanyalah kesaktian sebuah benda pusaka untuk menghancurkan Lowo Ijo
“
“Apabila Ki
Demang, betul-betul mengamalkan pitutur yang ada di pedang itu. Maka Lowo Ijo
pasti akan musnah dengan sendirinya, percayalah Ki Demang !”
Ki Demang
Haryo Pamundi hanya menganggukan kepalanya, bibirnya terkunci rapat. Sorot
matanya kosong, kedua tanganya hanya ber[egangan pada bibir tempat duduknya.
Kokok ayam
jantan mulai terdengar, udara dingin mulai menjenguk sendi tulang semua yang
hadir di beranda joglo kademanganya. Tanpa sepatah katapun Ki Demang
5
mengulurkan kedua tanganya yang memegang pedang sakti itu
kepada Suto sambil mencium kedua pipi putra keponakanya itu***